SURGA bagi setiap anak sekolah sebenarnya simpel; bel pulang sekolah berbunyi-pulang-mandi-makan-lalu tidur sepuasnya sampai minggu pagi. Namun, surga itu tidak berlaku pada Rio malam ini. Ia harus ngebut mengerjakan makalah Bahasa Indonesia milik Pak Ipul yang ternyata super-duper susah dan PR Matematika yang ultra-ribet.
Rio harus mampir ke toko buku dekat rumahnya untuk mencari buku pendukung makalahnya. Ia benar-benar tidak tahu harus membeli apa. Lian dan Jerry -yang sama-sama makhluk bodoh-, tidak bisa diandalkan. Jadi, mau tidak mau, ia harus berusaha sendiri hari ini.
Mobil kesayangannya terparkir manis di depannya. Membuat sang empunya juga ikut tersenyum manis saat memandangnya. Ia segera menaiki benda mati nan cepat itu dan melaju ke toko buku. Toko buku dekat rumahnya tidak terlalu ramai hari ini. Hanya ada beberapa anak kuliah yang mejeng mengerjakan tugas di meja depan teras toko itu.
"Oh, rajinnya mereka.." ucap Rio sambil tersenyum miris. Sebentar lagi lo bakal kayak mereka, Rio. Bersiaplah. Rio-pun segera melangkahkan kakinya ke dalam toko buku itu. Naik ke lantai dua, untuk mencari buku yang pas demi mendukung judul karya ilmiahnya; Pengaruh Manusia terhadap Peternakan Bebek. Jujur, judul ini gak banget.
Rio [sok] meneliti satu persatu buku tentang bebek yang ada di depannya. Namun, hanya dalam dua menit, matanya sudah fokus kepada rak majalah mobil yang ada di sebelahnya. Ia-pun segera mendatangi rak itu dan membaca-baca majalah itu.
"Cuman bentar kok," ucapnya sambil terkekeh sendiri seperti orang tak waras.
Saat asik-asiknya membaca, Rio mendengar suara geraman dari suara perempuan. Dengan kepo, ia mencari-cari arah datangnya suara itu dan berhasil menemukannya.
Jaket ungu!
Cowok tersebutmemiringkan kepalanya. Dari jauh, ia dapat melihat perjuangan perempuan itumengambil buku soal biologi di rak paling atas. Tubuhnya yang pendek [bagiRio] ternyata tidak mengizinkannyauntuk mengambil buku itu. Sesekali gadis itumenghentak-hentakkan kakinya kesal. Tawa Rio hampir pecah ketikamelihat kejadian itu dari belakang.
"Haduh.. paru-paru gue sakit."
Ohya, gue kan bisa minta tolong sama Seli yang katanya pinter banget ini kan? Itulah ide yang terlintas di benak Rio sehinggga ia segera meletakkan kembali majalahnya dan menghampiri perempuan itu. Dengan mudah, tangannya terangkat mengambil buku itu, tanpa berjinjit satu sentimeter-pun. Matanya melirik perempuan yang mematung kaget di depannya.
"Nih," Rio meletakkan buku tebal itu di kepala perempuan pendek di depannya. "Mangkanya jadi orang jangan pendek-pendek."
"Ha?" ucap Seli setengah terkejut setengah kesal karena dibilang pendek. Ia lalu mengambil buku itu di kepalanya. "Aku gak minta bantuanmu. Lagian ya, aku gak pendek. Kamu aja yang terlalu tinggi." protesnya sambil mendekap erat buku tebal itu lalu menarik dirinya mundur beberapa langkah dari Rio. Menjaga zonanya agar tetap aman. Wajahnya pucat pasi.
Disaat teman-temannya ngotot mengatakan bahwa Seli jutek dan mematikan, Rio malah menemukan sisi manis dari perempuan ini. "Lo Seli kan?"
Perempuan itu mendongakkan kepalanya agar bisa berbicara dengan nyaman dengan Rio. "Duh, bener kan, leher aku sakit." Dengan santai, ia membalikkan badannya lalu meninggalkan Rio yang mati kutu di belakangnya.
Oke, Rio mencabut pikiran tentang sisi manis dari cewek ini. Tak perlu disuruh, ia segera mengejar Seli, berharap bahwa anak rajin nan pintar ini mau membantu tugasnya. "Jangan kabur dulu dong. Gue belom selesai ngomong." serunya sambil menahan lengan Seli.
Seli menatap lengan cowok yang melingar di pergelangan tangannya. Kemudian ditepisnya secara pelan dan sopan. "Oke, ngomong aja, gausah pegang-pegang, terus, jangan deket-deket aku," perintahnya sambil mengibas-kibaskan tangannya. "Huss huss."
Buset, nih cewek bener-bener deh.
"Gini," Rio melonggarkan dasinya sedikit. "Gue kan udah bantuin lo ngambil buku itu."
"Tapi kan aku gak minta?"
Laki-laki itu menatap datar wajah Seli. Ia kembali melonggarkan dasinya lebih jauh, greget, karena seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. "Emm.. lo kan baik, pinter.. bisa gak bantuin—"
"Bantuin kamu buat kerja karya ilmiah Pak Ipul dan PR matematika Bu Joan yang udah gak kamu kerjakan selama sebulan, kan?" tanya Seli sambil mengulas senyumnya.
Cewek ini bener-bener bisa buat orang mati kutu.
"Sori, kalo bener, aku nggak mau bantuin kamu. Itu salahmu sendiri kenapa kok gak kerja." Seli kembali berbalik dan ingin segera pergi dari tempat itu, lebih tepatnya, dari Rio.
Murid bandel itu mengusap wajahnya frustasi. Namun, ia masih belum menyerah. Ia kembali meraih tangan Seli. Dan lagi-lagi, Seli kembali menepisnya, kali ini agak lebih kasar.
"Udahdibilang jangan pegang-pegang aku!"bentak Seli membuat Rio terkaget. "Stopstop! Berdiri di dua kotak ubin dari sini."perintah Seli membuat Rio menatapnya tidak percaya. Namun, Rio segera melangkahkankakinya mundur ke belakang agar perempuan itu bisakembali berbicara dengannya.
Cewek ini kenapa sih?
Gadis itu menghembuskan nafasnya pelan. "Oke, mana hapemu?" tanyanya sambil mengadahkan tangan.
"Ha.. hape??" Rio mencari-cari ponselnya di saku celana, saku baju, dan saku tas. Akhirnya ia menemukannya di dalam tas tepatnya di dalam kotak pensilnya dan menyerahkannya kepada gadis di depannya sekarang. Seli seperti mengetik-ngetikkan sesuatu di benda gepeng itu. Lalu juga ikut mengeluarkan ponselnya.
"Nih," katanya seraya menyerahkan ponselnya kembali kepada pemiliknya. "Aku udah punya nomermu. Entar malem on, kalo kamu mau tugasmu selesai. Sekali ini aja, soalnya kamu juga udah bantu aku."
Mata Rio berbinar-binar. Sangat senang karena seperti telah menerima bantuan dari malaikat. "Makasih—"
"Pilih salah satu," potong Seli lagi membuat Rio membungkam mulutnya cepat. "Karya ilmiah Pak Ipul atau matematika Bu Joan?"
Laki-laki itu tidak tahu harus menyebut makhluk di depannya ini: malaikat atau iblis. Ia lalu menimbang-nimbang dua pilihan itu sebentar. Kayaknya kalo matematika Bu Joan ngerjain pake otak gue aja gak cukup deh, batin Rio dalam hati. Akhirnya, ia memutuskan, "Oke, matematika Bu Joan!" Jawabnya mantap.
Seli manggut-manggut, simbol ia juga menyetujuinya. "Oke, aku balik dulu, sumpah, sakit banget leher aku ngeliat kamu," ucapnya lalu benar-benar pergi sekarang. Menuruni anak tangga, lalu menghilang tanpa jejak.
Rio mengacak-acak rambutnya asal. Disaat semua cewek histeris mengagumi dirinya, hanya Seli yang tidak terpengaruhi hal itu. "Ternyata modal ganteng aja gak cukup," ucapnya sambil terkekeh pelan. Setelah beberapa saat, Rio merasakan getaran di saku celananya. Ia mengambil ponselnya dan menerima satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.
+628737xxxx
Thanks, udah ambilin bukunya
Sontak,Rio langsung tersenyum lebar.
●▪●▪●
---------------------------------------------------------
P.S :Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆Thankyou
감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...