31

2.8K 240 0
                                    

HARI itu Seli kembali menghabiskan hari kosongnya dengan berada di kafe dekat rumahnya. Kafe itu minimalis namun tetap terkesan elegan. Hanya beberapa orang yang tahu bahwa tempat itu merupakan kafe. Hal ini menjadikan Seli hobi sekali pergi kesana karena pastinya kafe itu tidak terlalu banyak orang.

Spot favorit Seli adalah di meja bundar paling pojok dekat jendela besar. Kegiatan yang dilakukan Seli-pun beragam. Terkadang, ia hanya datang kesana untuk memesan segelas latte dan menikmati hujan dari balik kotak bening itu. Terkadang ia membawa buku bacaan disana. Seli sangat suka sekali hawa baik di dalam kafe itu.

Lonceng di pintu berdenting, tanda ada orang lain yang masuk ke kafe itu. Tanpa melihat, Seli jelas tahu siapa orang itu. Mobil yang tadi terparkir sempurna menjelaskan semuanya. Setelah orang itu turun, mobil itu segera menghilang di dekat belokan.

"Hai, Sel!" serunya. "Nih, gue bawa sesuatu!"

Dapat dipastikan bahwa jika Seli tahu tempat ini adalah kafe, maka Si Flora Grimora juga pasti tahu bahwa this place does exist. Tangan gadis itu menyerahkan satu box bewarna coklat kepada Seli. Kemudian, dirinya duduk di depan tempat duduk milik sahabatnya itu.

"Ini apa?" tanya Seli sambil menimang-nimang kotak itu.

"Tante Susi, frapucinno vanilla satu ya!" seru Flora setengah berteriak yang dibalas anggukan dari Tante Susi, pemilik kafe itu. "Buka aja deh, coba. Eksklusif buat lo."

Jari-jemari Seli perlahan membuka kotak itu. Di dalam kotak itu terdapat satu frame bewarna biru—warna kesukaan Seli—serta satu foto yang sudah terpajang manis di dalamnya. Mata Seli sontak membulat saat tahu apa isi dari foto itu. Foto itu adalah foto yang menampakkan dirinya saat ia melingkarkan tangannya di lengan makhluk yang paling tak disukainya, cowok.

"Harus ya? Kamu print terus diginiin?" tanya Seli dengan muka datarnya.

"Bagus kan? Kenang-kenangan, Sel! Jarang-jarang lo kayak gini."

"Ya, kan, tapi gak gini juga caranya.."

Di saat dua insan itu berdebat, lonceng di pintu masuk kafe itu kembali berbunyi. Mata Seli kian membulat saat matanya langsung menangkap sosok yang selama ini mengganggu dirinya. Flora, yang bingung karena tiba-tiba Seli terdiam, ikut menoleh ke belakang, juga ingin mengetahui siapa kali ini yang datang.

"RIO?!!" panggil Flora sambil berteriak. "Lo ngapain disini??"

Yang dipanggil malah menautkan alisnya bingung nan terkejut. "Ya emangnya gak boleh gue ke kafe tante gue sendiri?"

Hening.

"Eh, ada Seli juga!" seru Rio balik sambil menghampiri meja dua sekawan itu.

Seli menepuk jidatnya pelan. Tak habis pikir, mengapa hidupnya tidak bisa terbebas dari jeratan laki-laki macam Rio itu. Ia segera meringkas frame foto yang tadi diberikan oleh Flora, tidak mau membuat Rio berbicara yang macam-macam saat melihatnya. Tangannya mencari inhaler yang ada di dalam tasnya. Setelah menemukannya, ia langsung memakai benda itu sekali isap.

"Gue kesini soalnya katanya Tante, bentar lagi ada orang baru yang mau kerja disini."

"Siapa?" tanya Flora.

"Tante gue,"

"Yang nanya."

Hening.

"Bacot lah, Flo. Kesel gue sama lo."

"Ya, terus kenapa kalo ada orang baru yang mau kerja disini?"

"Ya gue suruh nemenin dia lah!"

Seli masih terdiam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus bereaksi sekarang setelah apa yang terjadi di pesta Flora dan setelah Flora mengatakan yang membuat Seli semakin bingung. Ini semua gara-gara Flora pokoknya, batin Seli dalam hati.

"Kok diem aja, Sel? Lo lagi gak enak badan?" tanya Rio sambil meletakkan tangannya di dahi Seli yang otomatis di tepis oleh cewek itu.

Lagi-lagi perut Seli terasa terlilit. Masa beneran ada kupu-kupu di perutku? batin Seli dalam hati. "Ng-nggak."

Lonceng pintu kafe kembali berbunyi. Entah mengapa, tangan Seli yang sedang menggenggam erat gelas latte itu mendadak lemas. Tubuhnya mati rasa. Matanya tidak bisa teralihkan dari pintu. Ia bertemu dengan sosok itu lagi. Sosok yang membuat ia menderita hingga hari ini. Sosok yang menghantuinya tiap malam. Sosok yang membuatnya harus meminum obat agar bisa tidur dengan baik dan merasa tenang.

Sosok itu menolehkan kepalanya ke samping dan menemukan tiga remaja yang sedang duduk disana. Dirinya juga terlihat terkejut. Perlahan ia menghampiri meja itu. Setiap langkah yang ditapak oleh sosok itu membuat Seli meneguk air liurnya sendiri. Tenggorokannya terasa panas.

"Se-Seli?" panggillnya gemetar.

DEG!

"Sean?" panggil Tante Susi. "Udah disini? Ayo masuk ke belakang dulu."

DEG! DEG!

Badan Seli bergetar hebat. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dinginnya mulai bercucuran. Tangannya mengepal dengan erat. Kepalanya menunduk, tidak ingin melihat laki-laki itu. Perlahan tapi pasti, air matanya turun dengan deras. Matanya tidak berkedip. Nafasnya mulai tak beraturan.

Flora memandang Seli panik dan sosok itu secara bergantian. Lantas ia beranjak dari kursinya. "Om Sean," panggil Flora.

"Tolong Om pergi dari sini." Ucap Flora dingin. "Atau jika tidak, tolong, segera ke belakang dan ikut Tante Susi. Flora mohon." Lanjutnya lagi dengan ketegasan tersirat di setiap katanya.

Flora lalu mengeluarkan satu lembar uang seratusan kemudian beranjak dari kursinya dan mengangkat lengan Seli, tanda ia mengajak Seli untuk keluar dari kafe itu. Ia juga mengangkat lengan Rio, tanda ia juga mengajak Rio—yang sangat kebingungan—untuk ikut dengannya.

"Flora pulang, Tante," pamit Flora.

"Frappucinno­-nya, Flo?" panggil Tante Susi sambil mengangkat segelas frappucinno vanilla.

"Kapan-kapan aja, ya, Tante, ah," sela Flora sambil menengok ke Sean. "Rasanya Tante harus menimbang-nimbang buat nerima dia jadi pegawai, deh." Katanya lagi kemudian berusaha membuka pintu masuk.

"Yo, lo bawa mobil, gak?" tanya Flora sekarang yang mulai panik.

Rio yang sangat bingung serta merasa terasingkan, segera membukakan pintu keluar kafe dan pintu mobil miliknya untuk Flora dan Seli. Saat matanya menangkap wajah Seli, jantungnya mendadak seperti jatuh ke jalan.

Mata gadis itu masih tidak berkedip dan nafasnya masih tidak beraturan. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Badannya kaku seperti orang mati.

Flora melepas paksa kacamata Seli lantas membuangnya asal di dalam mobil Rio. "Lo tau kan harus kemana, Yo?" tanya Flora yang lalu membongkar tasnya, mengeluarkan satu botol obat yang khusus dari tasnya dan berbeda dari obat-obat Seli yang sebelumnya.

"Darma Permai, kan?"

"Sori ya, gue ngerepotin lo," ucap Flora lagi sambil memaksa masuk obat itu ke dalam mulut Seli yang tentu saja membuat Rio kaget.

"LO NGAPAIN?!" seru Rio menoleh ke belakang sambil mencengkram erat tangan Flora, melarang Flora untuk memasukkan obat itu secara paksa oleh Flora namun Flora segera melepaskan cengkraman itu.

"Percaya ke gue, ini satu-satunya hal yang bisa buat Seli selamat sekarang!" balas Flora tak kalah keras. "Please, just drive, Yo. We don't have enough time."

Laki-laki itu berdecik kesal dan segera menjalankan mobilnya dengan perasaan was-was.

"Halo, Tante Jean," ucap Flora di ponselnya sambil menyeka air matanya yang lolos dari ujung matanya. "Tolong Seli." 

●▪●▪●

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang