SEKARANG sudah jam 7 malam. Mobil merah itu melengang di antara jalanan yang cukup sepi. Di aspal hanya terdapat beberapa genangan air. Lampu-lampu masih setia menemani bulan serta bintang untuk menyinari malam ini. Sesuai janji tadi sore, Seli dan Luna-ibunya, hendak pergi membesuk atasan Luna yang katanya sudah siuman dari kecelakaan.
"Ini bukannya ke Rumah Sakit Darma Permai, ya, Ma?" tanya Seli.
"Iya, memang disitu Tante Rina dirawat," jawab Luna. "Ini bentar lagi sampai." Luna lalu membelokkan setirnya ke arah kiri. Kemudian nampaklah rumah sakit itu tepat di depan mereka. Wanita itu segera menuju ke basement, ingin memarkirkan mobilnya segera.
"Kamu bawa ini, ya, Sel," perintah Luna seraya memberikan sebuah keranjang berisi buah-buahan.
Seli mengangguk lantas mengekori ibunya seperti bebek ke arah lift. "Mama sudah tau,Tante Rina ada di lantai dan di kamar nomor berapa?"
"Iya, sudah," katanya sambil memencet tombol lift berangka 7. "Kamar nomor 707."
"Oh, iya-iya."
Mereka berdua naik ke atas dalam keadaan hening. Hanya ada deru mesin milik lift yang sedang bergerak. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka lebar. Luna melangkahkan kakinya terlebih dahulu, memimpin Seli untuk mencari kamar Rina. Dua orang itu terus berjalan. Lorong rumah sakit di lantai ini lebih mirip dengan lorong hotel, penuh dengan pintu-pintu kamar pasien.
"Nah, ini," Luna kemudian berhenti di depan pintu kamar nomor 707, kamar Rina. "Ayo, Sel." ajaknya lagi lalu ia memutar kenop pintu dan masuk duluan. Seli menarik nafas sejenak lalu ia mengintip kamar itu dari luar. Di dalam kamar itu, hanya ada Rina yang sedang memakai tablet-nya.
Tuh, kan. Ini nggak ada hubungannya sama cowok itu.
"Eh, Lunaa??" seru Rina dengan raut wajah ceria meskipun dahinya terperban. "Waduh, ini anakmu, ya, Lun?" tanyanya lagi seraya mengamati Seli.
Seli kemudian segera masuk, memberi salam kepada Rina, dan meletakkan keranjang buah-buahan itu di nakas sebelah ranjang Rina. "Seli, Tante."
"Oalaah.. Seli. Cantik banget anakmu, Lun!" seru Rina lagi sambil membelai rambut Seli yang sedang merona.
"Gimana, Rin? Kok bisa sampai kayak gini?" tanya Luna yang tau-tau sudah duduk di kursi hasil geretannya. Sedangkan Seli menjauh, lebih memilih duduk di sofa dekat pintu kamar.
"Ya, aku juga kurang ngerti, ya. Yang jelas aku masih bersyukur, Lun, masih bisa bangun lagi hari ini. Kapan hari itu aku mau ke toko roti, tiba-tiba laper, minta anak laki-lakiku anter, dia lagi sibuk kerja tugas. Aku nggak berani maksa, Lun. Soalnya baru pertama kali aku liat dia kerja tugas. Jadi ikut seneng hati ini, hahahaha," cerita Rina. "Yaudah, habis gitu aku jalan sendirian. Eeeeee, tau-tau keserempet terus aku tidur lama. Terus bangun deh sekarang."
"Haduh.. Mangkanya ati-ati, toh, Rin. Untung aja masih bisa bangun, kalo nggak?" jawab Luna sambil mengusap lengan Rina yang terpasangi infus.
"Ya, kalo nggak, ya harus diikhlaskan. Semua itu kan rencana Tuhan." Balas Rina dengan senyum di wajahnya, membuat Luna terkekeh pelan.
"Yasudah. Pokoknya lain kali ati-ati, ya, Rin. Terus ini kamu kok cuman sendirian? Suami masih belum pulang? Anakmu?"
"Suami barusan sudah kesini. Tapi ada urusan mendadak, jadi dia langsung pergi lagi,"
"Iya, setidaknya dia sudah lega liat kamu bangun, Rin."
"Hahahaha.. Iya, bener. Terus anakku ada disini, kok. Barusan turun, jemput makananku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...