SELI menata lokernya dengan malas. Ia mengangkat matanya. Langit sedang mendung, membuat gadis tersebut rasanya ingin segera pulang dari sekolah ini. Ia sebenarnya sedang menunggu Flora yang masih mengikuti ekstrakurikuler melukis.
Sementara, dirinya juga sudah berjanji untuk makan malam bersama dengan keluarga Flora, tahun ini. Ibunya juga akan menyusul ke rumah Flora. Tahun-tahun lalu, Seli begitu enggan untuk mampir di rumah Flora.
Alasannya satu: takut bertemu dengan ayah Flora yang notabene adalah seorang penyelamat namun sayangnya ia adalah seorang laki-laki. Oleh karena itu, kali ini ia dengan senantiasa menunggu Flora selesai. Toh, sekarang ia sudah bisa untuk hidup normal walaupun hanya sedikit.
"Cewek," panggil seseorang dari belakang membuat cewek itu terlonjak kaget.
Suara ini. Sontak gadis itu segera memejamkan matanya erat-erat.
"Kalo ada orang ngomong, lihat ke mata orangnya dong. Itu termasuk etika, lho."
Seli mendesah kecil, lantas ia membalikkan badannya, berusaha menatap lurus mata laki-laki itu. Namun, dirinya yang dulu bukanlah dirinya sekarang. Kalau dulu ia bisa memberikan tatapan ngeri–jangan dekat-dekat—kepada seorang cowok, sekarang ia begitu gugup melemparkan tatapan itu, terlebih lagi kepada cowok satu ini. Tangan kanan cowok itu menahan pintu loker Seli yang sedari tadi ingin menutup.
"A-apa?" tanya Seli malu sambil mengarahkan matanya ke samping, jantungnya mendadak tidak kuat menatap laki-laki satu ini. Jujur, rasa gondok masih menghuni hatinya. Tapi, ia bersusah payah untuk tidak menunjukkan hal itu. Masih berusaha untuk tidak peduli. Masih berusaha untuk menyangkal hatinya yang berkata lain.
"Selamat Ulang Tahun yang ke-18," ujarnya pelan, membuat Seli perlahan kembali memalingkan wajahnya ke arah laki-laki itu. "Gue nggak salah tanggal, kan?"
Seli menautkan alisnya. "Darimana kamu tau—"
Cowok tersebut tiba-tiba merubah posisinya, tangan kanannya yang semula berada di pintu loker menjadi berada di saku, lantas pundaknya yang sekarang ia gunakan untuk menahan pintu loker. Tak berapa lama, ia mengeluarkan sebuah gelang titanium yang dilengkapi dengan chain kecil bulan dan bintang menemaninya. Tangan kirinya bergerak menuju pergelangan tangan kiri Seli, namun dengan kebiasaannya yang masih menempel, gadis itu segera menarik tangannya ke belakang.
"Ka-kamu mau ngapain, Yo?" tanyanya setengah takut. Tapi, Rio tidak berkata apa-apa. Ia kembali menggerakkan tangannya untuk meraih lengan Seli. Namun, sekali lagi Seli semakin menyembunyikan tangannya di belakang pinggang.
Akhirnya Rio mengeluarkan tarikan nafasnya. "Gue nggak mau ngapa-ngapain. Cuman mau kasih ini," katanya sambil mengangkat gelang itu setinggi wajah Seli. "Boleh, kan?"
Gadis itu berpikir keras. Tapi, sebelum pemikirannya selesai, Rio mengejutkan dirinya terlebih dahulu dengan cara menarik pergelangan tangan Seli yang sebelah kanan. Tangannya dengan hati-hati memakaikan gelang di tangan Seli.
"Sel?" panggil Rio pelan, masih sambil memakaikan gelang itu. "Please, let me love you."
Saat Seli mendengar kalimat itu, jantungnya seperti melorot ke lantai. Pikirannya kosong. Perutnya terasa perih menggelitik. Darahnya berdesir hebat hingga ke ujung jemari-jemarinya, membuat ia sontak mengepalkan tangan kirinya, menahan desiran itu. Sedetik kemudian, jantungnya mendadak memompa sangat keras. Sampai-sampai ia bisa mendengar detak jantungnya yang keras dan cepat itu. Dan sedetik kemudian pula, ia melepaskan gelang itu dan mengembalikannya ke Rio.
"Bilang itu ke Laura." ucapnya dingin lantas ia buru-buru minggir dari hadapan Rio, meninggalkan lokernya terbuka, meninggalkan Rio yang membeku di sana, dengan tangan yang menggenggam erat gelang itu.
Di sisi lain, tangan Seli menutup mulutnya. Kakinya masih berlari menuju kamar mandi perempuan, berusaha berada di tempat yang Rio tidak mungkin masuki. Kali ini, bukan rasa takut yang ada. Namun, setitik rasa cemburu dan perih yang muncul mendominasi hatinya.
●▪●▪●

KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...