"KENAPA?"
Satu kata itu berhasil mengalihkan perhatian Jean dari meja dadanya.
"Kenapa Tante buat Rio masuk ke dalam kamar Seli?"
Jean lantas tersenyum cerah. Tangannya kemudian melepaskan alat pengukur detak jantung dari lengan Seli, meringkasnya, kemudian meletakkan alat itu di nakas bersama dengan meja dadanya.
"Kamu pernah dengar kalimat ini gak, Sel? Do the thing you fear to do and keep on doing it! That is the quickest and surest way ever yet dicovered to conquer fear. Karya Dale Carnegie." Yang dibalas gelengan kepala dari Seli.
"Jika kamu tidak tau, maka kamu udah tau sekarang. Itu metode yang Tante pakai. Kamu bertemu dengan orang itu setelah lima tahun. Hal itu memang membuat sesuatu di dalam tubuhmu otomatis ketakutan. Tapi, dia akan membuat apa ya sebutannya," ucap Jean terbingung sejenak. "Ah, dia akan membuat sebuah perisai. Nah, perisai ini yang akan menangkal semua pikiran buruk yang bisa membuat kondisimu kian memburuk. Jadi, tentu saja Tante memakai kesempatan ini."
"Dia siapa, Tante?"
"Ini," jari telunjuk Jean mengetuk tepat di tengah-tengah dada Seli. "Hatimu."
Kepala Seli menunduk. Dirinya hanya menatap selimutnya sedari tadi.
"Gimana perasaanmu setelah kamu ngomong sama Rio? Beda kan feel-nya sama waktu kamu ngomong sama James?" tanya Jean yang sontak membuat wajah Seli memerah.
"Sa-sama aja."
Wanita itu semakin mengembangkan senyumnya. "Kamu bisa anggep ini adalah ujian kenaikan dari terapi Tante."
Mata Seli beralih ke Tantenya. Ia menatap Jean dengan penuh tanda tanya. "Maksud Tante?"
"Kamu memang butuh terapi. Tapi mulai sekarang, bukan Tante yang membantumu terapi, tapi Flora dan juga.."
"Ricardo."
"BINGO! Keponakan Tante ini memang pinter ya," ucap Jean sambil mengusap lembut rambut Seli, sedangkan gadis itu hanya bisa memutar bola matanya malas. "Kamu sudah lama sekali terapi dengan James sebagai lawan bicaramu. Tapi jangan lupa, James hanyalah seorang anak kecil. Beda dengan Ricardo."
"Lantas kenapa Tante menyuruhku terapi dengan Rio? Dengan James saja masih tidak bisa,"
"Kamu bisa, Seli. Apakah kamu tau jika tadi Rio itu memelukmu?"
Seli mengangguk pelan membuat Jean lagi-lagi tersenyum.
"Tante gak habis pikir. Mantra apa yang Rio pake ke kamu, kenapa kamu bisa membiarkan Rio memelukmu? Ya meskipun ada sedikit penolakan, tapi kamu masih tahan dengan dirinya,"
"Memangnya itu hal yang bagus ya?"
"Sebagai pengamat pribadimu, Tante berani mengatakan YES, it is very nice. Kamu sudah berubah Seli, percayalah kepada Tante," jelas Jean kemudian ia mendekatkan dirinya kepada Seli. "Just a litte bit more, dan kamu bakal sembuh Seli. Bahkan kamu bisa sembuh secara tidak sadar."
"Inget, ya, Sel," Jean mengusap rambut keponakannya itu. "Nggak semua cowok di dunia ini itu jahat. Masih ada banyak cowok yang baik di luar sana. Dan Tante percaya teman-teman cowokmu itu baik-baik semua. Nggak akan nyakitin kamu. Jadi, tolong berusahalah juga."
Seli mengukir senyumnya dengan terpaksa. "Harus Rio ya?"
Lantas Jean dengan senang hati memeluk keponakannya itu. "Untuk kali ini, yea, it must be Rio," dirinya kemudian mengeluarkan inhaler milik Seli dari saku jas dokternya. "Benda ini akan Tante buang. Kamu harus bertahan hidup dari oksigen alami bukan dari sini."
"Jangan, Tante.." rengek Seli sambil berusaha meraih inhaler-nya.
"Percaya sama Tante, kamu pasti sembuh."
●▪●▪●
![](https://img.wattpad.com/cover/139430355-288-k688708.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...