GADIS itu membalikkan badannya dan menutup mulutnya. Otaknya bingung apakah ia harus membuka pintu itu atau tidak. Tapi hatinya sangat mendukung bahkan memerintahkan tangannya untuk membuka pintu itu. Perlahan Seli membuka kunci apartemennya.
"STOP STOP! JANGAN DIBUKA!" jeritnya dari luar. "Segini lo udah denger, kan?"
Gadis itu kebingungan. Namun tangannya turun, tidak jadi membukakan pintu itu. Ia mengetuk pintu itu dua kali, tanda ia berkata 'iya'. Jantungnya mendadak berpacu cepat. Keringatnya mengalir deras, gemas menunggu apa yang akan dikatakan laki-laki itu.
TOK TOK.
"Oke. Gue nggak akan ngulang dua kali. Jadi tolong dengerin baik-baik. Jangan buka pintunya, jangan ngintip dari lubang ini. Gue nggak mau lo ngeliat gue yang lagi berantakan ini," ujar Rio mulai berbicara. "Yang pertama, gue serius tentang hal-hal yang gue omongin dari kemarin,"
"Gue suka lo, Sel. Serius."
Kalimat pertama sukses membuat pipi Seli merona. Tangannya terkepal menahan desiran yang tiba-tiba mengalir deras. Lantas ia kembali mengangkat tangannya.
TOK TOK.
"Yang kedua, dari awal, perhatian gue semuanya diambil sama lo. Dan semua yang lo lihat di hape gue itu adalah kesalah-pahaman. Laura itu sepupu gue. Sepupu dari Mama gue yang aslinya emang bule. Cantik banget emang. Tapi, gue bersumpah, dia itu C-U-M-A-N sepupu gue. Jadi lo nggak perlu khawatir."
Kalimat kedua juga sukses membuat Seli terkejut. Matanya terpejam. Ia menggigit bibirnya, merutuki diri sendiri mengapa ia telah bersikap aneh di hadapan laki-laki yang tidak ada salah sama sekali itu. Bibirnya ingin sekali meluncurkan kata 'maaf'. Tangannya kembali terangkat.
TOK TOK.
"Yang ketiga, gue tau dan gue emang pede bilang kalo gue ganteng. Tapi bukan berati cowok cakep itu kerjaannya gonta-ganti cewek mulu. Jangan samakan gue dengan tokoh-tokoh cowok cakep yang ada di novel lo atau drama korea. Gue itu bukan player, seperti yang lo sebut tempo hari."
Kali ini Seli tertawa geli. Ia benar-benar penasaran seperti apa raut wajah yang dibuat laki-laki itu sekarang ini. TOK TOK.
"Yang keempat dan yang terakhir," ucapan Rio sempat tertahan, kembali membuat Seli penasaran. "Gue suka sama lo, bukan karena lo cantik, bukan karena lo pinter, tapi karena hati gue yang bilang you are the one."
Seli tertegun. Jantungnya mendadak mati sejenak.
"Aku harap, hatiku bisa menggapaimu."
CEKLEK.
Kepala mereka sontak terangkat bersamaan. Mata mereka bertumbuk. Semuanya bersemu merah. Oksigen yang di sekitar sana mungkin akan habis sebentar lagi. Seli mengamati laki-laki itu. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya dengan baju yang sudah keluar kemana-mana. Rambutnya berantakan. Sementara ia hanya memakai piyama, membuat Sang Laki-laki hanya bisa tersenyum hangat dan tertawa geli.
"Iya, gue tau lo mau ngomong apa," ujar Rio sambil menundukkan kepalanya, enggan untuk diamati Seli terus-menerus. "Geli, kan?"
Tawa Seli pecah. Senyum lebar terulas di wajahnya yang pucat. "Semua yang kamu omongin.... beneran?"
Kepala Rio kembali mendongak. Lucu banget kayak kucing. "Iya, beneran. Terus, gue minta maaf ya."
Seli menggeleng kecil. Ia memandang Rio lamat-lamat. "Kamu itu nggak salah apa-apa. Kok malah kamu yang minta maaf. Yang salah itu aku.. Aku jealous.. Aku—"
Kalimat Seli terpotong lantaran ia mendapatkan kedua tangan Rio menangkup pipinya sekarang. Lututnya ditekuk, ingin menyamakan tingginya dengan tinggi gadis itu. "Iya aku ngerti."
Entah mengapa saat Rio mengucapkan itu, hati Seli bergetar hebat. Lagi-lagi darahnya berdesir. Perutnya mengalami reaksi berlebihan, perih, tergelitik, terlilit, semuanya menjadi satu. Ia kembali memberanikan diri untuk mengutarakan permintaan maafnya, "Maaf kalo misalnya aku udah seenaknya sendiri. Marah-marah nggak jelas cuman gara-gara ngeliat kamu sama Laura kemarin. Aku benar-benar minta maaf."
Lagi-lagi Rio tertawa geli. Tangannya bergerak menuju pucuk kepala gadis itu, mengusapnya lembut. "Ndak apa-apa. Gue ngerti."
"Kamu tuh cowok, tapi kok baik banget."
Laki-laki itu mengukir senyumnya. Lututnya ditekuk, ingin menjajarkan kepalanya setinggi kepala Seli. Lantas ditangkupnya lagi wajah gadis itu, menampakkan sebuah wajah yang persis seperti bakpau. "Makasih."
Seli mendengus pelan lalu menepis tangan Rio. Ia memalingkan wajahnya malu, tapi senyum masih tergambar di wajahnya yang merona. "Aku yang makasih. Makasih udah sabar buat aku."
Rio meraih tangan gadis itu. Ia mengeluarkan gelang titanium yang kemarin hendak diberikan kepada Seli, memakaikannya dengan penuh hati-hati, tanpa menerima penolakan lagi dari gadis itu. Senyum terbit di wajahnya saat ia melihat gelang itu telah sempurna melingkar di pergelangan tangan gadisnya. "Happy Birthday. Maaf telat."
Cewek itu terkekeh pelan kemudian tersenyum kepada Rio. Ia menepuk-nepuk lengan cowok itu. "Makasih buat semuanya." Itu yang diucapkannya. Padahal di dalam hatinya: Makasih sudah muncul buat aku. Makasih udah bertingkah konyol untuk membuatku tersenyum. Makasih sudah mengerti aku. Makasih sudah bersabar untukku. Makasih karena kamu sudah menyembuhkan aku.
"ADUH! ASIK BANGET YA! JADI NGGAK TEGA GANGGUIN!"
Kepala dua manusia itu otomatis menoleh, mencari siapa yang memecah kebahagiaan kali ini.
"Gue geli, lho. Asli."
"Flora.." panggil Seli sambil mendengus kesal.
"Karena polisinya udah dateng, gue duluan, ya," ucap Rio membuat Seli terkejut. "Sampe ketemu besok." Pamitnya lagi seraya mengacak-acak rambut Seli, membuat gadis itu setengah kesal setengah senang.
"Dia nggak ngapa-ngapain lo, kan, Sel?"
Seli menggeleng cepat dengan senyum masih melekat di wajahnya. Flora lantas mengeluarkan ketiga barang Rio tadi, yang katanya sebagai jaminan. Lalu menyerahkannya kepada Rio dengan wajah kesal.
"Gue itu cowok. Gue bakal nepatin janji," ujar Rio sambil memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam sakunya. Kemudian ia merasakan sesuatu yang penting. Badannya kembali berbalik menuju Seli. Tangannya keluar, menyerahkan secarik surat yang mendiami saku celananya dari minggu lalu. "Dari Om Sean. Dari minggu lalu dia ngasih, tapi gue disuruh ngasih di waktu ulang tahun lo. Jangan lupa dibaca. Jangan dibuang. Itu dari papa mertua gue."
"HIH! GELI!" jerit Flora tidak percaya. "Udah pulang sono!"
"Yaudah, gue pulang, ya." Pamit Rio dan sekali lagi mengacak-acak rambut Seli.
Setelah keadaan mulai tenang [karena Rio sudah pulang], Seli membawa Flora masuk ke dalam kamarnya yang... berantakan. Tisu dimana-mana. Selimut tergulung aneh. Dan masih banyak lagi. Seli berjalan menuju meja makannya yang berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus.
"Nggak mau dibaca?" tanya Flora sambil duduk di hadapan Seli.
Jujur Seli ingin sekali tidak membaca surat itu. Tapi, tangannya membuka amplop itu tanpa diperintah. Jantungnya berdegup keras. Tapi degupannya sangat berbeda dengan pada waktu Rio menyatakan perasaannya. Dibukalah kertas itu.
●▪●▪●
![](https://img.wattpad.com/cover/139430355-288-k688708.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Genç Kurgu#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...