38

2.5K 248 7
                                    

ENTAH ada apa di luar sana, yang jelas suasana di luar kamar sangat ramai. Seli menyuapkan sendok terakhir dari makan malamnya ke mulutnya. Flora masih setia menemani Seli di dalam. Sudah lima hari Seli ada di rumah sakit. Jika sebelum-sebelumnya Rio selalu mengunjungi rumah sakit sebelum Seli sadar, sekarang laki-laki itu tidak kembali menjenguk sejak 'terapi' dilakukan. Alhasil hanya Flora yang menemaninya sepulang ia sekolah sampai malam hari.

Flora lantas beranjak dari kursi, ingin melihat ada apa di luar sana. Tangannya menggeser pintu kamar. Seketika matanya membulat. "KALIAN NGAPAIN DISINI?!" jeritnya membuat Seli terlonjak kaget. Seli berusaha menenangkan pikirannya. Ia sudah dilarang untuk memakai inhaler-nya. Satu-satunya penyelamat Seli sekarang adalah hati miliknya.

Tak berapa lama, munculah Lian, Afif, Fani, dan Varen. Mereka masuk ke dalam dengan tawa di setiap langkahnya. Entah siapa yang habis melawak, tapi sedari-tadi tawa mereka tidak habis-habis. Fani meletakkan keranjang isi buah-buahan di nakas kanan Seli. Sementara Varen meletakkan berbagai kertas yang Seli percaya sebagai materi yang tertinggal, di nakas sebelah kiri.

"Hai, Sel," sapa Lian. "Lama banget disini. Nggak mau balik sekolah?"

Seli tersenyum tipis. "Besok lusa aku sekolah lagi."

"Bagus, deh. Kalo nggak, nggak tau lagi, deh, sampe kapan Rio bakal ngebacot kangen-kangen ke-Aww!" ujar Afif yang segera disikut tubuhnya oleh Lian.

Sekarang kening Seli mengernyit. Tapi, dalam hatinya ia merasa sangat senang karena masih ada teman-teman yang peduli dengan dirinya.

"Iya, Sel. Cepet sembuh, deh. Biar gue nggak diterorin terus sama Flora." Ucap Fani.

"Apaan, sih?" sahut Flora tidak terima dari senderan pintu kamar.

Sementara itu, Varen masih terdiam. Enggan mengeluarkan suaranya.

"Rio nggak ikut?" tanya Flora kepada empat orang itu.

"Nggak tau," jawab Lian sambil mengedikkan bahunya. "Tadi gue udah ajak. Tapi dia cuman oh-oh doang. Gak jelas, deh, pokoknya."

Flora manggut-manggut. Lantas matanya beralih ke Varen yang masih saja bungkam. "Yaudah, deh. Kayaknya ada yang mau ngomong empat mata sama Seli," ujar Flora sambil membuka pintu kamarnya. "Yang nggak merasa, tolong keluar."

"Lo itu ngeselin tau nggak, sih, Flo?" celetuk Fani sambil merangkul Flora yang dibuntuti oleh Lian dan Afif.

"Cepet sembuh, ya, Sel!" seru Lian di ujung sana.

"Iya, cepet sembuh, Sel! Biar Flora jadi nggak rese lagi!" sekarang Fani yang berteriak lantas pintu kamar itu bergeser menutup.

Oke, acara bilang gws-nya kok cepet banget, sih? batin Seli dalam hati.

Sekarang, di kamar itu hanya tersisa Varen dan Seli. Seli masih berusaha menetralkan kepanikannya semenjak ditinggal berdua dengan cowok ini. Hanya keheningan yang merayapi kamar itu. Varen menggeret kursi, meletakkannya di sebelah ranjang Seli.

"Gimana keadaan lo, Sel?" tanya Varen pelan.

"Ya, seperti yang kamu liat."

Keheningan kembali mencekat.

"Thanks materinya. Padahal aku nggak minta," ujar Seli.

"Nggak apa-apa. Gue tau lo paling nggak suka kalo ketinggalan pelajaran."

"Kamu tau banyak ya tentang suka-nggak suka-ku."

Senyum terukir di wajah Varen. "Lo kapan sembuh?"

"Lusa udah keluar kok."

"Maksud gue, sembuh dari Arrhenphobia."

Yang terdengar sekarang hanyalah helaan nafas panjang dari Seli dan deru pendingin ruangan. "Semua orang butuh proses. Dan yang namanya proses apalagi proses untuk sembuh, nggak bisa cuman di zimzalabim besok waras. Kecuali jika Sang Pencipta, mau beri mukjizat. Mangkanya, tolong doain aku terus, ya." Jelas Seli sambil tersenyum kecil.

"Tanpa lo suruh, gue udah bolak-balik bawa nama lo ke doa gue, Sel."

Seli menautkan alisnya lantas terkekeh pelan. "Apaan, sih? Geli tauk dengernya. Sekarang bukan taun 90-an, kali, Ren."

"Nggak. Gue serius."

Gadis itu termangu. Dari zona paling dalam lubuk hatinya, ia mengatakan, bukan suara ini yang ia harapkan. Tapi ia segera menepis jauh-jauh pemikiran itu.

"Say it, Sel," Varen mengusap rambut Seli secara tiba-tiba, membuat gadis itu sontak melotot dan menjauhkan kepalanya dari tangan Varen. Sebuah kejadian serupa yang lagi-lagi membuat Varen tersenyum. "Dari awal, aku memang nggak punya kesempatan, kan?"

●▪●▪●

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang