EMPAT tahun lalu..
"Kamu mulai menderita Arrhenphobia, Seli."
Pernyataan itu sukses membuat Seli terkejut.
"Namun, phobia milik kamu tidak terlalu parah. Mungkin, gejalanya bisa kambuh secara ekstrim jika ada seorang cowok yang menyentuh kamu. Kamu itu sangat sensitif pada sentuhan para lelaki. Karena kamu pernah di sentuh secara paksa dalam masalah ini. Itu yang membuat 'sentuhan lelaki' lebih dominan daripada yang lain. Namun, menurut Tante, gejala kamu juga bisa kambuh jika mengobrol terlalu dekat dengan laki-laki, tapi maksimal-lah, kamu hanya sesak nafas. Tidak akan sampai mual dan lain-lain." Dr. Jean menjelaskan tentang keadaan perempuan itu, Seli.
Perempuan itu terduduk lemah di depannya. Setelah setahun sejak kejadian itu, Luna terlihat khawatir tentang sikap Seli yang tiba-tiba berubah drastis terhadap lelaki. Akhirnya, Luna-pun membawa anaknya kepada saudaranya yang seorang psikiater, Jean.
Seli masuk ke dalam ruangan putih itu sendiri. Tidak ingin membuat ibunya makin khawatir. "Bisa disembuhkan?"
Jean manggut-manggut. "Sangat bisa. Hanya saja, pasti butuh waktu," Jean menyerahkan beberapa bungkus obat.
"Waktu antara menyembuhkanmu atau menemukan seseorang untuk menyembuhkanmu," jelas Dr. Jean sambil tersenyum.
Seli menghela nafas panjang membuat Jean kembali memasang senyum manis. "Seseorang?"
"Yep. Beneran deh.. phobia kamu masih termasuk 'jinak'. Karena kamu hanya takut saat laki-laki hendak atau bahkan menyentuhmu. Liat kan buktinya barusan? Kamu hanya sesak nafas sebentar saat James berbicara agak lama dan dekat kepadamu, kamu bahkan bisa bercanda dengannya pada saat ia sudah tidak terlalu dekat" Jean melirik kepada anak laki-lakinya yang sedang tertidur.
"Kamu benar-benar bisa mengobrol santai dengan lelaki asal mereka tidak terlalu dekat. Semuanya tergantung kamu, Sel. Bisa jadi juga di masa depan, gejala ekstrimnya kambuh jika kamu berbicara dengan lelaki. Sekali lagi, semua tergantung kamu. Jika kamu bisa beradaptasi, phobiamu benar-benar masih bisa dihilangkan dengan mudah. Untung mamamu membawamu tepat waktu."
"Phobia bisa jinak bisa ganas juga ya?" tanya Seli sambil tersenyum hambar.
"Seli," Jean menggenggam tangan Seli erat. "Jangan biarkan ketakutan itu mengambil alih hidupmu. Hiduplah secara normal, kamu boleh takut, tapi hanya di saat tertentu dan mendesak. Itu bisa membuatmu perlahan-lahan terbiasa."
Jean membuka folder di laptopnya. "Melakukan kontak fisik secara bertahap. Nah, ini adalah cara penyembuhan paling mudah untukmu karena phobiamu tidak terlalu parah. Kamu bisa sem--"
"Seli tidak ingin sembuh," ucap Seli sambil mengedikkan bahunya. "Seli sudah nyaman hidup seperti ini."
Jean kembali menggenggam tangan keponakannya itu. "Percayalah kepada Tante, Seli. Kamu benar-benar bisa dan harus sembuh. Hidup di dalam gua hitam itu sangat tidak enak. Hidup sendirian dan hanya hampa yang akan terasa di dalammu,"
"Seli punya Flora."
"Seli," Jean menghembuskan nafas pelan. "Flora itu hanya sebagai penopangmu sekarang, kalau Flora sudah tidak ada bagaimana?"
"Flora tidak akan meninggalkan--"
"Jangan katakan itu Seli" Jean mempertegas nada bicaranya. "Flora mempunyai kehidupan pribadinya sendiri, misalnya saat ia memulai kisah romantisnya. Apa kamu masih mau membebani dia?"
Seli tertegun mendengar penjelasan Jean. Tidak berani menjawabnya karena apa yang dikatakan Jean semua benar adanya.
"Begini," Jean membenarkan posisi duduknya. "Kamu boleh bergantung pada Flora sekarang. Namun, jangan biarkan ketergantungan itu menjadi makananmu. Kau harus juga bisa belajar hidup tanpa Flora. Memang ini terdengar egois. Namun, itu semua demi kebaikan kalian semua."
Seli mengangguk pelan. "Ya, akan Seli coba"
Jean mengulum senyum tipis. "Ini, ada dua macam obat. Yang ini, merupakan obat penenang. Pakai ini saat kamu hanya merasakan pusing dan merasa tidak nyaman," Jean memberikan plastik obat berisi pil bewarna kuning.
"Dan yang ini, minum ini jika kamu habis throw up." Plastik obat bewarna merah berada di genggaman Seli sekarang.
"Jika dua-duanya?"
"Minum saja dua-duanya," Jean tersenyum. "Nanti pakai inhaler ini juga untuk mengurangi asma-mu saat gejalamu kambuh. Dan ingat!" tegas Jean membuat Seli mendongak mendengar suara Jean yang terkesan memaksa dan hati-hati.
"Cukup minum satu masing-masing pil. Dan HANYA BOLEH minum di saat badanmu tidak enak atau sesudah throw up. Jangan minum banyak, meskipun kamu merasa sangat depresi. Tante akan memantau perkembangan mulai dari sekarang." Jean berbicara dengan penuh penekanan di setiap katanya.
Seli mengangguk pelan. "Ya, Seli akan berusaha."
"Tante percaya nanti pasti ada seorang laki-laki yang bisa meluluhkanmu," ucap Jean.
Seli terkekeh pelan. "Itu gak mungkin, Tante."
Jean kembali mengulum senyum cantiknya. "Ya, dilihat saja nanti."
---------------------------------------------------------
P.S :Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆Thankyou
감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...