Seli mengerjabkan matanya pelan. Langit-langit putih, kasur putih, selimut putih, bau obat mencekat. Dirinya lantas menegakkan posisinya dan terkejut tatkala menemukan Flora yang berwajah datar di sampingnya dengan baju olahraga yang masih melekat di tubuhnya. Oh, masih di sekolah, toh.
"Halo, Flo," ujar Seli sambil menyengir lebar yang tentu saja segera dihadiahi sebuah jitakan dari Flora. "Ih, orang sakit kamu jitak-jitak, Flo. Tambah sakit."
"Bodo," balas Flora sambil menyerahkan dompet kecil milik Seli. "Obat?"
Seli menggeleng. "Nggak usah. Nggak kerasa apa-apa, kok," komentar Seli kemudian meregangkan otot-ototnya. Tangannya meraih kacamata yang terletak di nakas sebelahnya lalu memakainya cepat. "Yang bawa aku kesini kamu, ya? Gimana caranya? Kamu seret?"
"Serat-seret-serat-seret. Yang bawa lo kesini itu Rio tau!"
Mata Seli terangkat memandang Flora. "Bohong, ah, kamu. Masa Rio yang bawa aku kesini?"
"Iya! Buat apa gue bohong coba?! Pake digendong segala lagi! Bikin jiwa jonesku jerit-jerit, tau!"
Wajah Seli lantas tenggelam di antara telapak tangannya. Semburat merah menghiasi pipinya. Duh, dia itu [Rio, maksudnya] lagi susah, ditambah gendong kamu jadi tambah susah, Seli!
"Iya, gue tau lo malu. Udah, biasa aja kali. Lo sih, lagian ngapain pake acara meluk dia segala?"
Mata Seli kembali membulat. "Me-meluk?!"
"Sekolah itu bukan tempat bermesraan. Tempat buat belajar."
"Siapa juga yang bermesraan? Aku cuman hibur dia, nggak lebih." Sela Seli seraya memutar bola matanya.
"Nggak usah ngelak, deh. Rio udah cerita semua! Lagian lo, sih! Sadar diri dong kalo mau ngibur orang, apalagi cowok! Jadinya kayak gini, kan, pingsan nggak jelas."
"Ya namanya orang sedih, harus dihibur, kan Flo?" Seli mengukir senyum tipis di bibirnya. "And kamu juga tau betul, Flo, aku itu nggak pandai berkata-kata apalagi ngehibur orang," ujar Seli pelan. "Dan aku lebih baik memberikan pelukan tanpa ucap daripada mengeluarkan kata-kata manis tak bermakna untuknya. Meskipun aku harus menahan gidikan ngeri yang merayap saat...memeluknya." Jelas Seli sembari memutar matanya jengah.
Sementara itu, Flora menghela nafas lalu menganggukkan kepalanya. "Iya, aku ngerti. Kadang, kata-kata manis justru bisa membuat orang semakin terluka. Itulah sebabnya pelukan diciptakan. Untuk memudahkan orang yang tak pandai berkata-kata bisa mengungkapkan: aku ada disini, jadi tenang saja."
"Iya, bahasa tubuh emang yang terbaik daripada bahasa mulut."
"Buset, dah, kenapa kita jadi sok bijak gini?!" seru Flora sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kayaknya pada kemasukan semua abis balik-balik dari taman belakang."
"Kamu kasih tau Rio kan?"
"Kasih tau apa, ya?"
"Kamu kasih tau Rio kalo aku punya arrhenphobia, kan?"
Pertanyaan Seli sukses membuat Flora gelisah. Tangannya menggaruh tengkuknya yang tidak gatal. Kepalanya menoleh kesana kemari, menghindari tatapan mata Seli.
"Jawab, Flora."
"Hadu! Iya-iya! Iya! Gue ngasih tau Rio! Abis dia kepo banget! Gue juga jadi kasian! Dia kan gitu gara-gara lo," jawab Flora seraya mengacak-adut rambutnya. "Sekarang ngaku lo! Lo punya superpower kan? Lo bisa baca pikiran gue kan?!" jawab Flora sambil menunjuk-nunjuk Seli.
"Iya, aku punya," jawab Seli, ikut-ikutan melayani arus pembicaraan Flora, membuat sahabatnya itu membelalak kaget.
"Se-serius lo??"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...