29

2.7K 236 0
                                    

Rio menyisir rambutnya ke belakang sampai kinclong. Jemarinya mengancing kemeja putihnya hingga rapih. Tak lupa menyemprotkan cologne khasnya. Tangan kirinya menjinjing jas hitam yang akan dikenakannya nanti. Tangan kanannya kembali mengecek ponselnya, lebih tepatnya mengecek pesan dari Flora.

Ya, ayah Flora dan ayah Rio juga merupakan partner bisnis. Jadi, lumrah jika Flora dan Rio saling kenal. Sesaat setelah Rio menelpon Lian, SMS dari Flora masuk, yang isinya : ‘Sorry, undangan lo ilang. Party gue di Paula Village, jln kamboja. Dateng sekarang!

“Mau lo undang apa nggak, gue bakal tetep dateng, Flo,” gumam Rio sambil meraih kunci mobilnya kemudian menghilang dari rumah.

Rio menjalankan mobil dengan sukacita. Seperti yang dibilang tadi, meskipun diundang atau  tidak, Rio pasti akan tetap datang ke pesta Flora. Semua itu dilakukan untuk menjumpai perempuan yang akhir-akhir ini menjadi perhatiannya. Ya, dimana-pun Flora berada, kira-kira disana juga ada Seli.

Sesekali ia memutar radio mobilnya agar mendapat kabar terbaru tentang lalu lintas yang dilaluinya. Sesekali ia juga melihat-lihat sosial medianya siapa tahu ada spoiler tentang Seli di pesta Flora nanti. Sekitar tiga puluh menit, akhirnya Rio sampai di pesta Flora. Ia segera memakirkan mobil hitamnya di basement dan segera ingin naik lift, sampai ada yang mencegatnya.

“Permisi, kalau boleh tahu, Anda mau ke party mana ya?” tanya petugas berseragam itu. Ia membawa sebuah bucket bunga.

“Umm.. Flora Gimorel?” jawab Rio ragu melafalkan nama panjang Flora yang tentu saja salah.

“Oh, bagus kalau begitu, tadi Neng Flora minta ganti bunganya karena kurang cocok, tolong sekalian bawakan ya, Nak,” jelas bapak itu seraya menyerahkan bunga itu kepada Rio tanpa mendapatkan persetujuan dari laki-laki itu. “Trims.”

Pintu lift tertutup dan terbitlah helaan nafas yang menyelimuti ruang kotak itu. Saat itu juga, ponsel Rio bergetar. Matanya tertuju pada nama di layar ponselnya, Flora.

“Halo?”

‘Lo dimana sih? Lama banget!’

“Yaelah, mulai aja keles pestanya, kan pemeran utamanye elo bukan gue,”

‘Tapi lo itu juga pemeran penting!’

Alis Rio bertaut. “Maksudnya?”

‘Udah mangkanya cepet sini! Dari pintu lift, belok kiri aja, ada pintu disitu, masuk ya!’

Terputusnya sambungan telepon Flora terjadi bersamaan dengan sampainya Rio di lantai tempat pesta Flora digelar. Begitu lift terbuka, Rio menjumpai para penerima tamu  dan figura berisi foto Flora yang besar yang sontak membuat tawa Rio pecah.

“Ohya, belok kiri!” gumamnya pelan, lupa akan tujuan utama.

Rio menemukan sebuah pintu yang bertuliskan ‘Yang Tidak Berkeperluan, Dilarang Masuk.’ Setengah ragu, ia memutar kenop pintu dan membukanya perlahan. Ia menemukan satu ruangan cozy yang berisikan sofa-sofa besar dan satu meja yang sudah menjadi meja rias. Kayaknya ini waiting roomnya Flora.

Masih bingung, Rio tetap memilih untuk berdiri sampai ia menemui pemilik kamar ini. Tangannya masih erat mencengkram bucket bunga Lily putih yang bercampur dengan baby breath.

“Oh? Petugas bunganya udah dateng, Flo!” seru salah satu perempuan menyeruak di ruangan yang semula hening itu.

Rio tertegun. Jantungnya makin berdebar saat matanya menemukan sebuah sosok perempuan yang anggun, dengan rambut sebahu yang bergelombang serta hiasan kecil di kepalanya, dan tubuhnya terbalut dress midi bewarna pink pucat.

Telinganya dilengkapi dengan anting kecil nan panjang. Leher jenjangnya dihiasi dengan kalung dengan berlian kecil di tengahnya. Tidak ada kacamata hitam. Tidak ada jaket ungu tipis. Tidak ada rambut panjang lagi.

Goddess.

Ini lebih dari yang diharapkan Rio.

“R-Rambutmu..” ucap Rio tanpa sadar.

Perempuan itu memegang beberapa helai rambutnya. Mata bulat itu pelahan menatap Rio kembali. Hanya sedetik. Kemudian ia memallingkan wajah mungilnya. Tubuhnya bergetar seketika. Tangan kanannya yang memegang inhaler dan tangan kirinya yang memegang sebuah lilin yang suduah dihias, juga ikut bergetar.

“Eh Rio!” seru Flora muncul dengan gaun yang super mewah. “Udah dateng lo, coy?” tanyanya sambil menghampiri Seli. Matanya melihat ke arah Seli, kemudian beralih kepada Rio, kemudian beralih kepada Seli, begitu terus sampai 1 menit.

“Ohya, aku belum bilang ya?” ucap Flora sok imut. “Jadi, Sel, lo sama Rio bakal jadi pembawa bunga buat gue.. Jadi, abis gue masuk, ntar lo bawa bunga buat dikasih ke gue, sementara Rio bakal bawa lilin buat ditiup sama gue..”

“Hah? Gue bawa li—”

“Ya kan, Yo??” desis Flora sambil menunjukkan senyum yang seram.

“Um.. Iya..” jawab Rio pasrah dengan wajah setengah merah. Matanya menatap lantai, seketika malu untuk menatap Seli.

“Aku pulang,” ucap Seli pelan sambil berjalan ke arah pintu, namun segera dicegat oleh Flora.

Flora menatap Seli yang berwajah kaku. Perlahan ia mendekatkan dirinya kepada Seli. “Gue udah bilang gue bakal berusaha buat arrhenphobia lo ilang. And this is it! Ini kesempatan Sel. Setidaknya tolong lakuin ini buat gue, gue sweet seventeen cuman sekali dan gue bener-bener pengen elo yang bawa bucket-nya buat gue, not someone else,” jelas Flora sambil berbisik.

Seli mengedipkan matanya pelan. Kemudian memejamkannya sejenak.

Nafas berat keluar dari mulut Flora. “Tapi, kalo lo gak mau, gue gak maksa juga kok, Sel,” ucap Flora sambil tersenyum. “Mungkin ini bukan waktu yang tepat juga..”

Mata Seli masih terpejam. Tangannya semakin memenggenggam erat inhaler serta lilin yang telah dihias, seperti hendak menghancurkan kedua benda itu.

“Oke.”

Satu kata yang meluncur dari mulut Seli sukses membuat Flora dan Rio mendongak.

“Sekali seumur hidup kan?”

Flora tersenyum senang seraya memeluk sahabatnya itu. “My best gift is when you want to overcome your fear, Sel,” lanjutnya lagi. “Rio meskipun bad boy tapi dia juga good boy kok.” Flora kembali berbisik yang dibalas senyuman setengah terpaksa dari Seli.

What are you waiting for, Yo? Kasih bunganya ke Seli!” seru Flora membuat lamunan Rio buyar. “Eyy, mana laki-laki macho yang sering gue liat, hah?” tanyanya lagi sambil menghampiri Rio kemudian menepuk pundaknya, lalu berbisik, “Do your best.

Flora kembali menolehkan kepalanya kepada Seli. “Gue tunggu kalian berdua di panggung.” Ucapnya terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan itu. Tersisa dua insan yang saling canggung satu sama lain.

“Yakin lo gapapa?” tanya Rio pelan, memecah keheningan diantara mereka berdua. Kakinya perlahan mendekati Seli yang masih berdiri mematung di seberangnya.

Seli memakai inhaler-nya kuat-kuat. This is it, Sel, sekali seumur hidup buat Flora. Tangannya masih bergetar.

“Keluar yuk?” ajak Seli, tak tahan seruangan berdua dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki itu.

Rio memberikan bucket bunga itu pada Seli sambil melirik Seli, takut-takut terjadi hal yang tak diinginkan. Namun, tidak seperti yang Rio pikirkan, acara tukar-menukar benda itu berjalan dengan sukses. Seli kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu, disusul oleh Rio di belakangnya.

Vendor yang mengurusi acara itu juga ikut menjelaskan apa yang harus dilakukan pasangan itu di panggung nanti. Setelah menyalakan lilin yang dipegang oleh Rio, vendor perempuan itu meninggalkan mereka berdua di depan pintu masuk ruangan utama, menunggu saat namanya dipanggil.

“Rambut lo.. bagus..”  ucap Rio.

Seli hanya tersenyum tipis menanggapi pernyataan yang muncul dari mulut Rio yang cukup membuat jantungnya berdebar kecil walaupun hanya sedetik.

Mata Rio kembali melirik Seli dari ujung matanya kemudian berdeham sedikit. “Lo, juga cantik banget hari ini.”

Satu tamparan telapak tangan berhasil mendarat di bahu Rio membuat Rio terkekeh pelan. “Gitu dong, balik ke Seli yang biasanyaa,” ucap Rio sambil tersenyum. “Pake dulu gih inhaler¬-nya.”

Perempuan itu menatap Rio setengah kesal. Sebagai anak yang penurut, Seli akhirnya memakai inhaler-nya.

Sekarang, mari kita sambut.....

Rio menekukkan lengannya, simbol siap untuk digandeng oleh Seli. Namun, Seli tak mengindahkannya. 

“Gak gandeng-pun juga gak masalah,” ucap Rio sambil menatap lurus kedepan. “Kalau gak kuat, tutup mata aja, anggep lo lagi gandeng seekor monyet bukan seorang cowok.” Lanjut Rio lagi membuat tawa Seli pecah seketika. Lalu, keheningan kembali menyelimuti mereka.

Namun, setelah beberapa detik, ia merasakan ada tangan yang melingkar di lengan kanannya.

For Flora,” ucap Seli pelan sambil menarik nafas panjang, kemudian benar-benar berjalan ke arah panggung berdampingan dengan makhluk yang paling dibencinya,  cowok.

---------------------------------------------------

Hiya hiya hiyaa❤

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang