21

3.2K 273 0
                                    

Lagi-lagi Flora pulang duluan. Jadwal lesnya kembali berubah-ubah. Sesaat setelah bel berbunyi, Flora langsung pamit dan menuju ke lapangan, menemui mobil beserta sopir pribadinya. Hari ini adalah jadwal Seli bertugas untuk piket. Dan biasanya, Flora akan menunggui Seli menyelesaikan piketnya kemudian pulang bersama. Namun, sekali lagi karena jadwal les, hari ini Flora absen dulu untuk menunggui Seli.

"Sel, gue pulang duluan, ya," pamit Fani seraya meletakkan sapu di pojok. "Tinggal ringkes-ringkes meja guru, kan?"

Seli mengangguk dan mengulas senyumnya. "Iya. Ati-ati di jalan."

Fani melambai dan segera menghilang dari kelas. Sebenarnya total yang piket ada 4. Seli, Fani, dan dua cowok. Dan seperti biasa, yang namanya cowok, paling susah untuk disuruh bersih-bersih meskipun itu hanya menghapus papan. Alhasil Seli dan Fani-lah yang harus melakukan semuanya. Daripada darah tinggi nyuruh-nyuruh mereka, mending dikerjakan sendiri, begitu kata Fani setelah ia membiarkan dua cowok itu pulang duluan dengan ceria. Seli-pun juga tidak masalah. Toh, ia memang hobi bersih-bersih.

Tangan Seli dengan lincah memasukkan barang-barang yang berserakan ke laci meja. Matanya sesekali menengok ke papan tulis, memastikan tidak ada noda yang tertinggal. Kertas-kertas yang ada di atas meja, ia sortir terlebih dahulu. Dan yang tak berguna, akan ia buang nanti. Setelah memastikan semuanya benar-benar beres dan bersih, Seli menutup gorden kelas dan bergegas keluar.

"BUWAAAH!"

"ADUH! SETAAANNN!!!" jerit Seli meloncat kaget saat ia tengah menggeret gorden untuk ditutup. Satu tangannya refleks menutup mulutnya, merutuki dirinya sendiri mengapa ia dengan mudah mengumpat seperti itu. Kepalanya menoleh, penasaran ingin mengetahui siapa dalang di balik semua itu.

Satu laki-laki bersender dengan manis di pintu kelasnya disertai dengan senyum yang manis pula. "Lo ternyata bisa ngumpat kayak gitu, ya?"

Seli mendengus pelan. "Dasar setan emang."

Tawa laki-laki itu berderai begitu mendengar umpatan yang kali ini ditujukan untuknya.

Kaki Seli melangkah, berusaha mengabaikan laki-laki yang masih saja asik bertengger di pintunya. Ia membuang sampah kertas, kemudian berjalan secepat mungkin. Tangannya meremas inhaler-nya. Dirinya ingin segera pulang tanpa diberi tambahan masalah oleh cowok itu.

"Mau kemana? Udah ditunggu-in, malah kabur." ujar laki-laki itu membuntuti Seli dari belakang. "Gue mau ngomong, Sel."

Seli tetap mengabaikan Rio. Nafasnya mulai berat.

"Lo itu kenapa sih? Tiap ketemu gue bawaanya kalo nggak sensi, gondok, terus kabur?"

"Bukannya kamu udah tau jawabannya?" tanya Seli masih sambil berjalan.

Laki-laki itu menepuk jidatnya pelan. Namun, Rio segera menggandeng Seli yang membuatnya terlonjak kaget. Gadis itu hendak menolak dan menepis lengan Rio, tapi Rio mengajak Seli berlari sampai ke parkiran belakang tanpa memperdulikan apapun. Dengan terpaksa, Seli mengikuti Rio. Sesak napasnya masih muncul.

"Jangan tarik-tarik! Sakit tau, nggak?!" bentak Seli dengan napas yang terengah-engah. Lalu ia memutar-mutar tangan Rio agar cowok itu melepaskannya. "Lepas. Aku mau pulang."

Senyum Rio mengembang karena menemukan gadis ini masih ada di sebelahnya. "Temenin gue makan dulu, yuk. And Flora said, lo nggak bisa ngomong nggak. Cocok sama gue yang nggak suka penolakan."

Mata Seli seketika melotot. "Makan bareng kamu? Gak mau, ah! Mending aku pulang." Tolak Seli dengan cepat kemudian berlari menuju gerbang depan. Namun, niatnya terurungkan lantaran Rio yang lebih dulu mencekat pergelangan tangannya, lagi.

"Udah aku bilang, aku ngak suka di pegang-pegang!" teriak Seli mengamuk. Ia terus berusaha memutar-mutar tangannya agar terlepas tapi Rio tidak mengindahkannya.

"Yaudah-yaudah. Nggak usah makan bareng gue. Tapi izinin gue anter lo pulang."

"Lepassss." Seli masih berusaha melepaskan tangannya sampai akhirnya capek sendiri selama lima menit.

"Udah? Capek? Masuk mobil. " Perintah Rio memaksa sambil membukakan pintu untuk Seli dan memaksanya masuk. Namun, tepat setelah Rio menutup pintu mobilnya dan hendak menuju ke kursi pengemudi, Seli dengan cepat kabur dari Rio.

Rio, yang tidak tahu arti kata menyerah, dengan sigap kembali menangkap Seli. Ia kembali meraih pergelangan tangan Seli. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Seli tidak bergeming. Ia terus membiarkan Rio memegang tangannya. Badan Seli bergetar hebat. Tanpa menoleh-pun, Rio tahu bahwa Seli menangis. Dan itu alasan mengapa dada Rio terasa nyeri sekarang.

"Puas?" tanya Seli tiba-tiba sambii melepas kacamatanya. Lengannya terangkat menggosok wajahnya yang menekuk. "Seneng ya? Bermain dengan ketakutan orang lain?"

Rio tetap diam dan masih memegang pergelangan tangan Seli.

"Kenapa sih?" lirih Seli sambil membalikkan badannya menghadap Rio. Kali ini, ia sudah tidak tahan. Napasnya tersendat-sendat serta cepat layaknya orang asma. "Jadi orang jangan maksa-an. Jangan gara-gara selama ini aku baik, kamu jadi ngelunjak, ya."

"Gue itu bukan ngelunjak."

"Lepasin."

Bukannya melepaskan, Rio malah membawa tangan gadis itu menuju ke dadanya.

"Gue itu pengen lo cepet sembuh."

Tangis Seli berhenti. Ia merasakandetak jantung Rio yang berdegup kencang. Sambil menggelengkan kepalanya, iamencoba melepaskan diri dari Rio secara perlahan. "Aku mau pulang, kepala akupusing." Seli benar-benar meninggalkan Rio seorang diri di parkiran. Iaberjalan dengan sangat pelan sebelum akhirnya, ia benar-benar jatuh ke tanahbegitu keras. Hanya gelap yang ada di kepalanya.

---------------------------------------------------------
P.S :

Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆

Thankyou
감사합니다

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang