"UDAH gitu aja materinya. Lo ngerti, nggak?" tanya Varen kepada Rio. Sementara Seli dan Flora masih asik main gunting-tempel untuk tugas kliping sejarah.
"Jelasin yang ini lagi, bisa, nggak? Gue masih bingung."
Varen mendesah pelan kemudian menolehkan kepalanya kepada Seli. "Sel, tolongin gue, dong. Gantian. Kepala gue mau pecah ngajarin dia."
Yang dipanggil terlonjak kaget. "Um—"
"Gue maunya diajarin sama lo!" sahut Rio sambil mencodongkan badannya plus menggenggam erat telapak tangan Varen.
Tentu saja Varen terkejut. Alisnya bertaut satu dengan yang lain. Tangannya lantas bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha melepaskan diri dari genggaman Rio. "Oke... Gue anggep lo barusan nggak lakuin apa-apa. Dan tolong jangan grepe-grepe gue." Ucapnya kemudian kembali memegang pulpen.
Sedari tadi, mereka berempat menghabiskan hukuman keluar kelasnya di perpus. Dari setengah jam lalu, Varen terus-menerus mengajari Rio. Sementara Seli dan Flora dengan cekatan mengerjakan tugas kliping Seli-Varen. Ternyata kemarin malam, Varen telah mencetak berbagai macam penjelasan dan gambar-gambar dari peristiwa Rengasdengklok. Hal itu membuat dua kaum hawa itu dapat mengerjakan klipingnya dengan mudah nan lancar jaya. Hm. Sepertinya Varen telah memperhitungkan semua ini dari minggu lalu. Laki-laki itu memang selalu bisa diandalkan.
"Rio pinter, kan?" tanya Flora tiba-tiba sambil berbisik.
Kali ini, alis Seli yang bertaut. "Kok gitu?"
"Iya. Dia berusaha bikin lo nggak ngajar dia sekaligus bikin lo nggak kerja sejarah bareng Varen," jawab Flora. "Yang mereka notabene adalah cowok."
"ADUH! GUE MASIH NGGAK NGERTI!" jerit Rio sambil menjambak rambutnya pelan, membuat Seli dan Flora buru-buru beralih menatapnya. "Lo bisa nggak sih jelasin pake bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jangan pake bahasa sains ilmiah dong! Gue kan nggak ngerti!"
"Gue udah jelasin pake bahasa yang menurut gue paling mudah dimengerti. Emang elonya aja yang udah bodoh dari sananya," jawab Varen santai. "Gue ke toilet dulu. Mules perut gue ngajarin lo."
"Eh, kambing, biasa aja kali—"
"Diem aja, lo, Yo. Lo ganggu konsentrasi kita semua." Sahut Flora sambil menempelkan sebuah gambar di kertas.
Rio yang gondok lantas menghampiri mereka berdua dengan membawa kertas coretannya. "Sel, ajarin gue. Biar cepet kelar."
Badan Seli menegang. Tangannya menyambar inhaler-nya dan segera memakainya, membuat laki-laki di depannya itu merasa tidak enak. Tapi wajah Rio masih menunjukkan senyumnya. Tubuhnya kemudian berdiri, hendak meninggalkan mereka berdua alias 'pura-pura ngambek.'
"Lo itu kok jahat banget, sih?!" tanya Flora berbisik. "Kasian tau! Dia itu pengen belajar."
"Aku nggak ngomong apa-apa..." balas Seli memelas sambil menggelengkan kepalanya.
"Rio, sini, deh! Seli mau ngajarin lo, kok!" seru Flora membuat Seli menepuk jidatnya.
Seli menghela nafas. Kemudian, ditatapnyalah laki-laki yang sedang berdiri di dekatnya itu. "Jadi belajar?"
Senyum tipis kembali muncul di wajah tampannya. Segera ia mendudukkan diri di samping Flora, berhadapan dengan Seli. Matanya mencuri-curi pandang gadis di depannya itu.
"Eh! Pergi lo jauh-jauh dari gue! Gue nggak mau ketularan goblok!" seru Flora seraya mendorong kepala Rio dengan telapak tangannya.
"Elo yang minggir!" balas Rio yang kali ini mendorong balik kepala Flora dengan tangan besarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Fiksi Remaja#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...