SUDAH seminggu sejak kejadian itu, namun Seli masih belum bertemu lagi dengan Rio. Sebenarnya, sudah 'bertemu'. Hanya saja, mereka berdua selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Sampai-sampai untuk berkata 'Hai'-pun tidak bisa. Dan sudah seminggu pula sejak pembagian kelompok untuk tugas Sejarah dibagi. Namun, Seli masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mengerjakannya. Padahal, besok adalah tanggal 18. Tanggal jatuh tempo pengumpulan tugas itu.
"Kamu udah kerja tugasnya Pak Syahril, Flo?" tanya Seli tiba-tiba di sela-sela pelajaran Mam Lilis, pelajaran Bahasa Indonesia.
"Udah. Dari kemarin. Gue harus mengeluarkan jurus pamungkas biar bisa nyeret Andy kerja," jawab Flora bisik-bisik.
"Jurus pamungkas apaan?"
"Ntraktir dia makan di Kanna, itu lho, restoran yang jualan steak. Dan abis gitu dia mau bantu gue kerja. Meskipun cuman tempal-tempel doang, sih," jelas Flora. "Lo belom?"
Mendengar hal itu, Seli lantas menarik nafas panjang lalu menggelengkan kepalanya pelan. Mata Seli melirik teman sekelompoknya yang duduk di belakang, yang juga pasif, tidak ada tanda-tanda cowok itu mau mengerjakan tugas Sejarah ini.
"Susah, ya? Apa mau gue mau bantu? Nggak usah urus Varen. Yang penting tugas lo kelar."
"Nggak usah, Flo. Aku bisa kerja sendiri kalo gitu." Jawab Seli seraya menunduk.
Namun, tak berapa lama, perempuan yang duduk di belakang Seli, Fani namanya, menoel-noel pundak Seli. Gadis itu menoleh ke belakang, ingin mengetahui apa yang diinginkan oleh Fani. Fani lalu memberikan secarik kertas kepada Seli.
"Dari Varen," ucapnya berbisik, tau jika Mam Lilis tidak suka keramaian di kelas.
Seli mengernyitkan keningnya. Jemarinya lalu membuka kertas itu perlahan-lahan.
Mau kerja sejarah? Besok deadline
Kepala Seli lantas kembali menoleh ke belakang, menatap Varen yang duduk di pojok. Laki-laki itu juga menatap Seli sekilas. Kemudian dagunya terangkat dua kali, tanda ia ingin Seli membalas suratnya juga lewat surat, bukan lewat mulut.
Otak Seli berpikir sejenak. Kok tepat banget sih waktunya? Apa jangan-jangan dia nguping?, batin Seli dalam hati. Tangannya meraih pulpen dan segera menuliskan jawabannya: Boleh. Lalu, jemarinya kembali melipat kertas itu menjadi lebih kecil, menyerahkannya kepada Fani. Tanpa diperintah, Fani kemudian memberikan kertas itu kepada Varen, yang duduknya diagonal dengannya.
Tak butuh waktu lama, Fani kembali mencolek pundak Seli.
Kalo gitu nanti aja pulang sekolah. Kerja di kafe sebelah.
Gue udah nge-print macem-macem.
Kening Seli kembali mengernyit. Kenapa harus kerja di kafe?
Sulur-suluran terus berlangsung. Seli-Fani-Varen-Fani-Seli dan seterusnya. Kasihan Fani.
Karena gue laper. Butuh makan.
Beli aja makanan di kantin.
Bosen.
Kok bisa bosen? Macemnya banyak kok.
Bosen sen sen sen.
Yaudah-yaudah. Berdua doang?
Iyalah. Kelompok kita kan cuman dua orang
Membaca itu, Seli lagi-lagi menghela nafas. Lantas ia ingin memberikan jawaban terakhirnya. Namun niat itu terurungkan tatkala ia menemukan bayangan besar nan gelap di mejanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...