"SELI! Ayo cepet ke kantin!" rengek Flora seraya menarik-narik lengan Seli yang masih saja sibuk menulis catatan kimia.
"Tunggu bentar," balas Seli tenang. "Tinggal sedikit."
"Lo udah ngomong kayak gitu dari lima menit yang lalu, tauk! Ayolah! Cepetan! Keburu rame kantinnya, entar nggak dapet meja."
"Lagian ngapain sih? Istirahat pertama kan lo udah makan batagor 2 porsi."
"Laper lagi gara-gara kena kimianya Bu Dewi. Cepetan, Seliiii!!"
"Iya-iya. Nih, selesai."
Tepat Seli meluncurkan kalimat itu, Flora segera menarik Seli hingga tubuh Seli oleng sedikit. Mereka berdua lalu berlari kecil, tak ingin membuat keributan di sepanjang koridor. Tak berapa lama, mereka tiba di kantin yang.. sudah penuh. Otomatis, Flora mengerucutkan bibirnya kesal. Tangannya menepuk punggung Seli pelan.
"Tuh, liat. Penuh kan?" katanya dengan nada merengek. "Tanggung jawab lo kalo gue pingsan habis gini!"
"Apaan, sih? Lebay, ah. Aku balik," Seli memutar badannya, hendak kembali ke kelas. Namun niat itu langsung terurungkan gegara Flora dengan sigap menahan lengan Seli.
"Lo nggak akan kemana-mana karena lo harus nemenin gue makan siang." Flora mengamati keadaan kantin dengan konsentrasi penuh. Lantas matanya menemukan satu meja yang berisikan tiga orang laki-laki. Tanpa berpikir panjang, ditariknya tubuh Seli menuju meja itu.
"Ka-kamu mau bawa aku kemana?" tanya Seli cemas saat tubuhnya semakin mengarah ke meja yang berisikan cowok-cowok.
Terlambat.
Flora mendudukan Seli cepat di ujung kursi panjang itu. Di satu sisi, ada dua cowok yang sedang memperhatikan Seli lamat-lamat dari depan. Di satu sisi lagi, ada seorang cowok yang menatapnya heran dari samping.
"Gue gabung, ya, Yan," ujar Flora lalu menepuk-nepuk punggung satu cowok itu, Lian. "Gue titip Seli bentar. Jangan sampe Seli kabur, oke?"
Lian mengangguk-angguk seraya mengunyah makanannya.
Sementara itu, Seli menganga tidak percaya. "Flo, aku ikut—"
"Udah diem sini dulu aja. Gue bakal bawain satu mangkok bakso buat lo." Jawab Flora lalu berlalu, meninggalkan Seli sesegera mungkin sebelum sahabatnya itu mengeluarkan satu kata lagi.
Seli meremas roknya gemas. Kepalanya terus menunduk, menghindari tatapan yang dilemparkan tiga orang cowok di sekelilingnya. Nafasnya mulai tak teratur, tapi inhaler-nya tertinggal di kelas. Selama beberapa menit, yang ia lakukan hanyalah mengutuk Flora dalam hati. Sesekali ia melirik para cowok itu: Lian, Afif, dan.. Rio.
"Sinian, dong, Sel, kok mojok gitu," ucap Lian yang duduk berhadapan dengannya. "Gabung sini. Deketan sama Rio sana." Lian membelok-belokkan tangannya, ingin Seli duduk tidak berjauhan dengan mereka supaya rencana ice breakers-nya bisa berjalan sempurna. Jarang-jarang kan duduk satu meja dengan cewek cantik nan pintar?
Mata Lian kemudian beralih ke cowok di sebelahnya, Afif. Temannya itu sibuk mengamati Seli sampai membuat cewek itu risih. Ah, sial. Malu-maluin banget, sih Apip ini. "Pip, nafas, Pip. Muka lo biru." katanya sembari menampar punggung Apip membuat cowok itu terbatuk-batuk.
"I-iya, Sel. Gabung aja, dengan senang hati saya menerimamu disini." Sekarang Afif yang berucap. Kalimatnya cukup menggelikan dan tidak nyambung sampai-sampai Seli heran mendengarnya.
Gadis itu melirik laki-laki yang duduk di satu kursi panjang dengannya, Rio. Laki-laki itu tidak terlalu antusias seperti Lian dan Afif. Kepalanya menunduk menatap mangkoknya yang sudah kosong. Jemarinya memainkan sedotan yang ada di gelas es jeruknya. Oke, ini memang awkward. Apalagi semenjak kejadian di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Novela Juvenil#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...