25

3K 248 2
                                    

Lagi-lagi tetesan air hujan mengguyur kota Jakarta, ditambah lagi dengan angin kencang kerap menerjang-nerjang pohon-pohon yang ada di sekitar Sekolah Menengah Atas Bakti Wijaya. Seli kembali mengeratkan jaket ungunya, menjaga badannya agar tetap hangat. Namun, sepertinya di hari itu dia memilih jaket yang salah. Seharusnya ia memakai jaket yang lebih tebal.

Embun dingin yang terbawa angin sesekali menyapa jaket ungunya, membuat jaket Seli terkesan basah. Dingin dari jaketnya menusuk kulit putih Seli yang tersimpan di dalamnya. Seli kedinginan sekarang. Kenapa Flora pulang duluan sih, batin Seli dalam hati.

Disaat langit cerah, Flora selalu menunggui bahkan mengantarkan Seli hingga ia selamat sampai di rumahnya. Tapi, di saat langit galak, entah ada saja yang menghambat Seli untuk pulang bersama dengan sahabatnya itu.

Tiba-tiba pandangan Seli berubah menjadi gelap seketika. Kepalanya terasa berat, seperti ada yang menimpanya. Tangannya meraba-raba benda yang ada di atasnya itu.

"Tunggu sini bentar."

Suara dalam itu sukses membuat mata Seli membulat. Diraihnya benda yang menyelimuti kepalanya itu. Sebuah jaket berbahan wol berwarna hitam yang siap menghangatkan dirinya kembali. Dilihatnya laki-laki yang sedang berlari menerobos hujan itu.

Varen?

Laki-laki itu melangkahkan kakinya yang panjang dengan cepat menuju ke mobil kuningnya. Dinyalakan mesin mobil itu dan ia segera mengeluarkan mobilnya dari parkiran kemudian memakirkannya kembali tepat di depan SMA Bakti Wijaya, tempat dimana Seli berdiri mematung disana, sambil memegang jaket miliknya. Tangannya menekan tombol jendela kiri di samping pengemudi.

"Gak mau masuk?" tanyanya dari dalam mobil.

Seli tidak tahu harus menjawab apa. Tangannya masih memegang erat jaket milik Varen. Kakinya enggan untuk melangkah. Mulutnya-pun enggan untuk menjawab balik pertanyaan Varen. Bola matanya bergerak kesana kemari, simbol berpikir keras milik Seli.

"Duduk di belakang gak papa kok.." katanya lagi.

Perempuan itu mendongakan kepalanya, menatap Varen bingung. "G.. Gak salah?"

"Iya," jawabnya lagi dari dalam mobil, menunggu Seli mendudukan diri di mobilnya. "Gue gak bakal bawa lo kemana-mana. Cukup duduk manis di belakang and lo bisa sampai rumah dengan selamat."

Seli tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau menelpon ibunya yang sedang sibuk bekerja karena takut mengganggunya hanya gara-gara untuk menjemput Seli pulang sekolah. Satu-satunya harapannya sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu. Jika begini terus, ia tidak akan pulang-pulang.

"Pake dulu inhaler lo deh.."

Kepala Seli lagi-lagi mendongak, menatap heran Varen yang sedang menunggunya dengan sabar di dalam mobil. Tangan kecil itu meraih saku roknya dan mengeluarkan inhaler¬-nya, lalu mengisapnya dengan dalam. Kakinya yang bergetar, perlahan memberanikan diri untuk masuk ke dalam mobil Varen, berusaha untuk membuat Varen yang telah menawarkan bantuan agar tidak terlalu lama menunggu dirinya.

"Permisi," ucap Seli pelan sambil mendudukan dirinya benar-benar di jok belakang.

Satu detik setelah ia masuk ke dalam mobil cowok itu, Seli benar-benar kehabisan nafas. Ia kembali mengeluarkan inhaler-nya dan mengisapnya lagi dalam-dalam, berusaha menetralkan nafasnya. Tangan kirinya meletakan jaket milik Varen di jok di depannya, jok sebelah kiri Varen. Rasa bersalah karena merasa membuat Varen seperti sopir pribadi mulai menggerogoti dirinya.

Mata Varen yang semula berada di jaket di sampingnya itu, beralih kepada Seli yang ada di belakangnya. "Lo gak papa?"

"Kenapa kamu nyuruh aku duduk di belakang?" tanya Seli balik tanpa menjawab pertanyaan Varen, membuat laki-laki itu tersenyum tipis kemudian mulai menjalankan mobilnya pelan.

"Gue tau kok, kalo lo takut sama semua cowok," jawabnya. "Termasuk gue."

Jawaban yang dilontarkan Varen berhasil membuat jantung Seli mendadak mati rasa. Jarinya memegang erat inhaler¬-nya. "Ka.. Kamu tau darimana?"

"Keliatan kok, Sel, dari sikap lo.. Dari tingkah idiot-nya Lian, terus waktu lo nginjek kaki gue, terus lo langsung ke WC. Keliatan banget kalo lo takut sama semua cowok."

Seli menundukan kepalanya. "Maafin aku ya. Kayaknya waktu itu keras banget gue nginjeknya.." ucap Seli pelan. "Maafin aku juga ya.. Aku serasa buat kamu jadi sopir pribadiku kalo kayak gini.. Aku benar-benar minta maaf.." ucap Seli terang-terangan membuat Varen terkekeh pelan.

"Santai lah," Varen kembali menatap jaketnya sekilas. "Beneran gak mau pake ini?" tanya Varen lagi sambil mengangkat jaketnya dengan tangan kirinya.

"Nggak usah, Ren.. Makasih banyak.." jawab Seli sambil tersenyum yang bisa dilihat oleh Varen dari kaca spion pengemudinya.

"Rumah lo dimana, Sel?"

"Apartemen Gardenia, Jl. Nanas.." jawab Seli setengah ragu. Ia sebenarnya benci untuk memberitahukan alamatnya kepada stranger. Namun, untuk kali ini, sepertinya ia harus terpaksa membocorkan agar ia bisa pulang selamat.

"Ohh.. Disitu. Deket dong.."

Tersisa satu belokan lagi, mereka akan sampai di kediaman Seli. Mobil Varen terasa sangat sunyi sesaat setelah pembicaraan yang diakhiri oleh Varen itu. Berisikan Varen yang sibuk menyetir dan Seli yang sibuk menghirup inhaler-nya.

"Ternyata.. Kamu itu gak secuek dan sedingin yang aku kira," ucap Seli tiba-tiba memecah kesunyian mereka berdua. Entah mengapa perlakuan Varen yang tenang dan hati-hati membuat Seli juga ikut tenang.

"Kok gitu?" tanya Varen sambil terkekeh pelan.

"Ya gitu.." jawab Seli, masih enggan untuk berbicara panjang-lebar kepada laki-laki.

"Sori ya, gue buat lo gak nyaman.. Pasti gak nyaman banget semobil sama gue," ucap Varen sambil memakirkan mobilnya di depan apartemen milik Seli.

"Nggak kok nggak," jawab Seli lagi sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku yang maaf banget. Makasih ya, Ren, udah mau nganterin aku.." lanjutnya lagi sambil hendak membuka pintu mobil Varen dan langsung keluar menerobos hujan, membuat Varen panik luar biasa.

"EH, SEL!" panggilnya sebelum Seli menutup pintu mobilnya namun dihiraukan oleh yang dipanggil. Matanya terus menatap punggung Seli yang melawan hujan, hingga punggung itu tak terlihat lagi di balik pintu besar apartemennya.

Senyum kecil kembali terukir di wajah Varen. "Dasar, Seli. Gue bahkan belom bilang sama-sama," ujarnya kepada dirinya sendiri kemudian menggerakan mobilnya kembali menembus hujan deras sore itu. Meninggalkan satu mobil hitam yang sedari tadi mengikutinya dari belakang.

--------------------

Akhirnya sampe juga di part 25:')

Enjoyyyy

LOVE,

SO SARANGHAE

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang