Gadis itu kembali menarik nafas kesal. Kakinya melangkah dengan cepat. Tangannya sibuk membawa tumpukan kertas entah milik siapa. Jadi murid teladan terkadang tidak begitu enak.
Harus ikut membantu guru mengerjakan yang bukan urusannya. Sedari tadi, dirinya yang sibuk berkeliling mencari 'murid bandel', menjadi semakin sibuk lantaran Pak Rudi, guru Biologi, tiba-tiba menyuruhnya untuk membagikan hasil ulangan ke tiap-tiap kelas. Memangnya aku pembantu apa? Disuruh ini itu, batin Seli gondok. Sekali lagi, karena Seli tidak bisa berkata 'tidak.'
Akhirnya, sampailah dia di kelas terakhir, XI-C, kelas yang terletak di paling pojok sekolah, dan juga terkenal angker karena kurang pencahayaan akibat terletak di bawah tangga. Tidak ada orang disana. Maklum, penghuninya sekarang sedang asik berolahraga di lapangan.
Hati Seli mendadak riang. Perlahan ia membuka pintu kelas itu. Matanya mengintip keadaan kelas dari balik pintu. Dan benar, tidak ada siapapun di dalam kelas itu. Kakinya lantas melangkah masuk, hendak menghampiri meja guru yang tergeletak manis di depannya. Seli kemudian meletakkan hasil ulangan dan berusaha merapikan meja yang berantakan itu, sekalian.
"Penyunsup?"
Kedua tangan Seli berhenti bekerja. Badannya membeku seketika. Dengan penasaran, ia menoleh untuk mengintip, siapa yang ada di kelas yang kosong ini. Rasa takut merayapi dirinya. Jelas-jelas semua anak kelas XI-C sedang asik di lapangan. Lantas, suara siapakah ini?
Tapi, rasa takut itu hanya bertahan sedetik. Mata Seli melebar saat ia menemukan murid bandel yang daritadi dia cari.
Ricardo!
Laki-laki itu muncul dari balik kursi-kursi. Sepertinya habis bangun tidur. "Dicari Pak Andik di lapangan." Ucap Seli pelan namun terdengar jelas karena suasana kelas yang sepi. "Ayo cepet bangun. Ke lapangan. Ditunggu Pak Andik. Aku disuruh cari kamu." Lanjut Seli lagi. Hatinya gemas. Ingin segera keluar dari kelas terkutuk itu. Lebih tepatnya, tidak mau berduaan dengan Rio.
Rio menguap lebar-lebar kemudian berjalan menghampiri Seli yang masih mematung di depan pintu dengan pandangan menghadap ke depan, masih menunggu Rio agar cowok itu segera ikut dengannya. Perjuangannya menemukan Rio tidak berati apa-apa jika ia tidak membawa laki-laki itu ke hadapan Pak Andik secara langsung.
Namun, Rio malah menempelkan kepalanya ke pundak Seli secara tiba-tiba.
"You do smell good."
Mata gadis itu melotot. Nafasnya mendadak tidak beraturan. Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya merinding hebat saat telinganya mendengar suara berat nan serak itu. Sontak ia memutar badannya, berusaha melepaskan pundaknya dari ancaman kepala dan hidung Rio. Tangannya dengan reflek melayang.. menampar keras pipi kanan laki-laki itu. Laki-laki ini sinting!
"Udah sadar?" tanya Seli dingin, berusaha menahan kecemasannya tadi. "Kamu itu bener-bener nggak sopan, tau nggak sih?"
Cowok itu terkejut. Tangannya bergerak ke atas, mengusap pipinya yang cukup merah. Lantas senyum tipis mengembang di wajahnya yang masih saja tampan meskipun baru bangun tidur. "Sori, gue masih belum sadar. Maafin gue, ya. Maaf banget, gue udah nggak sopan." Ujarnya pelan kemudian berlalu melewati Seli. "Di lapangan, kan? Thanks udah bangunin."
Seli cepat-cepat menghisap inhaler-nya. Tapi, matanya masih mengekori cowok itu dari balik kacamatanya. Kakinya juga ikut melangkah, mengikuti arah jalan Rio ke lapangan. Orang di depannya itu masih diam, enggan untuk mengatakan apa-apa.
"Jauh-jauh amat, sih, Neng. Sini dong. Gue nggak gigit," ujar Rio tiba-tiba sambil melayang-layangkan tangannya di samping kanannya, ingin Seli berjalan di sebelahnya.
"Sinting," balas Seli pelan seraya memutar bola matanya. Aneh, mood-nya kok gampang banget berubah, sih?
"Ayolah, Sel,"
"Jangan asal manggil. Aku dan kamu nggak dekat."
"Deket, kok," balas Rio berbalik kemudian berdiri tepat di hadapan Seli. "Deket, kan?"
Mata Seli melotot. Nafasnya tertahan. "Gila!" seru Seli kemudian berjalan ke samping, hendak menghindari laki-laki itu. Namun, laki-laki itu dengan cepat menyesuaikan gerakannya dengan gerakan Seli. Rio kembali menghadang gadis itu.
"Duh! Minggir! Kamu masih belum bangun, ha?!" seru Seli lagi lantas menatap mata Rio.
Tatapannya sendu. Seperti sedih, kecewa, kesal, bercampur menjadi satu. Cowok itu mengulas senyumnya. Kemudian bergerak ke samping, memberikan jalan kepada Seli. Tangannya mempersilahkan Seli untuk jalan terlebih dahulu.
"Maaf, ya." Ujar Rio dari belakang namun Seli tetap tidak menghiraukannya dan berjalan cepat.
Tak berapa lama, sampailah mereka di lapangan. Murid-murid cowok sudah bermain futsal. Sementara murid cewek, masih berlatih bagaimana cara menendang bola dengan baik dan benar. Rio berjalan menuju Pak Andik, yang sibuk mengawasi aktivitas murid-muridnya. Dirinya kemudian berdiri di belakang Pak Andik dengan posisi istirahat di tempat. Sementara Seli, berdiri di belakang Rio.
"Anda manggil saya, Pak?" tanya Rio santai.
Pak Andik segera berbalik saat mendengar suara Rio dari belakangnya. Ia mengukir senyum kesalnya. "Ricardo Naraya Wijaya. Kamu tau, sudah berapa kali kamu bolos pelajaran saya?"
"Nggak tau, Pak. Berapa kali emangnya, Pak?"
PLETAK
Bukannya mendapat jawaban, Rio malah mendapatkan jitakan meja dada dari Pak Andik di kepalanya. Bunyi jitakannya sangat keras, sampai-sampai Seli ikut terlonjak kaget. Inilah alasan kenapa aku takut cowok. Mereka selalu saja kasar, batin Seli dalam hati.
"Aduh! Sakit, Pak!" seru Rio sambil mengusap kepalanya. "Tapi, nggak sesakit yang tadi, sih." Lanjutnya lagi sambil melirik Seli yang otomatis terheran.
"Bodo amat saya! Sana! Bersihin WC belakang! Yang bersih, bening, seperti tanpa kaca,"
"Lah, WC kan nggak ada kacanya, Pak." Balas Rio, masih berusaha ngeles.
"Nggak mau tau. Pokoknya harus kinclong." perintah Pak Andik kemudian berjalan. Tapi, dirinya kembali berbalik menghampiri Seli. "Seli, kamu awasi dia. Jangan sampai dia kemana-mana!"
Mulut Seli kembali ternganga. "Ta-tapi, Pak—"
"Mood saya lagi nggak baik. Jangan sampai saya juga ikut menyuruh kamu buat ikutan bersihin WC sama dia," ujar Pak Andik. "Beruntung kamu lagi 'dapet'. Soalnya saya paling tidak suka melihat murid tidak mengikuti pelajaran saya."
Gadis itu meneguk ludahnya kasar. Dengan berat hati, ia meng-iyakan perintah Pak Andik.
"Sudah sana! Berangkat!" ujarnya lagi kemudian benar-benar berbalik meninggalkan dua manusia yang sedang menahan kesal di belakangnya.
●▪●▪●
---------------------------------------------------------
P.S :Terimakasih sudah mampir😊
Nantikan update-annya terus ya♡
Maafkan jika ada kesalahan🙏saya masih baru sih, hehehe
Jangan lupa VOTE, comment, dan follow yah☆Thankyou
감사합니다
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Ficção Adolescente#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...