SELI menatap laki-laki yang sedang berjongkok itu dengan kesal serta gemas. Kakinya terus dihentakkan, greget, ingin laki-laki itu segera menyelesaikan acara bersih-bersih toiletnya. Namun, cowok itu malah lebih fokus bernyanyi. Inilah yang dilakukannya: nyanyi satu lirik, kemudian menyikat, nyanyi lagi satu lirik, lalu menyikat lagi. Argh! Bisa gila aku!
"Cepet, ih, Rio!!" seru Seli jengkel. Punggungnya disandarkan di tembok sementara tangannya bersedekap.
Namun Rio masih saja asik bernyanyi dengan nyaring sampai-sampai ia tidak mendengarkan peringatan Seli. Tangannya mengarahkan sikat ke depan wajahnya, menganggapnya itu sebuah mic. "LUMPUHKANLAHH INGATANKUUU HAPUSKAN TENTANG DIAAAA.. KUINGIN KUU LUPAAAAAAAKANNYAAAA.."
Mendengar nyanyian yang cukup sumbang itu, Seli mengusap wajahnya kesal. Tapi yang membuatnya lebih kesal lagi adalah sikat WC itu. Dirinya lantas menghampiri Rio, membawa semua keberanian, kemudian menarik sikat kotor itu dan menjauhkannya dari wajah Rio.
"Gila kamu, ya?! Ini kan sikat kotor, bekas sisa-sisa pembuangan. Kamu malah taruh di depan mulutmu gitu! Kalo bakterinya masuk terus kamu sakit, gimana?!" amuk Seli.
Rio terkejut atas amukan Seli. Tapi, ia malah mengembangkan senyumnya. "Gitu ya. Maaf ya," ucapnya kemudian mengambil sikat itu lagi dari tangan Seli. Lalu, ia benar-benar menyikat toilet itu dengan serius.
Seli kembali berdiri dan bersandar di tembok. Ada yang nggak beres, batin Seli dalam hati. Melihat tingkahnya di toko buku kapan hari, Rio bukanlah tipe orang yang setelah disentak akan patuh seperti ini. Setidaknya ia akan melayangkan beberapa kalimat balasan yang membuat orang lain jadi ingin berdebat dengannya. Namun, hari ini ia hanya terus tersenyum serta.. minta maaf.
"Kamu udah makan?" tanya Seli tiba-tiba.
"Belom."
"Dari kapan?"
Sejenak, hening menyelimuti mereka. Rio tidak langsung menjawab pertanyaan Seli.
"Kemarin lusa."
Seli mengernyitkan keningnya, heran. "Bohong."
"Yaudah kalo nggak percaya." Jawab Rio lagi-lagi sambil tersenyum.
"Kenapa kok nggak makan?"
"Males, lagi diet,"
"Aku tanya serius, Rio."
Lagi-lagi hanya suara angin yang menyapa telinga Seli.
"Karena Mama nggak makan, gue nggak makan juga."
Jawaban Rio membuat Seli kembali terheran. "Maksudnya?"
Tangan Rio semakin semangat menggesek lantai kamar mandi. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan membalas pertanyaan Seli. Wajar dong jika Seli semakin bingung. Lantas ia kembali mendekati Rio.
Mata Seli sontak membelalak tatkala ia melihat laki-laki itu menitikkan satu air matanya. Kemudian lengannya terangkat, berusaha mengusap mata yang sembab itu. Lalu, ia kembali menggosok lantai.
"Udah, lo balik aja, gue nggak bakal kabur," ucapnya pelan. "Suer deh nggak bakal kabur." Kali ini jari telunjuk dan jari tengahnya terangkat, membentuk huruf V di atas kepalanya.
"Kamu nggak apa-apa?"
Rio kembali tersenyum. "Kalo ditanya sama lo, gue jadinya pengen bilang gue kenapa-kenapa."
Seli menundukkan kepalanya. Kemudian, ia mendudukan dirinya di tanah, belakang Rio. Kebetulan saja WC yang dimaksud Pak Andik adalah WC dekat taman belakang yang hanya berjumlah satu di tiap sisi taman, tapi kotor sekali. Gadis itu sama sekali tidak tega memarahi Rio. Suasananya sangat sangat berbeda dengan pada saat di toko buku kemarin. Hari ini, Rio bukanlah Rio yang doyan berdebat dan memohon. Lebih ke arah, pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...