43

2.6K 223 2
                                    

FLORA menggeleng-geleng pelan. "Haduh.. Kok bisa punya sahabat kayak kamu, Sel?"

Sementara itu, Seli berlari dengan sangat hati-hati saat keluar dari mobil Flora. Tujuannya sekarang adalah ke rumah tantenya. Sebagai murid yang pintar, tentu saja ia sangat penasaran dan ingin mengetahui secepatnya dari gurunya langsung, Jean. Kepalanya lantas menengok ke kanan dan ke kiri, ingin mencari sesuatu yang bisa mengantarnya ke tempat praktek tantenya. Ia ingin menguji dirinya sendiri.

Apakah benar kata Flora jika ia sudah tidak menghindari Rio, seorang laki-laki? Lantas apa yang terjadi jika laki-laki itu bukan Rio? Pikirannya buyar tatkala matanya menangkap satu kendaraan yang selalu dihindari Seli, angkot. Seli mengeluarkan tangannya, ingin bapak sopir angkot melihat bahwa ia ingin menaiki benda itu.

"Kemana, Neng?" tanya sopir angkot itu.

Seli tertegun. Demi apa-pun, dia tidak dapat merasakan apa-apa kecuali lelah karena habis berlari. Ia sama sekali tidak merasa takut atau gelisah saat bapak stranger itu menanyakan tujuannya. "Um, ke Jalan Anggrek, Pak."

"Siap. Berangkat kita."

Namun, saat angkot itu hendak berjalan, Seli bingung harus duduk dimana. Matanya sekarang ini sedang menangkap satu tempat kosong, tapi sebelahnya ada seorang laki-laki. Tanpa berpikir panjang, ia segera masuk dan duduk di sebelah laki-laki itu. Dan lagi-lagi dia termangu. Laki-laki itu bukan Rio, tapi ia sama sekali tidak merasa terancam. Otaknya benar-benar tidak percaya. Lantas, selama ini apa yang aku takutkan?

Tak butuh waktu lama, akhirnya angkot itu sampai di belokan Jalan Anggrek. Seli segera mengeluarkan beberapa pecahan uang dan turun dari kendaraan umum itu. Ia tak menyadari bahwa ada seseorang yang mengamatinya dari balik jendela.

"Wow, apa ini?" gumamnya saat melihat Seli turun dari kendaraan umum.

Gadis delapan belas tahun itu terus berjalan hingga akhirnya ia sampai di tempat praktek sendiri psikiater pribadinya, rumah Tante Jean. Jarinya menekan bel dengan gemas, berharap tantenya segera membukakan pintu untuknya. Sekarang, masalahnya bukan berada di phobia-nya, tapi berada di dalam hatinya.

"Iya-iya, sabar," ujar Jean setengah kesal saat mendapati keponakannya di depan pintunya.

"Tante, Seli butuh bicara!" seru Seli cepat memasuki ruangan Jean tanpa menunggu izin dari tantenya itu. Dokter tersebut tersenyum dan segera menutup pintu. Dilihatnyalah keponakannya yang mulai bahkan sudah berani terhadap tempat umum. Seli duduk di sofa panjang seperti biasa, sementara Jean duduk di kursi miliknya, di hadapan sofa itu.

"Tolong jelaskan ke Seli, Tante. Kenapa tiba-tiba Seli sekarang nggak merasa takut atau apapun itu pada waktu Seli naik angkot barusan?"

Lagi-lagi Jean semakin memperlebar senyumnya. "Ah, kamu lagi ulang tahun, kan, sekarang? Happy Birthday, ya, Sel."

"Tante," rengek Seli gemas. "Seli serius."

"Kenapa kamu tidak tanya kepada Ricardo?"

Mendengar pertanyaan itu, tubuh Seli mendadak kaku. "Ma-maksud Tante? Seli itu datang kesini, cancel semua janji Seli ke Flora, buat ketemu dan dapat jawaban dari Tante. Kenapa Seli disuruh tanya ke Rio, sih?"

Pertamanya, Jean tertegun saat Seli berucap seperti itu. Tapi, ia kemudian tertawa keras sampai ia memegangi perutnya sendiri. "Kamu benar-benar berubah, ya. Tante sampai kaget. Kenapa kamu nggak tunjukin sikap kayak gini dari awal, Sel? Ternyata kamu seru juga, ya, anaknya."

"Tante, Seli serius."

Jean tersenyum lalu meletakkan meja dadanya, tau bahwa ia benar-benar tidak butuh itu sekarang. "Apa kamu tidak sadar, bahwa yang membuatmu sembuh itu bukan Tante, bukan obat, bukan terapi, tapi Ricardo?"

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang