Mata Seli terangkat, menatap Varen dengan rasa bersalah. "Aku nggak ngerti maksudmu."
"Lo itu pura-pura nggak ngerti atau emang pengen gue tembak langsung?" tanya Varen yang membuat kening Seli kembali mengernyit. "Gue suka lo, Sel."
DAR!
Rahang Seli seperti jatuh ke bawah. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Wajahnya pucat pasi bercampur panas. Terakhir kali ia mendengar kalimat itu adalah saat ia tengah berada kelas lima SD. Minggu ini emang berat banget, ya? Nggak orang itu, nggak Rio, nggak Varen. Ternyata bener, semua cowok sama aja. Pinter buat orang jantungan, batin Seli dengan kesimpulan bodohnya. Ckck. "A-aku—"
"Kalo kayak gini ngerti, kan?" Laki-laki itu kembali mengukir senyumnya saat puas melihat reaksi dari Seli. Lantas tubuhnya bangkit dari kursi. Tangannya ia masukkan ke saku jaketnya. "Nggak usah dijawab. Itu pernyataan, bukan pertanyaan," jelas Varen masih sambil tersenyum.
"Kamu, tuh, ya," ujar Seli sambil menutup wajahnya yang panas. Tak mau menyangkal, kali ini jantungnya berpacu lebih cepat dari yang biasanya. "Kok ngeselin. Dateng-dateng, bukannya bilang cepet sembuh tapi... malah bikin orang tambah jantungan."
Senyum Varen kian melebar. "Kamu tuh ternyata straight-forward ya, orangnya," balas Varen pelan. "Polos banget. Jadi tambah suka."
Mata Seli kembali terangkat lantas membulat dengan sempurna. "Kamu tuh—"
"Ngeselin, kan?" potong Varen cepat. "Sama Ricardo ngeselin mana?"
Seli kembali melotot. "Apa hubungannya coba sama Ricardo?"
"Ada dong. Jadi, ngeselin mana? Gue atau Ricardo?"
Ngeselinnya kamu mana bisa dibandingin sama ngeselinnya-Ricardo, Ren! Ingin sekali Seli menjawab seperti itu. Namun, tentu saja ini hanya ilusinya saja. "Ta-tauk. Lagian ngapain sih kamu ngomong ini ke aku sekarang?" tanya Seli mengalihkan pertanyaan yang lagi-lagi membuat Varen tersenyum.
"Nggak apa-apa. Sekali-sekali izinin aku yang sampe di finish duluan," jawab Varen. "Meskipun ujung-ujungnya tetep juara 2, sih. Tapi, gue nggak masalah." Lanjutnya pelan namun dapat didengar jelas oleh Seli.
Bukannya sombong atau apapun itu. Tapi Seli sangat sangat bingung harus menjawab atau bereaksi seperti apa. Sudah enam tahun dia tidak mendapat pernyataan seperti ini. Pernyataan yang menurut Seli sangat menggelikan namun dapat membuatnya seolah-olah lupa caranya bernafas. Dan juga pernyataan yang diluncurkan secara langsung oleh makhluk yang dihindarinya, laki-laki. "Re-Ren, aku—"
"Udah ya, gue pulang. Sebelum ada yang nabok gue abis gini." ucapnya cepat lalu menggeser pintu kamar dan menampakkan seorang laki-laki disana.
Laki-laki yang suaranya tadi Seli harapkan untuk hadir meskipun hanya semili-detik.
"Apa-apaan ini? Kenapa lo di kamar berdua sama Seli?!" tanyanya dengan nada kesal.
"Ohya," Varen kembali berbalik, mengabaikan laki-laki di belakangnya itu. "Gue nggak masalah. Lo jadi sama dia, gue nggak masalah. Lo seneng, gue seneng. Anggep aja tadi itu simulasi latihan buat jantung lo."
"Ngomong apa, sih?! Minta ditabok, ya?!" jeritnya kesal.
"RIO! DIEM! INI RUMAH SAKIT! BUKAN PASAR!" sekarang suara Flora yang menggelegar hebat di lorong itu.
"Maaf juga ya gue udah buat lo jantungan, padahal lo baru aja siuman. Bye, Sel," Pamitnya sambil melambai membuat amarah Rio semakin naik sampai ke ubun-ubun. Sepertinya bakat terpendam Varen telah keluar: membuat orang lain naik pitam akibat ulahnya.
"Heh! Lo itu beneran minta ditabok, ya?!" katanya lantas bersiap memiting Varen tapi cepat-cepat dicegat oleh Flora.
"Udah gue bilang ini rumah sakit! Bukan pasar! Bukan ring tinju juga! Dasar sinting!"
"Kita pulang dulu, ya, Sel!" seru Fani di luar sana disusul dengan Lian dan Afif. "Cepet balik sekolah, ya!"
Pintu kamar tertutup. Menyisakan Seli, Flora, dan juga Rio. Seli masih berusaha menetralkan nafasnya. Serangan tiba-tiba dari Varen membuatnya kembali rindu dengan inhaler. Gadis itu menangkup wajah merahnya dengan tangan, tidak mau menunjukkan keadaannya sekarang meskipun itu kepada Flora.
"Tadi Si Kampret itu ngomong apa sama lo?" tanya Rio tidak sabaran.
"Nggak ada." Seli menjawab dengan tenang, masih dengan kepala menunduk.
"Elo yang kampret, dateng-dateng udah kayak monyet pencak silat."
"Elo yang monyet. Masa ganteng-ganteng gini dibilang monyet?"
"Eh, ngajak berantem—"
Kalimat Flora otomatis terpotong akibat adanya dering ponsel yang menggelegar di kamar itu.
"Berantemnya kapan-kapan, ya. Gue pulang dulu," pamit Rio sambil mengangkat ponselnya yang entah nama siapa yang tertera disitu.
"Dih, baru dateng-bikin onar-terus pulang. Apa-apaan coba?" gumam Flora seraya bersedekap tangan.
"Udah diem lo, monyong. Ketemu besok lusa di sekolah ya, Seli." Lanjut Rio kemudian berlari keluar secepat mungkin.
"Wong gendeng." Hujat Flora sesaat setelah Rio pergi dari kamar lantas ia membaringkan tubuhnya di sebelah Seli karena kasur di kamar itu memang cukup besar.
"Sudah, biarin." Seli meneguk air dan ikut berbaring.
"Tapi, iya juga," seru Flora kemudian merubah posisinya menjadi duduk manis. "Varen ngomong apa, sih? Udah berdua-an, lama, dia ngomong apa, sih?"
Seketika itu juga muka Seli menjadi merah kembali. "Ng-nggak ngomong apa-apa."
●▪●▪●
KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Teen Fiction#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...