40

2.7K 250 1
                                    

GADIS itu melangkahkan kakinya dengan malas. Sesekali ia menendang kerikil-kerikil yang menghalangi jalannya. Kepalanya lantas mengadah ke langit, menatap langit biru bercampur oranye yang besar. Helaan nafas meluncur dari mulutnya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Yang jelas, sejak pertemuannya dengan orang itu, kehidupan Seli kembali berubah.

TIN TIN!

Badan Seli mengejang kaget. Tapi ia terus berjalan, menganggap klakson itu hanyalah klakson mobil-mobil yang biasanya lewat.

TIN TIN TIN TIN!

Mobil itu masih belum menyerah. Namun, Seli juga masih belum menyerah. Ia masih berjalan santai, tidak memperdulikan mobil itu.

TIN TIN TIN TIN TIN TIN TIN TIN TIN!

Tak tahan lagi, gadis tersebut memutar tubuhnya, penasaran ingin mengetahui siapa yang membunyikan klakson sebanyak itu di jalan yang kosong-bolong ini. Lantas matanya terpaku.

"Cewek? Sendirian aja, nih?"

Setelah rasa penasarannya terpenuhi, ia kembali melanjutkan jalannya.

"Sel, kok gue dikacang?"

Seli semakin mempercepat langkahnya, berusaha mengabaikan orang itu.

"SELI! OI! JUTEK AMAT!"

Kaki Seli sudah berada di ujung jalan. Tinggal belok dan—mobil orang itu menghalangi acara beloknya. Gadis itu mengerang pelan lantas meghentakkan kakinya jengkel. Bunyi kaca jendela mobil yang terbuka, membuat mata Seli otomatis menatap tajam orang yang sedang duduk manis di mobilnya tersebut. Orang itu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, simbol ia ingin Seli masuk dan duduk di dalam mobilnya.

"Nggak masuk, nggak minggir." Ancamnya lembut membuat Seli mendengus malas.

"Minggir."

"Nggak masuk, nggak minggir." Ulangnya lagi.

Seli mengusap wajahnya frustasi kemudian membuka cepat pintu mobil, duduk di sebelah orang itu dengan mulut maju sebanyak sejengkal. "Happy now?"

Orang tersebut mengulas senyumnya lalu memindahkan gigi mobilnya. "Tumben duduk disini. Biasanya di belakang."

Sontak Seli termangu. Ia baru sadar: langsung masuk ke mobil laki-laki dan duduk di kursi sebelah pengemudi. Padahal sebelum-sebelumnya ia selalu duduk di belakang jika lak-laki yang mengendarai. "Kamu mau bawa aku kemana, Ricardo?" tanya Seli gemas setengah takut.

"Mau nagih kencan yang dulu. Temenin gue makan, ya."

Mata Seli melotot lebar. "Ke-kencan?! Kencan apaan?" Entah mengapa kata 'kencan' berasa terlalu 'tante-tante' bagi Seli.

"Kencan buat merayakan sembuhnya Seli."

Nggak jelas banget, sih, batin Seli kesal. "Sembuh apaan?"

"Udah diem, duduk manis, biar gue nyetir. Gue pastiin lo bakal selamat sampai tujuan," jawab Rio lantas melirik gadis di sebelahnnya itu. Wajahnya sedikit pucat meskipun ekspresi cemberut mendominasinya. "Tenang. Gue bukan orang itu¸ jadi gue pastikan lo bakal pulang dengan keadaan damai sentosa baik fisik maupun hati."

"A-apaan, sih?"

"Nggak semua cowok yang kamu temui itu jahat. Ada yang baik. Nah, yang baik, sedang duduk di sebelah lo sekarang."

Seli memutar bola matanya jengah lantas berdiam diri, tidak membalas kalimat Rio yang menurutnya mulai membonsankan. Tangannya memeluk tubuhnya yang sedikit menggigil. Ia lupa tidak membawa jaket ungu hari ini.

"Dingin, ya?" tanya Rio tiba-tiba kemudian menaikkan derajat pendingin mobilnya.

"Ng-nggak."

"Ya itu Sel, yang gue rasain tiap kali gue ngomong sama lo."

"Apaan, sih?" balasnya kesal lantas ia teringat sesuatu. "Ohya." Tangannya mengeluarkan payung yang selama ini setia mendiami tas sekolahnya. "Ini aku balikin. Makasih, ya."

Rio terkekeh pelan. "Taruh aja di disitu," katanya sambil mengarahkan matanya ke laci mobil di hadapan Seli dan Seli segera mematuhi perintahnya. Lantas otak Rio kembali memikirkan sesuatu yang menarik untuk gadis ini, daripada suasana di mobilnya makin suram. "Sel?"

"Hm?"

"Kenapa langit itu warnanya biru?"

Alis Seli bertaut. "Karena ketika matahari berada di langit dan—"

"Nggak, bukan jawaban itu yang gue harapkan," sela Rio cepat sambil memijat pelipisnya, lega karena Seli tidak jadi menjelaskan materi Sains.

"Terus? Apa dong?"

"Jawab aja: Kenapa, Yo?, gitu."

"Kok disuruh tanya balik—"

"Udah jawab aja gitu."

"Yaudah-yaudah," balas Seli seraya menghela nafas, enggan untuk berdebat dengan laki-laki ini. "Emangnya kenapa, Yo?"

"Karena aku sayang kamu."

Seli tersedak ludahnya sendiri. Sementara Rio malah asik tertawa keras.

"Dasar receh!" seru Seli gemas lantas memalingkan wajahnya yang merona ke jendela. Tangannya sekarang memeluk tas sekolahnya. Senyum sangat tipis terulas di wajahnya yang berusaha disembunyikan di balik tasnya. Ih, udah gila aku.

"Kenapa gigi mobil ada 6 jenis?"

"Tauk, ah, Yo."

"Karena aku sayang kamu."

Sebenarnya Seli ingin sekali tertawa akan kerecehan ini, karena dia-pun sangat hobi mendengar lawakan receh. Tapi, gengsinya juga sangat tinggi. Gadis itu menggigit bibirnya, bersusah-payah untuk menyembunyikan tawanya.

"Kenapa tukang bakso nggak jualan bubur?"

"Ya karena dia tukang bakso, lah!"

"Bukan."

"Apalagi? Karena aku sayang kamu, lagi?" tanya Seli gemas lantas ia segara menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Matanya membulat, melirik Rio yang tengah tersenyum lebar. Lagi-lagi ia masuk ke dalam jebakan Rio. Sialan.

"Sayang kamu juga, Sel."

Seli mengerang pelan. Jarinya lalu mencubit lengan Rio keras, membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Kamu tuh ngeselin emang!"

"Lho, tapi gue serius," jawab Rio tenang. "Gue—" Kalimat Rio terputus akibat ponselnya berdering keras. Mata Seli otomatis melirik siapa nama yang tertera di layar itu. Biasalah, refleks dasar manusia. Penasaran.

Laura.

Entah apa yang terjadi di dalam tubuh Seli. Sejumput rasa aneh tiba-tiba mengelilingi dadanya. Perut Seli mendadak perih, namun ia masih berusaha untuk tidak peduli. Gadis tersebut lalu berdeham dan kembali membenamkan wajahnya di tas sekolahnya. Sedangkan Rio cepat-cepat mengangkat panggilan itu.

"Halo, iya?" jawab Rio. "Iya, bentar lagi gue pulang. Tunggu, ya." Katanya dengan nada lembut. "Iyeeeee... Oke, bye."

Rio kembali meletakkan ponselnya. "Sorry, panggilan penting."

"Hm." Balas Seli seadanya. Entahlah. Mood-nya tiba-tiba memburuk. "Aku pulang aja, deh. Nggak mood makan."

"Hah? Bentarlagi sampe. Kita mau makan sushi."

"Mau pulang."

"Ndak boleh."

Seli menghela nafas kecil. "Yaudah aku turun disini," katanya sambil membuka kunci mobil dan benar-benar membuka pintunya, membuat Rio shock setengah mati.

"Iya-iya! Gue anter lo pulang!"

●▪●▪●

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang