4

5K 436 15
                                    

SELI memukul-pukul dadanya pelan. Dengan cepat, ia mencari inhaler di dalam tas bahunya dan segera mengisap tabung kecil itu kuat-kuat.

Selalu.

Bagi wanita biasa, dipandangi oleh cowok ganteng seperti Rio mungkin akan membuat mereka berdebar kencang. Namun, beda dengan Seli. Pandangan Rio tadi membuat ia sangat risih sampai ia kehabisan nafas. Jika ada cowok yang mendekatinya, Seli selalu kehabisan nafas. Ia terlalu memaksakan diri dalam menyembunyikan dirinya di depan Rio tadi. Lelaki tinggi itu berhasil mengejutkan dirinya dari belakang. Membuat dirinya sontak membeku mati rasa. Wangi maskulin Rio langsung menyeruak di dalam hidungnya yang mancung. Membuat kepala Seli berputar sejenak. Ia menggelengkan kepalnya cepat. Gak boleh, Sel.

"Semuanya delapan puluh sembilan ribu, Kak," ucap kasir itu sambil memasukkan buku soal biologi Seli kedalam kantong plastik.

Masih mengisap inhaler-nya, Seli mengeluarkan satu lembar uang seratus ribu untuk membayar bukunya. Setelah agak tenang, Seli memutuskan untuk segera pulang.

Namun, keputusannya itu telah dihambat oleh Sang Hujan. Sore itu, hujan deras. Membuat Seli mau-tidak mau harus menunggu sampai reda. Karena Seli harus jalan kaki dan ia tidak mau menaiki taksi, angkot atau semacam itu. Ia mengadahkan tangannya sedikit keluar dari gedung toko buku itu. Merasakan tetesan-tetesan air yang dingin menyapa telapak tangannya. Membuatnya tersenyum tipis.

"Nah, kalo senyum gitu kan cantik."

Sontak Seli langsung menarik tangannya ke dalam saku dan menolehkan wajahnya yang sedikit merona ke belakang. Wangi ini kembali menyengat hidungnya. Ia segera menjaga jarak terhadap makhluk itu, seperti biasa. Helaan nafas malas nan kesal meluncur dari mulut Seli saat matanya melihat lelaki itu. Belum sampai lima menit ia berurusan dengan spesies bernama cowok, Rio kembali membuatnya resah.

"Belom pulang?" tanya lelaki itu sambil menenteng kantong plastik berisi 2 buku tebal-tipis.

"Kalo aku udah pulang, terus kamu ini lagi ngomong sama siapa?" tanya Seli balik. Ia memasukkan tangan dan obat yang berbentuk tabung kecil itu ke dalam saku jaketnya. Lalu, membenarkan letak kacamatanya.

"Naik apa emangnya?"

"Kaki," jawab Seli asal namun benar adanya.

"Lho, lo gak bawa mobil?" tanya Rio lagi.

Seli menatap Rio tak sabaran. "Ya kan aku bukan orang kaya kayak kamu yang bisa ganti-ganti mobil setiap hari."

Kulit Rio sedikit merinding mendengar jawaban Seli yang bisa dibilang cukup untuk menohok dirinya. "Lo.. Lo kenal gue?" tanyanya mengalihkan pembicaraan sekaligus kepo.

Gadis yang berdiri di sebelahnya itu menautkan alisnya, bingung. "Ricardo kan? Yang suka nggak kerja PR and dapet remidial terus tiap ulangan kan?"

Mendengar jawaban itu, Rio hanya bisa menarik nafas panjang sambil memejamkan matanya. "Nama gue Ricardo, panggil gue Rio, gausah pake embel-embel hoax di belakangnya, oke?" ucap Rio sambil tersenyum secara terpaksa.

Seli hanya menatap datar makhluk yang paling dibencinya itu dan kembali melihat tetesan air hujan. Cowok itu mengekori kemana Seli melihat. Masih hujan. Namun, tak berapa lama, ia manggut-manggut dan mengeluarkan senyum liciknya. "Kalo gitu bantuin gue kerja disini aja, deh.. ntar kalo di SMS gue bingung.. adanya gak selesai-selesai, hehe." ucapnya sambil menunjuk meja di sampingnya.

Seli menganga tidak percaya. "Enggak.. enggak bisa," tolak Seli. "Aku harus pulang, Roy."

"Rio. Roy nama Bapak gue."

Seli memperbersih tenggorokkannya.

"Emm.. maksudku, Rio," Seli menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kalo gitu percuma dong aku kasih nomerku ke kamu????" serunya setelah tersadar.

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang