"LO ngapain, sih??!" seru Flora sesaat setelah ia tiba di kamar mandi cewek. "Kok ruang tunggunya jadi berubah disini?"
Seli masih memijit pelipisnya. "Plis, Flo, ngomong di mobilmu aja."
"Iyaudah, ayo berangkat. Kenapa masih disini?" tanya Flora kemudian hendak keluar, namun Seli segera menarik tangannya sehingga ia terpental ke belakang kembali. "Ada apa lagi, sih?"
"Tolong liatin,"
"Liatin apa? Lo kenapa, sih, Sel?"tanya Flora sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar mandi. "Lo.. jangan bilang lo habis liat hantu."
"Liatin apa masih ada Ricardo di depan."
Hening.
"LO KENAPA, SIH, SEL?" jerit Flora ketakutan. "Lo kerasukan apa, sih?"
"Aku seriuss!" desis Seli gemas. "Buruan, liatin, abis gitu kita lari ke mobil kamu."
Flora melengos kemudian segera keluar, untuk mengecek apakah ada laki-laki itu atau tidak, sesuai perintah Seli. Kepalanya menonjol dari balik pintu toilet, lantas matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Beberapa detik kemudian, kakinya kembali melangkah masuk, mau melaporkan kabar di tempat kejadian perkara. "Nggak ada. Puas?"
Tanpa jawaban apa-pun, Seli segera menarik lengan Flora dan membawanya berlari menuju parkiran, ke mobil Flora. Hari ini, Flora sudah izin dengan ayahnya untuk membawa mobil sendiri, tanpa embel-embel 'ditemani sopir'. Toh, dia juga sudah tujuh belas tahun. Seharusnya sudah boleh memiliki SIM dan membawa mobil sendiri. Napas mereka berdua bertubrukan satu sama lain sesaat setelah mereka masuk ke dalam mobil itu.
"Capek.. woi.." ujar Flora dengan nafas yang tersegal-segal. Kemudian segera menyalakan mesin mobil dan pendingin mobil. "Mau ngomong apaan, sih?"
Seli menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya pelan-pelan, berusaha menetralkan nafasnya yang memburu. Ia meneguk ludahnya sebentar lalu menatap Flora lekat-lekat. "Aku mau ngomong," kata Seli pelan. "Rio.. Rio itu.."
"Kenapa, sih?"
"Rio itu nyimpen cewek!" seru Seli yang membuat Flora terkejut.
"Namanya Laura.." lanjut Seli lagi dengan kepala menunduk. "Kemarin aku diajak Rio makan, tapi dia ditelponin terus sama seorang cewek."
"Terus?"
Seli kembali mendesah pelan. "Terus tadi Rio ngasih kado ke aku, gelang. Tapi, aku tolak-tolak karena aku nggak mau. Terus aku lari."
"Kenapa kok lo nggak mau?"
Kali ini, kepala Seli menggeleng, bahunya mengedik tidak tahu. "Mana aku tau. Di dalem sini yang nolak mentah-mentah." Jawab Seli sambil menunjuk dadanya.
Mata Flora terus mengamati Seli, mencari sesuatu darinya. "Dia ngomong sesuatu, kan?"
"Iya," jawab Seli pelan masih dengan kepala menunduk. "Dia bilang, please, let me love you."
Jujur saja, Flora ingin tertawa keras saat itu. Kalimat yang sangat menggelikan dan sangat cringe itu benar-benar lucu apalagi keluar dari bibir Rio yang ditujukan untuk sahabatnya. Mulutnya bergetar, tanda ia sedang bersusah payah menahan tawanya. Tapi, ia masih berusaha tenang dan kalem. Lo berubah banget, Sel, batin Flora sambil tersenyum. Ia lantas menyenderkan punggungnya di jok mobilnya. "Gue tebak lagi, pasti barusan perut lo kayak ada yang menggelitik waktu dia bilang kayak gitu."
"Kamu jadi psikolog aja, deh, Flo. Kok pinter nebak, sih?" sahut Seli sambil tersenyum samar. "Iya, kayak ada yang menggelitik. Jangan bilang ada kupu-kupu lagi di perutku."
"Emang ada."
"Maksudnya apa, sih?"
"Itu maksudnya lo lagi nge-fly, bego."
Alis Seli bertaut di wajahnya yang merah. "Ma-maksudnya?"
"Nge-fly, Sel! Terbang! Lo itu dapet seratus mulu di Bahasa Inggris! Jangan dipersulit, dong!" seru Seli sebal, sahabatnya ini benar-benar buta akan hal romansa.
"Maksudnya? I don't use drugs, Flo."
"Bukan itu maksudnyaaaa," balas Flora sambil mengusap wajahnya frustasi. "Ya lo nge-fly. Udah kelar, gitu aja."
"Maksudnya apa, sih?!" seru Seli sambil memukul joknya gemas.
"INTINYA LO SUKA RIO!"
Hening.
Kalimat Flora barusan membadan Seli auto-mematung. Matanya kosong. Otaknya dihampiri beribu macam pertanyaan. Darahnya berdesir hanya dengan mendengar kalimat mengejutkan itu. Kepalanya lantas menggeleng cepat. "Nggak mungkin."
Flora kembali mengusap wajahnya. Ia menghadapkan badannya kepada Seli, bersiap untuk menjelaskan yang ia mengerti tentang kasus ini. "Gini. Gue bakal jelasin, tapi lo harus nerima juga. Jangan tolak semua pernyataan gue."
"Ke-kenapa?"
"Ini semua demi mencelakkan mata lo kalo lo itu bener suka bahkan udah fall in love sama Rio!"
"Mana ada aku suka Rio?!"
"Udah dengerin," sahut Flora mulai kesal. Lantas dihirupnya semua oksigen yang tersisa di mobilnya. "Sel, lo sendiri tadi yang bilang kalo perut lo kayak ada yang menggelitik pada saat Rio bilang kalimat menye-menye itu."
"Dan lo sendiri tadi juga jawab, kalo lo kemarin bete karena Laure nelpon Rio, bener?" tanya Flora yang dibalas anggukan dari Seli. "Lo tau nggak, kenapa lo bete kemarin?"
"Karena.." Seli berusaha berpikir. "Nggak tahu."
Flora mengerang kecil. "Itu namanya cemburu, Sel! Dan lo tau? Cemburu itu tanda cinta!"
"Nggak mungkin.."
"Percaya ke gue, Sel. Gue jamin, kemarin otak lo pasti mikir: Ini cewek ngapain nelpon-nelpon? Gue nggak terima lo ada di samping Rio, gitu, kan?" tanya Flora lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya, ikut gemas karena ingin mempermudah penjelasan ini. "Dan lo udah nggak ada ngehindar lagi dari Rio, kan? Lo bahkan berharap Rio ada di samping lo, meskipun kadang bibir lo bilang nggak mau."
Seli terdiam. Semua fakta yang disebutkan Flora benar-benar persis sempurna dengan apa yang dirasakannya.
"Gimana? Apa gue salah?" tanya Flora membuyarkan pikiran Seli.
"Terus aku mesti gimana, Flo?" tanya Seli panik. "Aku berati udah marah-marah—"
"Eits," potong Flora cepat. "Punya hak apa kamu bisa marah-marah cuman karena liat Laura nelpon Rio kemarin?"
Badan Seli menegang. Lagi-lagi, perkataan Flora adalah benar-adanya. Atas hak apa aku marah-sedih seperti ini?
"Lo itu jadi cewek jangan kebanyakan gengsinya, Sel. Keburu dia diembet cewek lain, tau rasa lo," ujar Flora. "Rasa menyesal."
"Aku nggak gengsi!"
"Lo itu gengsi! Hati lo loncat-loncat seneng gara-gara denger Rio bilang gitu tapi lo-nya malah sok-sok-an marah cuman gara-gara urusan sepele macam kemarin."
"Itu nggak sepele, Flora! Dia itu nyimpen cewek! Cewek!"
"Tau darimana lo kalo Laura itu simpenannya? Haduh, iya-iya yang cemburu buta, dih."
"Flo?! Kamu nggak mihak aku?"
"Lagian kok tumben lebay banget. Cemburu gitu aja pake bete."
"Ya, habis—"
"Iya-deh, yang pertama kali sakit hati gara-gara cowok, gue maklumi." Balas Flora menepuk bahu Seli sambil menatapnya kasihan, membuat Seli melengos kesal.
Tidak ada balasan dari bibir Seli. Yang ada di pikirannya sekarang, adalah ia sangat ingin bertemu dengan tantenya. "Flo, aku izin lagi tahun ini nggak ikut makan-makan. Mau ketemu sama Tante Jean."
●▪●▪●

KAMU SEDANG MEMBACA
Arrhenphobia [END]
Fiksi Remaja#1 in phobia Pertemuan dengannya di ruang guru membuat Rio;cowok bandel nan tampan; terus penasaran dengan satu gadis yang selalu menganggap dirinya hama. Gadis yang selalu membawa inhaler dimanapun ia berada. Gadis yang selalu gondok jika bertemu d...