44

2.5K 228 2
                                    

LAKI-LAKI itu memandang matahari dengan hikmat. Matanya sesekali menyipit dan melebar, berusaha mengatur cahaya matahari yang masuk. Lantas tangannya terangkat, menampakkan sebuah gelang dengan bulan dan bintang menemaninya. Ia memutar-mutar gelang itu, membuat cahaya matahari perlahan nampak dan hilang, menyisakan bayangan gelang itu di wajahnya yang tampan. Tangannya kemudian turun, masuk ke saku, mengganti gelang itu dengan sebuah surat yang didapatkannya kemarin dari seseorang. Tarikan nafas panjang keluar dari bibirnya.

"Ini anak kenapa lagi?" sahut Afif dari belakang. "Kantin, yok."

Sementara laki-laki itu masih saja menghela nafas pasrah. "Gimana sih caranya tau kalo cewek yang lo suka, juga punya perasaan yang sama ke lo?"

Kening Afif mengernyit. Jawaban cowok itu sangat melenceng dengan ajakannya. "Elo kenapa, sih? Kemarin malem abis mabok, apa?"

"Nggak tau. Gue bingung."

Afif menatap temannya itu dengan tatapan jijik nan geli. "Kayak cewek aja lo, Yo. Kenapa sih? Lagi galau?"

"Iya gue galau. Puas?" jawabnya tanpa nada lantas kepalanya ditidurkan di meja.

Afif menopang wajahnya, pura-pura berpikir keras. "Coba lo buat dia cemburu. Kata orang-orang, kan, cemburu itu tanda cinta. Nah, kalo dia cemburu, berati dia cinta sama lo, kan?"

Rio meluncurkan tarikan nafasnya lagi. "Nggak tau. Dia kayaknya benci ke gue. Kapan hari dia ngeliat ada Laura nelpon gue. Terus—" Kalimatnya terpotong karena dia baru sadar akan sesuatu. Bilang itu ke Laura. Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya yang kecil. Eh, besar maksudnya. Lantas dengan semangat 45, ia keluar dari kelasnya, meninggalkan Afif yang mematung.

"Nggak waras." Gumamnya sambil beranjak dari kursi, kemudian ikut keluar.

Kaki Rio berlari dengan cepat, dari kelas XI-C menuju kelas XI-A. Sesekali ia masih menyapa teman-teman yang lewat di hadapannya. Ia terus berlari hingga akhirnya ia sampai di kelas itu. Matanya terpejam, mengumpulkan segenap energinya, menarik nafas sepanjang-panjangnya, lantas hendak berteriak lantang.

"LAURA ITU—HMPH!"

Hening. Tidak ada balasan. Tidak ada komentar.

Sebuah tangan harum nan lembut membungkam mulutnya, membuat jantung Rio serasa ingin loncat keluar. Ia perlahan membuka sebelah matanya. Kecewa. Itu yang dirasakannya pertama kali saat yang tampak di hadapannya sekarang adalah seseorang yang bahkan tidak Rio harapkan untuk muncul.

Tangan orang itu membungkam mulut Rio, agar tidak berteriak-teriak seenaknya seperti yang sering dilakukannya. Setelah matanya terbuka sempurna, ia menaik-naikkan alisnya dan menurunkan matanya, tanda ia ingin orang itu melepas bungkamannya. Lantas dengan santai, Rio menyengir lebar. "Seli-nya ada?"

"Nggak masuk. Sakit. Kecapek-an." Jawabnya seadanya.

"Flora, gue serius," rengek Rio seraya menahan malu.

"Gue serius juga, anjir. Minggir." Jawab Flora kemudian melewati Rio.

Dengan sigap, Rio mengikuti Flora dari belakang. Dirinya mensejajarkan tubuhnya di samping perempuan itu. "Seli nggak bilang apa-apa kemarin?"

"Haduh! Kalian berdua itu, ya! Kok bisa-bisanya sama-sama nggak peka?!" seru Flora gemas.

Bibir Rio maju. Ia kembali merengek. "Ayolah, Flo. Lo itu satu-satunya cahaya gue sekarang. Plis cerita-in ke gue."

"Gue mau harus cerita apa? Semua udah jelas. Lo suka dia, dia suka lo. Kelar, kan?" jawab Flora lantas ia cepat-cepat menutup mulutnya. Ah, mampus. Selalu saja keceplosan.

Badan Rio mematung. Sedetik kemudian, matanya terangkat menangkap Flora yang sekarang sedang dalam perjalanan untuk kabur. Dirinya lantas mengejar gadis itu, tidak ingin narasumbenya raib. "Flora! Lo bilang apa barusan?!"

"Pergi lo, Yo! Gue mau masuk kamar mandi, awas jangan macem-macem lo!"

Namun, kaki Rio malah maju satu langkah, membuat Flora melotot lebar. "EH! ADA ORANG MESUM! TOLONG!" jerit Flora bak orang kesetanan. Alhasil beberapa cewek dari kamar mandi perempuan ikut berteriak dan keluar dengan membawa peralatan perang: sapu dan kain pel.

"AMPUN WOI!" seru Rio keras sambil menjauhi wilayah itu.

Nafas Flora tersegal-segal. Tangannya mengacak-acak rambutnya frustasi. "Semua gara-gara lo, Seli Adeliaaaaaa!!" serunya kesal.

Di sisi lain, Seli yang sedang meringkuk di dalam selimut mendadak bersin-bersin sebanyak tujuh kali.

Flora lalu menyelesaikan 'urusan'-nya, sekalian, karena dia sedang berada di toilet. Kakinya kembali melangkah, namun sebelum itu, ia kembali menonjolkan kepalanya. Sebuah kejadian yang sama persis dengan tempo hari: mengamati apakah yang namanya Ricardo Naraya Wijaya sudah pergi dari situ atau belum. Setelah melihat tanda-tanda tidak adanya laki-laki itu, ia kembali berlari kencang menuju kelasnya kemudian duduk manis di bangkunya.

"Em, Flo?" panggil Fani dari belakang.

"Apa....an." Nafas kesal Flora kembali meluncur dari bibirnya lantaran ia menemukan cowok itu duduk persis di sebelah Fani.

Rio kemudian beranjak dari situ, berjalan sedikit, lalu duduk di sebelah Flora, duduk di kursi Seli yang sedang tidak masuk. "Kasih tau gue, berapa nomor apartemen Seli."

"2107." Jawab Flora cepat. Lagi-lagi ia keceplosan. Sial-sial-sial! "Mau ngapain lo?!"

Senyum Rio mengembang. Ia lalu melepaskan sabuknya dan meletakkannya di meja Flora, membuat gadis itu kembali melotot.

"Lo-lo mau ngapain? Ini kelas, lho, Rio! Kelas!"

"Berisik." Balas Rio sambil mengeluarkan dompet dan ponsel dari sakunya, kemudian meletakkanya lagi di meja Flora. Ia menepuk-nepuk ketiga benda mahal itu lantas matanya menatap tajam ke Flora. "Ini jaminan."

Kening Flora mengernyit dalam. "Jaminan buat apa? Sabuknya ini juga jaminan? Emangnya ini berharga?" tanya Flora sambil mengangkat sabuk Rio.

"Itu benda keramat turunan dari Kakek Buyut gue, limited edition dari zaman purba," jawab Rio memutar bola matanya malas. "Ah, udahalah, itu nggak penting. Ini jaminan kalo misalnya lo nggak percaya gue nggak bakal ngapa-ngapain Seli nanti sore. Gue mau ke apartemennya."

Hening.

"Gue-gue laporin lo ke polisi, Yo!" seru Flora sambil meraih-raih ponselnya di meja. Setelah mendapatkannya, Flora menunjukkan ponselnya ke depan wajah Rio. "Sumpah, gue laporin lo ke polisi!"

"Iya, laporin aja kalo sampe Seli lapor apa-apa ke lo, oke? Itu gue udah kasih lo semuanya. SIM, KTP, Kartu Perpus, tinggal bawa aja ke kantor polisi. Gue balik, ya. Bye." Katanya cepat seraya menepuk pundak gadis itu.

Flora kembali mengacak rambutnya. Sepertinya ia harus menemui Jean untuk menanyakan mengapa bibirnya selalu saja keceplosan mengutarakan hal-hal yang penting. Dan sepertinya ia harus menata ulang jadwalnya sore ini, tahu karena Rio adalah cowok yang tidak bisa dihalangi kemauannya. Dan tahu karena sahabatnya-pun perlu menemuinya untuk menyelaraskan ini semua.

●▪●▪●

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang