36

2.5K 244 0
                                    

"GIMANA keadaan lo, Sel?" tanya Rio pelan namun tak dijawab oleh Seli. "Flora bilang, kalo apa yang lo pikirin sama kayak yang dia pikirin.. Dia udah jelasin semuanya ke gue. Dari awal sampai akhir."

Mata Seli mendadak kaku. Jantungnya seperti berhenti. Ia kembali mengeluarkan air matanya. Sambil terisak, tangannya segera menutupi wajahnya dengan selimut.

Tak berapa lama, sebuah teriakan keluar dari selimut itu, membuat Rio otomatis memejamkan matanya. Tiga orang yang berdiri di ambang pintu juga ikut mendengar suara teriakan dari Seli. Flora yang cemas, ingin segera masuk ke dalam untuk mengecek apa yang sedang terjadi. Namun, usahanya dihalangi oleh Jean.

Ada mungkin lima menit Seli berperilaku seperti itu. Rio akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Seli. Ia melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah dengan hati-hati. Tangannya kemudian hendak menyentuh selimut itu. Namun, entah mengapa saat melihat selimut itu bergetar, Rio segera menghentikan aksinya. Tangannya terkepal. Kemudian ia berbalik dan menyeret sebuah kursi ke dekat kasur. Dirinya duduk dan memangku wajahnya dengan kedua lengannya di atas kasur, menatap gadis itu dari balik selimut.

"Sudah?" tanya Rio sabar setelah tangisan Seli mulai mereda.

"Duduk di sofa sana," balas Seli setengah terisak dari dalam selimut.

"Gak mau. Gue maunya disini."

"Kamu tuh ngeselin, tau gak?"

"Iya gue tau kok," jawab Rio sambil tersenyum. "Lo mau gak konsul sama gue? Anggep aja ngobrol gitu,"

"Gak."

"Kenapa?"

"Emangnya kamu apa? Psikiater? Dokter kayak Tante Jean? Tante Jean aja belum bisa nyembuhin aku!" seru Seli sambil merubah posisinya menjadi duduk. Namun, kepala dan tubuhnya masih enggan untuk keluar dari selimut.

"Gue nggak perlu jadi dokter buat nyembuhin lo."

Direngkuhnya badan kecil yang berbalut selimut itu ke dalam pelukannya.

Mata Seli sontak membulat saat ia merasakan ada lengan besar yang melingkar di tubuhnya dari luar selimut. Tangannya lantas meronta-ronta, meminta untuk segera dilepaskan, terus begitu tapi cowok itu masih enggan melepas dekapannya. Air matanya kembali mengalir.

"Kamu tuh jahat, tau gak?" ujar Seli sambil memukul-mukul pelan tubuh Rio dari dalam selimut.

"Iya, gue tau."

"Kamu tuh ngeselin!"

"Iya, gue tau. Lo udah bilang."

"I hate you so much,"

Senyum terukir di wajah Rio. "Iya, gue sangat sangat sangat tau."

Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Hanya ada suara pendingin ruangan yang berderu dilengkapi dengan suara isakan Seli. Lengan Rio masih tak kuasa melonggarkan pelukannya, membuat Seli sekali lagi kembali berusaha untuk melepaskan diri.

"Gue ngerti, hati lo pasti gak berbentuk lagi gara-gara kejadian itu," ujar Rio tiba-tiba. "Hati lo emang hancur, tapi gak hilang kan?"

Pertanyaan Rio sukses menenangkan Seli. Gadis itu menautkan alisnya. "Maksudnya?"

"Nih, coba, kalo buah semangka yang bulet, gue potong-potong terus gue kasih ke lo, itu namanya jadi buah apa?"

"Ya, buah semangka lah!"

"Bener. Sama kayak hati lo. Hancur, kepotong-potong, tapi tetep aja itu namanya hati. Mangkanya lo masih baik-baik aja sampai sekarang karena lo masih punya hati."

Jawaban laki-laki itu membuat Seli tertegun sejenak. "Maksudmu aku masih belum gila sampai sekarang soalnya aku masih punya hati?"

"Hmm.. Gue gak bilang secara langsung sih, tapi anggep aja kayak gitu." Jawab Rio sambil terkekeh pelan.

Seli berdecik kesal di dalam selimutnya. "Kamu itu ngeselin, tau gak?"

"Iya-iya, gue tau banget. Lo udah bilang itu tiga kali, empat sama yang barusan. Udahan dong. Lama-lama sakit hati nih dengernya."

"Lo itu orang paling ngeselin sedunia, Ricardo!"

Senyum terulas di wajah Rio saat ia mendengar Seli mengucapkan nama panjangnya. Lantas sebuah kecupan mendarat di pucuk selimut Seli. Namun, gadis itu tidak sadar dan tetap meronta-ronta melepaskan diri lantaran kepalanya mendadak menerima suatu beban yang berat.

"Kamu ngapainn??" ujar Seli gemas. "Minggirr."

Setelah puas memberikan kecupan di kepala Seli [meskipun lebih tepatnya di selimut], akhirnya Rio melepaskan pelukannya membuat gadis itu otomatis menyikap selimutnya. Tawa Rio berderai saat melihat keadaan perempuan itu secara lebih dekat. Rambutnya berantakan, matanya sudah menjadi mata panda dan bibirnya maju 50 cm.

"Gimana? Tambah sesek nafas kan? Elo sih pake sembunyi di selimut segala," ujar Rio mengejek Seli yang nafasnya masih tersegal-segal.

"Berisik!" seru Seli kemudian berbaring memunggungi Rio. "Kamu pasti jijik kan sama aku? Kenapa gak keluar aja dari kamar ini?"

Cowok itu kembali mengulas senyumnya. "Gue sama sekali gak ada pikiran itu di otak gue dan gue ngerti perasaan lo, Sel."

"Gak usah sok ngerti."

"Nggak gue bakal berusaha sebaik mungkin buat ngerti. Karena gue tau perlu pengertian yang baik untuk dapetin perasaan nyaman yang utuh." Ujar Rio sambil mengusap pelan rambut Seli yang pasti dibalas dengan tepisan dari perempuan itu.

Namun Seli tetap diam. Membiarkan rambutnya dibelai oleh Rio. Mungkin dia berusaha menganggap belaian lembut itu adalah dari ibunya. Ia merasakan tangan besar itu menyentuh kepalanya dengan tenang. Seli berusaha keras untuk berpikir hal itu bukanlah sebuah ancaman atau bahaya untuk dirinya.

"Gue pulang ya, Sel. Thanks udah bangun hari ini." Pamit Rio sambil tersenyum yang jelas tidak dapat dilihat oleh Seli.

Langkah kaki Rio makin lama makin memudar. Seli kembali terbangun dan menatap pintu kamarnya yang tertutup. Sudah tidak ada siapa-siapa di kamarnya. Kepalanya menonjol dari kasur untuk melihat apakah ada yang ingin masuk ke kamarnya lagi.

Dirinya lalu kembali berbaring. Tangannya mengusap rambutnya pelan. Matanya terpejam dengan kesal. Ia terus berusaha menyangkal dirinya sendiri. Menyangkal jika barusan ia merasakan sebuah rasa yang sudah lama ia tidak rasakan.

Sebuah kenyamanan dari seorang cowok.

●▪●▪●

Rasanya pas nulis part ini tuh kek : ✈🛫🛬✈🛫🛬✈🛫🛬✈

Arrhenphobia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang