ILY#39

118 20 5
                                    


Maria menutup pintu kamarnya dengan keras saat melihat Liora dan Ken membelikan sebuah ponsel baru untuk Nila.

Maria muak melihat Nila bahagia tapi ia juga tak suka melihat Nila menangis.

Ia pun menelepon seseorang untuk menjemputnya agar keluar dari rumah tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya dan si Licik Nila.

Bibirnya tersenyum miring, entah mengapa ego dapat mengusai dirinya.

Maria segera mengemasi barang-barangnya dengan memasang wajah datar dan memerah menahan amarah.

Tinggal disini akan membuat hatinya sakit dan lebih baik ia pergi kerumah teman-temannya.

Maria membuka jendela kamarnya sambil menengok kekanan dan kekiri karena takut ketahuan oleh seseorang.

Gadis itu lalu melompat, padahal kamarnya berada dilantai 3 tapi ia sama sekali tidak takut karena ia sudah berlatih dan mempersiapkan segalanya dengan sempurna.

Entah dari mana sebuah mobil datang lalu Maria segera memasuki mobil tersebut.

"Untung lo cepet dateng Die." Ucap Maria yang membuat Die, ya gadis itu yang tadi ditelepon oleh Maria untuk menjemputnya.

"Ok, kita jalan." Setelah itu Die menancapkan mobilnya menuju kesebuah tempat dimana Maria akan tinggak selama beberapa hari.

Namun Die tak tahu bahwa Maria meletakan sebuah surat dikamar untuk membuat orang tuanya sadar.

***

Maria merebahkan tubuhnya disebuah kasur, ia kini berada ditempat dimana Die tinggal.

Die biasa menyebutnya markas saat dia sedang stress akibat orang tuanya, sama seperti Maria.

Hidup kedua gadis itu hampir sama, yaitu sama-sama anak yang kurang kasih sayang dan perhatian orang tuanya.

"Kalau mereka nggak bisa ngasih gue kasih sayang kenapa mereka ngadopsi anak, coba?" Ucap Maria setelah ia menceritakan masalah mengapa ia sampai kabur dari rumah.

Sementara Die yang mendengarnya memeluk sahabatnya itu disertai wajah sendu.

"Tenang ya? hidup lo masih beruntung Ri, yang nggak tuh gue. gue dari kecil'kan nggak pernah dapet kasih sayang orang tua karna orang tua gue cerai terus itu yang ngebuat gue jadi pribadi yang kayak gini, sering ke club, balapan liar dan banyak lagilah." Tutur Die sambil tersenyum kecut mengingat hidupnya sangat tidak beruntung.

Maria memeluk Die dengan airmata, ia kini percaya mengapa dari mereka SMA Die tidak pernah berhenti untuk pergi ke club, itu karena orang tuanya.

"Oh iya. nanti malam gue mau ke club, lo mau ikut?" Maria menggeleng yang membuat Die tersenyum lalu memeluk kembali sahabatnya itu.

Tak lama pelukan mereka terlepas karena ponsel Maria berdering pertanda ada panggilan masuk.

Maria segera mengangkatnya tanpa melihat si penelepon.

"Hallo."

Terdengar dari sana helaan nafas lega, Maria kenal suara ini, ini pasti Keno.

"Maria where are you baby?"

Maria meneguk salivanya, ia harus mengatakan apa namun saat ini moodnya sedang tak baik jadi ia hanya menanggapinya dengan biasa.

"Kamu nggak perlu tau aku dimana Ken, aku cuma mau orang tua aku sadar apa yang mereka lakuin ke aku itu bener-bener bikin hati aku sakit."

Keno menghembuskan nafas, ia tahu gadis yang di cintainya ini sedang frustasi karena sesuatu tapi kabur dari rumah bukan hal yang bagus?

"Maria, ayo kita omongin ini baik-baik ya sayang."

Maria menggeleng walau itu tak terlihat. "Aku nggak mau Ken, aku mau mereka cari aku sampai dapet dan janji sama aku."

Keno mendesah, ia tak habis pikir dengan Maria, mengapa gadis itu sangat keras kepala.

"Sekarang terserah elo, gue capek. lo mau mati kek atau apa kek, tau ah bodo amat."

Maria meneteskan airmata mendengar Keno membentaknya dengan hembusan nafas kasar.

"Ken___"

"Apa?! kamu pikir aku nggak bisa tegas? aku capek kalau kamu terus kayak gini Ri."

Maria terisak sedangkan Die yang menyadarinya segera memeluk gadis itu.

"Ken. nabigo ako sa iyo."(Gue kecewa sama lo).

Keno yang mendengar seketika panik karena ia mendengar isak tangis dari gadisnya.

Maria segera memutuskan sambungan teleponnya lalu membanting ponselnya hingga tak terbentuk.

"Maria. lo kenapa?" Tanya Die histeris karena menurutnya ponsel itu sangat berharga sebab harganya, kamu tahulah keluarga Bernardo tuh sekaya apa, jadi pasti sangat sayang sekali.

"Seharusnya lo nenangin gue Ken, lo itu cowok gue. arrgghh....gue benci sama lo." Ucap Maria sambil menjambak rambutnya frustasi.

"Yaudah, gue ke dapur dulu ya? lo mau makan apa?" Maria menggeleng lalu menghampiri sebuah telepon rumah karena ingin membeli sesuatu.

Die yang melihat segera mencegah, kalau sampai ada yang kesini tempat ini pasti ketahuan.

"Maaf Maria, tapi apa lo mau orang-orang tau kalau lo di sini." Ucap Die yang membuat Maria meletakan kembali gagang telepon itu lalu merebahkan diri dikamar.

"Die, thanks ya? gue nggak tau kalau nggak a__"

"Udah lah. kita ini sahabat, bener'kan?" Maria segera memeluk gadis itu, ia kagum dengan keteguhan hati Die karena Die dapat kuat dengan semua itu.

"Besok lo ngampus?" Tanya Die sambil mengunyah cemilan yang sedari tadi mereka anggurkan.

Maria mengangguk sambil menonton televisi yang menampilkan sebuah kisah nyata.

"Lo nggak usah jemput gue, tapi kalau mau jemput juga nggak apa-apa asal jangan di gerbang ya--lo taulah biar Ken nggak liat." Die mengangguk sambil tersenyum sedangkan Maria menatap kosong kedepan, memang kelihatannya ia sedang menonton televisi tapi ia tengah menerawang dengan pikirannya.

"Apa gue kuat kalau sakit dua kali? sakit karna orang tua dan sakit karna Keno."





Kalian, ya kalian...
mau cerita ini tetep next atau  nggak?

Mau aku sih tetep next tapi masalahnya apa kalian mau ini next?

Yaudahlah next aja kali ya...
Yaudah di next aja. oh iya, beberapa chapter lagi kalian akan melihat sesuatu yang akan membuat kalian tercengang pasal Maria...

Yang tau bisa nebak?
Ok, jangan lupa tinggalkan jejak kalian...

Sorry buat typo-nya
Sorry buat jarak antara MarLo masih tetep ada
Sorry buat kalian yang selalu digantung karna masih nggak ngerti jalan ceritanya karna ini belum masuk ke konflik yang sebenarnya....

Salam @angsuraifa




I Love You(Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang