Dibalik senyumku, aku memiliki sejuta masalah yang nyaris membuatku menyerah dalam keadaan.
Perempuan kecil berambut hitam bergelombang menatap diam-diam saudara kembarnya yang sedang tertawa bersama orangtuanya. Dalam batin perempuan yang berumur 10 tahun itu menangis. Dia berpikir dirinya tidak dianggap orangtuanya. Bahkan keluarganya.
Ya. Perempuan itu tidak merasakan kebahagiaannya di dalam keluarga. Yang dilihat hanyalah kebahagiaan keluarganya tanpa dirinya. Menurutnya, dirinya bukan lah alasan keluarganya tersenyum bahagia bahkan dirinyalah yang sebagai pembuat masalah bagi keluarga yang dia sayangi itu.
•••
KEIRA'S POV
Aku mencoba membuka mata melawan cahaya yang semakin silau. Telinga sedari tadi kututup menggunakan bantal akibat suara alarm yang sangat keras membuyarkan semuanya. Dengan kesal aku segera bangkit dari kasur yang empuk dan segera bersiap-siap berangkat sekolah. Aku menyisir rambut dan mengikatnya ke belakang. Lalu mengambil tas dan segera turun ke bawah untuk sarapan.
Di sana sudah ada Keila dengan mama papaku yang sedang sarapan sambil ngobrol. Aku segera duduk di samping Keila tanpa mengucapkan satu kata pun. Tanganku meraih sarapan yang ada di atas meja.
Sembari menghabiskan sarapan, sesekali aku melihat Keila dan orangtuaku. Sepertinya mereka tidak tau kalau aku sudah di sini.
Ah! Sudah lah! Aku sudah biasa dengan kondisi ini. Aku memang seperti tidak dianggap di keluarga ini.
Aku sudah tau kalau mereka tidak menganggapku dari aku berumur 6 tahun. Sejak saat itu aku memperhatikan Keila lebih detail. Dan itu membuatku sakit hati. Mama dan papaku lebih menyayanginya sampai sekarang saat umurku sudah berumur 16 tahun. Memang wajar sih jika mereka lebih sayang padanya dari pada aku. Kita memang kembar tapi sikap kita berbeda. Menurutku, dia lebih cantik dari pada aku walaupun muka kita mirip. Dia juga lebih pintar dan feminim.
"Keira. Sejak kapan kau disini?" tanya Keila membuyarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum tipis.
"Bagaimana kalian tidak tau? Kalian terlalu serius menceritakan kebahagiaan kalian," kataku setengah menyindir.
"Keila, Keira, sebaiknya kalian berangkat. Kalian sudah hampir telat," perintah mama.
Aku segera salim kepada orangtuaku lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Mereka memperlakukanku berbeda dengan Keila. Mereka memeluk dan mencium kening Keila sebelum berangkat. Aku jadi iri. Inginku merasakan kasih sayang mereka juga.
Tanpa berpikir panjang aku segera menaiki motorku. Awalnya aku menaiki sepeda menuju sekolah sedangkan Keila sudah dibelikan motor sebagai hadiah ulang tahunya. 1 tahun kemudian Keila dibelikan motor yang jauh lebih bagus daripada punyanya yang sebelumnya. Jadi dia memakai motor barunya dan aku kebagian motor lama. Itu tidak terlalu masalah kalau soal motor. Tapi kenapa aku harus dapat benda sisaan? Lebih baik aku dibelikan yang baru tapi harga lebih murah. Aku akan merasa dihormati kalau seperti itu.
Aku segera melajukan motorku menuju sekolah.
•••
Aku segera meletakkan tasku di sebelah sahabatku, Vania yang sudah datang sedari tadi. Dia terlihat sibuk dengan hanphonenya.
"Hi Keira!" sapa Vania saat melihatku sudah datang. "Hi!" sapaku kembali.
"Gimana? Apa mereka masih begitu kepada lo?" tanya Vania.
Dia menanyakan tentang kedua orangtuaku yang tidak menganggapku. Hanya kepada beberapa orang aku bisa bercerita.
"Tentu saja masih. Ini akan terjadi selamanya. Gue gak peduli. BTW ini adalah topik yang bagus untuk memulai hari Rabu yang indah ini," jawabku menyindir dengan cengiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...