Setiap air mataku adalah tetesan kesedihan yang aku rasakan.
Aku menangis sejadi-jadinya di kelas. Dan tak ada yang peduli. Teman-temanku hanya lah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Seketika itu aku jadi merindukannya. Merindukan kehadirannya yang menghiburku. Aku sangat ingin memohon untuk kembali seperti dulu. Tapi waktu tak bisa diulang. Itu sudah lampau dan wajib dilupakan.
"Keira! Lo dipanggil Keila di lapangan belakang sekolah sekarang." Vania memberitahuku.
Tanpa menjawab lagi aku menghapus air mataku dan pergi ke lapangan belakang. Selama aku melewati teman-temanku, mereka hanya menatapku bingung dan takut untuk campur tangan. Sampai di sana ada Keila yang sedang berdiri di tengah lapangan dengan wajah puas.
"Ada apa? Lo mau ngusir gue dari sekolah ini juga?" sindirku.
"Tidak. Gue mau nanya soal tadi yang di kantin! Maksud lo yang tadi itu apa?!"
"Gak kenapa-napa. Cuman sedikit pertengkaran."
"Lo gila ya? Lo mempermalukan nama keluarga kita? Lo juga bisa mempermalukan gue juga!" bentaknya.
"Maaf? Apa kata lo? Keluarga? Gue kira setelah gue diusir seperti itu mereka gak nganggep gue keluarga. Ternyata kalian masih nganggep gue ya! Baik banget!" sindirku.
"Jaga omongan lo! Kan itu juga karena lo yang mau pergi!" bentak Keila dengan emosi yang sudah meledak.
"Lo bolot banget ya? Apa lo gak denger mama nyuruh gue pergi?"
"Bukan urusan gue! BTW jangan deketin Aiden! Jauhi dia! Dia hanya milik gue dan yakinlah, gue akan jadian sama dia. Bagaimana dengan lo? Maaf ya, lo hanya menjadi pelampiasan dirinya karena muka lo mirip muka gue! Oh ya kasihan banget ya dipermainkan olehnya. Datang, buat nyaman, lalu pergi."
"Apa hak lo buat ngatur gue? Gue dan dia hanya temen!" tanyaku kesal.
"Pokoknya jauhin dia! Gue gak suka lo deket sama dia!"
"Lo cemburu?" tanyaku.
Keila hanya diam dengan wajahnya yang penuh emosi karena aku berhasil membuatnya terdiam. Aku tak suka dengan sikapnya yang selalu mengatur dan berpikir dia bosnya.
•••
Aku mengecek jam tanganku. Sudah jam 16.15 sore. Aku harap Audrey sudah pulang. Aku berdiri mematung menunggu pintu lift terbuka. Aku sedang menunggu di lift yang sudah tua dan jalannya sangat lambat. Hal ini hanya buang-buang waktu saja. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dan aku segera keluar dan mencari kamar apartemen Audrey. Saat sudah hampir sampai aku dikejutkan oleh Aiden yang sedang berbincang dengan Audrey di luar ruangan apartement. Aku berhenti sesaat. Aiden yang posisinya membelakangiku tak tau kalau aku melihatnya.
Untuk apa dia ke sini?
Dengan langkah ragu aku menghampiri mereka. Aku mencoba tak peduli dan terus berjalan ke ruangan apartemen Audrey yang ada di sebelah mereka. Saat aku hampir mendekati mereka, Aiden berbalik dan menatapku terkejut. Tatapannya diganti dengan sorotan dingin yang membuatku takut. Langkahku langsung terhenti.
"Aiden. Untuk apa lo ke sini?"
"Bukan urusan lo!" ketusnya lalu menghampiriku yang masih tak bisa bergerak.
Dirinya semakin mendekat dan aku semakin takut. Untuk apa dia menghampiriku? Apa aku akan disakitinya untuk kedua kalinya? Aku memejamkan mata dan tidak terjadi apa apa. Aku membuka mataku dan ternyata Aiden hanya melewatiku dan dia pergi tanpa memedulikanku. Aku kira dia akan menghampiriku. Aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menghilang di belokan lorong.
"Ada apa? Apa yang kalian bicarakan?" tanyaku.
"Tak apa apa. Gak ada yang perlu lo khawatirkan. Semuanya akan berubah menjadi lebih baik." Audrey tersenyum.
"Tolong beri tau gue! Untuk apa dia datang kemari?"
"Tidak ada masalah apa-apa Keira! Percayalah! Dia akan membuat lo menjadi lebih baik."
"Benarkah?" tanyaku ragu.
"Seharusnya gue yang bertanya. Kenapa dia marah sama lo? Bagiamana ini bisa terjadi? Bukankah lo yang seharusnya marah ketika dia bertengkar saat di kantin itu?" tanyanya balik.
"Gak tau. Gue juga gak ngerti. Gue hanya ingin membalasnya untuk merasakan apa yang gue rasakan saat itu. Gue berteriak di depan orang dan menghina Aiden lalu menumpahkan es teh manisku. Tiba-tiba saja dia sangat marah dan mendorongku. Dia tak mau dihina seperti itu tapi dia menghina gue sendiri. Sungguh sekarang gue gak ngerti sama jalan pikirannya."
"Jadi itu masalahnya? Sebenarnya Aiden udah menceritakan semuanya sama gue. Dan ini sebenarnya salah lo."
Aku menganga kaget. "Apa salah gue?" tanyaku bingung.
"Lo egois, Keira. Andaikan lo mau mendengarkan alasannya untuk menghina lo, semua akan baik-baik saja. Andaikan lo percaya sama perkataan dia kalau dia berusaha yang terbaik untuk lo, lo akan kembali dekat dengannya," ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Alasan dia menghina lo itu mulia. Sayangnya lo sudah dibutakan oleh kemarahan lo sampai tak mau mendengarkannya. Padahal dia mencoba melindungi dan membantu lo. Lo juga harus tau kalau Aiden sebenarnya peduli sama lo. Dia terluka tanpa kehadiran lo," sambungnya.
"Bagimana lo tau? Dia sendiri yang akhir-akhir ini menjauhi gue dan memilih Keila."
"Hidup memang rumit. Tapi gue ngerti perasaannya saat tadi dia bercerita kepada gue. Tatapannya sedih karena lo menjauh, kecewa akibat lo menghinanya, khawatir karena lo sendirian, dan rindu dengan lo, bercampur aduk menjadi satu. Dia khawatir dengan lo, Keira. Gue yakin dia tulus untuk mendekati lo. Dia mencintai lo." Audrey berkata dengan tenang.
"Enggak! Gue dan dia hanya sahabat! Gak lebih gak kurang!"
"Mungkin lo masih trauma setelah banyak orang yang menyakiti lo. Tapi setidaknya berikan Aiden kesempatan untuk meminta maaf."
"Minta maaf mungkin. Tapi maaf, aku tak mempercayai siapapun lagi untuk mencintaiku. Apa gunanya jatuh cinta kalau pada akhirnya aku tersakiti? Untuk apa ada cinta di dunia ini? Aku yakin kalau Aiden hanya menjadikanku pelampiasan karena wajah gue mirip dengan Keila."
"Mengapa lo yakin seperti itu?"tanya Audrey penuh kemengangan. Sepertinay dia memiliki alasan yang kuat untuk membujukku memaafkannya.
"Kemana saja saat gue membutuhkan kehadirannya? Dia tak pernah ada dan memilih Keila yang hubungannya semakin dekat. Keila sendiri yang berkata seperti itu. Gue hanya menjadi pelampiasan. Yang datang, membuat nyaman, dan pergi memilih yang lain. Apa tugas gue di dunia ini menjadi batu loncatan untuk mempertemukan orang sedunia dengan jodohnya masing-masing? Sedangkan aku tak bisa merasakan indahnya cinta itu sendiri!"
"Abaikan dengan Keila. Dia hanya iri. Apakah dia tau masalah lo? Enggak kan? Wajar saja karena lo tertutup dan tak berminiat untuk member-"
"Karena dia menjauh dari gue!" Aku berseru tapi tertahan.
"Percaya ama gue. Dia sayangnya sama lo. Dia menjauh karena salahnya saudara kembar lo itu yang caper terhadapnya. Ayo lah. Dia sudah banyak berjuang untuk lo. Lo gak boleh marah sama orang hanya karena 1 kali kesalahan yang fatal."
Apa yang akan kulakukan? Aku tau ada rasa suka di hatiku setiap melihat Aiden. Tapi aku mencoba menguburkannya karena aku takut sakit hati lagi. Banyak pertanyaan yang ada di pikiranku sekarang. Semua itu soal Aiden.
Apa alasannya dia menghinaku?
Apa dia benar-benar mencintaiku?
Apa aku harus mendekatinya lagi dan bersahabat lagi?
Apa yang harus kulakukan?THANK YOU FOR READING
JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...