Kadang aku tidak mengerti dengan kebahagiaan hidup. Ketika semua orang dapat menyayat hatiku dengan mudah.
Aku mengunyah roti tawarku yang selalu terasa hambar. Kupingku sibuk mendengarkan obrolan orangtuaku yang sedang membicarakan masa depan Keila. Keila! Bukan aku.
"Keila. Hari ini Aiden masuk. Kemaren ibunya meninggal," kataku disela-sela obrolan mereka.
Keila tersedak dan menatapku kaget. Lalu wajahnya kembali datar. "Lo tau dari mana? Gue udah tau. Gue kira gue doang yang tau."
Aku yakin sebenarnya dia berbohong. Dia sebenarnya tidak tahu kabar itu. Aku tahu Aiden orangnya tertutup.
"Gue tau dari Aiden kemaren," jawabku menyindir dan berencana membuatnya jengkel.
"Kok lo bisa tau dari dia? Emang lo kemaren ketemu dia?" tanyanya seakan-akan aku penjahat dan dia polisi.
"Gak. Dia menyuruh gue sebagai orang yang paling dia percaya untuk menemaninya dan menghiburnya," jawabku lagi dengan penuh keangkuhan.
"Oh ya? Masa anak sepertimu bisa dipercaya?" tanya Keila sambil menyindir.
Aku hanya diam tidak menyahut. Emosiku mulai memuncak.
"Lagi pula seharusnya lo gak usah terlalu peduli terhadapnya. Kan masih ada ayahnya yang akan mengurus-"
"Dia anak yatim piatu sekarang!" bentakku.
"Keira! Kamu jangan membentak kakakmu seperti itu! Dia bicara baik-baik sama kamu!" Papa membentakku sambil memukul meja makan membuat semua orang di ruangan ini terkejut.
Apa? Nada menyindir dan hinaan seperti itu bisa dibilang bicara yang baik?
"Sepertinya mama dan papa harus membuka sedikit mata kalian dan telinga kalian agar mama dan papa tau apa yang terjadi. Maaf aku memang kurang ajar dan gak sopan, tapi setidaknya aku gak semunafik Keila!" gerutuku keras lalu berlari ke garasi untuk berangkat ke sekolah.
•••
Bukannya aku segera datang ke kelas, malah aku menghampiri kelasnya Aiden. Aku harap dia sudah datang.
"Aiden!" panggilku saat aku melihat Aiden yang sedang duduk di bangkunya dengan buku pelajaran di tangannya.
Wajahnya mendongak ke arahku. Awalnya wajahnya terlihat lelah dan masih frustasi. Matanya bengkak seperti habis menangis. Saat dia melihatku, dia mencoba tersenyum walau aku yakin dia sebenarnya ingin sekali menuangkan kesedihannya. Aiden segera menghampiriku dengan senyumnya.
"Apa?" tanyanya.
"Enggak. Hanya memastikan lo baik-baik aja. Gimana perasaan lo?" tanyaku khawatir.
"Gak tau. Tadi malem gue gak bisa tidur karena kepikiran terus. Gue kangen sama mereka semua," jawabnya lirih.
"Gue tau lo nangis selama lo tidur. Mengikhlas kepergian seseorang yang kita sayang memang berat. Tapi gue yakin orangtua lo gak bakal senang kalau lo bersedih dan menangis seperti ini," bisikku agar tidak ada yang mendengarkan apa yang aku bicarakan.
Aku tidak mau mempermalukan Aiden dengan cara ini.
"Gue memang anak satu-satunya yang tidak bisa dibanggakan ya. Gue anak malam yang selalu terkait tauran perkelahian dimana-mana yang membuat orangtua gue yang dulunya sibuk kerja sampai menanggung beban yang lebih berat karena gue. Beban mereka ditambah gue yang nakal. Apalagi gue cengeng. Gue gak pantes buat mereka sayang." Aiden menunduk dengan mata yang memerah.
Aku tahu kalau dia menahan tangisnya. Sekuat apa pun lelaki di dunia ini, dia akan tetap menangis karena ditinggal sendirian oleh orangtuanya.
"Jangan nangis Aiden... Lo gak boleh kayak gitu. Senakal-nakalnya orangtua pasti sayang sama anaknya," hiburku pelan.
"Lo jangan ngomong gitu ke gue doang, lo juga harus ngomong gitu ke diri lo sendiri yang juga membutuhkan kata-kata itu," ujar Aiden dengan senyumnya sambil mencolek hidungku membuatku tersadar.
Iya benar juga dengan ucapannya. Apa mama dan papa tetap menyayangiku ketika aku selalu nakal seperti ini?
"Ekhem! Kalian ngobrol apa ya?" tanya Keila ramah dengan senyum imutnya.
"Bukan urusan lo ya..." ujar Aiden sedikit mendorong Keila seperti mengusirnya dengan halus.
"Urusan Keira juga urusan gue." Keila mengibaskan rambutnya dengan akngkuh membuatku ingin sekali mencakarnya.
Ew!
"Tapi ini urusan pribadi dan hanya orang yang gue percaya aja Keila... Keira juga punya urusan pribadi yang tak semua orang harus tau. Gue juga punya beberapa rahasia sangat pribadi yang Keira gak tau dan gue yakin Keira juga begitu," kata Aiden lembut.
Keila cemberut.
"Ya sudah... Gue bisa kok menjadi orang yang lo percaya," jawab Keila tanpa menghilangkan senyumnya.
"Orang yang dipercaya tak bisa dipaksakan."
"Setidaknya lo mencoba untuk memposisikan gue untuk jadi orang yang paling lo percaya!" gerutu Keila dengan tatapan memohon.
"Ok tapi tidak sekarang ya."
Keila pun pergi setelah menatapku sinis. Aku hanya menunduk.
"Jadi lo mau ngomong apa lagi?" tanyaku pelan.
"Makasih bantuan yang sudah lo berikan untuk gue," kata Aiden. Aku mengangguk lalu pergi ke kelas dengan perasaan gelisah. Hanya 1 pertanyaan yang membuatku sangat gelisah.
Apakah Aiden serius untuk membuat Keila menjadi orang yang paling dia percaya?
"Keira! Disitu lo rupanya! Boleh bicara berdua dengan lo?" tanya lelaki itu sambil berlari ke arahku.
Mason...
•••
Aku membuka pintu rumahku dengan tidak semangat. Seperti biasa, Keila sudah ada di rumah. Aku melangkahkan kakiku ke dalam rumah dan saat itu juga aku melihat lelaki yang tak asing duduk di sofa. Sosok yang aku rindukan.
"Kak Devan!!" Aku berteriak ambil menghampirinya dan memeluknya.
"Keira!! Gimana kabar lo?" tanya Kak Devan sambil menyambut pelukanku.
"Baik kak. Kok kakak pulang sekarang?" tanyaku bingung.
"Udah libur... BTW lo masih bandel kayak dulu gak?" Kak Devan meledekku dengan jail. Aku cemberut.
"Masih lah," jawab Keila ikut nimbrung.
"Berisik lo ah!" bentakku.
"Udah sana ganti baju terus ngobrol sama gue," perintah Kak Devan lalu aku berlari ke atas menuju kamarku.
Kak Devan adalah kakakku. Dia sudah kuliah di Australia dan ternyata di pulang. Rupanya dia membuat kejutan untuk keluarganya. Setelah berganti baju, aku mau mengirim pesan untuk Audrey.
Keira : Audrey sepertinya skrng gue gk bisa main ke apartemen lo deh. Soalnya Kak Devan udah pulang.
Audrey : Kak Devan?! Wah! Enak dong! Sana kumpul sama keluarga dulu! Numpung full team!😂 wkwkwk!
Aku duduk di sofa di samping Keila. Sebenarnya aku tidak niat untuk ngobrol di sini. Saking aja kakakku pulang. Aku yakin akan dicuekin seperti biasa. Topik pembicaraan kali ini sebenarnya cerita Kak Devan di sana. Tapi setelah itu mama dan papa menceritakan prestasi yang Keila raih selama 1 tahun ini dengan antusias dan rasa bangga.
"Wah Keila hebat! Keira prestasinya gimana ma?" pujinya lalu bertanya padaku.
"Lupakan lah anak malas itu. Dia hanya bisa maraih ranking ke 20 dari 35 siswa. Bayangkan saja!!" Mama menghinaku.
"Bisakah mama menghilangkan kata 'malas' yang mama sebut tadi? Mama udah tau kalau sebenarnya aku gak jago di bidang konyol pelajaran seperti itu. Kemampuan kita berbeda ma! Jangan membandingkan dengan Keila karena aku unggul di bidang yang juga dia tak bisa. Kenapa mama tidak pernah membandingkan itu? Aku saja terus yang mama anggap jelek dan paling buruk. Seharusnya mama tau kalau aku sudah berusaha!" Aku lelah dengan semuanya.
THANK YOU FOR READING
JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/147347372-288-k922469.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...