43. Fall

2.6K 99 0
                                    

Aku hanya takut kalau aku terjatuh lagi dan terjebak dalam dasar kesedihan tanpa bisa kembali.

Aku terbangun dari tidurku dengan mata yang sangat sulit untuk dibuka. Sayangnya suara alarm yang memekakan telinga membuat aku terpaksa bangun. Dengan segera aku mandi dan segera memakai seragamku. Semuanya aku lakukan seperti biasa. Tapi pikiranku selalui melayang ke hari kemarin. Bukan karena apa-apa. Tapi aku sudah patah hati. Aku tau aku tak bisa menyukai Aiden dan aku berusaha mengubur perasaanku itu sendiri. Tapi rasa sakit itu terus muncul. Memang cinta selalu diiringi sakit hati. Makanya aku tak mau jatuh cinta pada siapapun lagi. Sekarang aku tak peduli walaupun aku tak dapat lelaki. Yang penting hidup damai.

Aku menyisir rambutku dengan pelan dan membiarkan rambutku terurai. Aku menatap diriku di depan cermin. Tetap lebih cantik Keila. Aku tak tau apa yang membuatnya lebih cantik dariku. Padahal wajah kami sama. Aku hanya menatap diriku dalam diam. Aku ingin menjadi Keila. Andaikan aku menjadi Keila, tentram sudah hidupku. Penuh dengan kegembiraan. Bila aku jadi Keila aku akan menolong adik kembaranku sendiri dan berbahagia bersama keluarga. Tak seperti apa yang dilakukannya untukku.

Dengan segera aku mengambil tasku dan segera berlari turun ke bawah. Satu persatu kakiku melangkah menuruni tangga. Tapi tiba-tiba saja ada sesuatu yang basah di telapak kakiku. Aku tersentak dan terpeleset. Aku tak tau bagaimana lagi posisi tubuhku kali ini. Yang jelas aku merasakan seluruh tubuhku sakit.

"Aghh!!" teriakku reflek karena aku terjatuh.

Tak lama kemudian ada langkah kaki yang mendekat dan menolongku untuk bangun.

"Kamu kok bisa kepleset Keira? Kamu ini ada ada aja! Bagaimana bisa?" tanya mama khawatir.

"Aku gak tau ma. Ada yang licin di tangga," rintihku.

Aku mengusap kepalaku dengan pelan, berharap rasa sakit itu segera hilang. Tapi yang aku rasakan bukan lah rasa sakit yang berkurang. Tapi benjolan berair yang ada di dahiku.

"Ma. Kepalaku berdarah?" tanyaku panik.

"Waduh! Kamu benjol besar. Sini mama obatin," seru mama dan menarikku ke sofa dengan panik. Rasa sakit itu masih terasa disekujur tubuhku. Kenapa aku bisa begitu ceroboh? Hal ini membuatku benci dengan diriku sendiri!

"Wow! Ada apa ini?" tanya papa sambil menghampiriku dan mengecek dahiku.

"Kepleset di tangga. Gak tau kenapa," jawabku jengkel.

"Wah sepertinya ada yang ceroboh. Makanya jalan pake mata," ketus Keila yang baru saja datang.

Aku mendengus kesal. Dia selalu menyindirku dengan bahasa ketusnya. "Ya ya ya gue tau."

"Pagi pagi jangan berantem. Ntar dahi lo tambah sakit," kata Kak Devan lalu duduk di sebelahku.

Mama mulai mengolesi obat pada permukaan dahiku dengan perlahan. Detik itu juga rasa perih aku rasakan membuatku meringis. "Tahan. Ini memang perih tapi ini bisa nyembuhin dahi kamu yang sudah kayak ikan jenong." Mama mencoba menghiburku.

Aku cemberut mendengar mama menyebutku ikan jenong.

"Apa sih ma? Aku gak sebodoh mereka."

"Sepertinya kamu tidak bisa sekolah dulu. Kamu bisa pusing, Keira. Lebih baik besok aja sekolahnya dan sekarang istirahat dulu," perintah papa.

Aku menggeleng tegas.

"Gak mau! Aku mau sekolah sekarang. Ulangan MTKku hari ini dibagiin pa." Aku memohon.

"Sama saja, Keira. Kalau ke sekolah kamu juga akan diam di UKS atau tidak pulang duluan. Lagi pula kamu bisa minta tolong Vania untuk memberi tau nilai ulangan," larang mama membela papa.

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang