Janganlah meneteskan air mata indahmu dihadapanku. Karena itu membuatku menjadi sangat lemah. _Aiden
Sadar akan diperhatikanku, dia menatapku dengan pandangan yang lesu seperti dia akan menyerah dalam hidupnya. Aku hanya terdiam seakan akan tidak percaya dengan orang yang ada di hadapanku.
"Aiden?" Aku menghampirinya dan disusul Audrey.
Aku segera duduk di sebelahnya. Mukanya terlihat pucat dan rambutnya acak-acakan. Badannya lemas dan matanya terlihat sayup dan memerah tanpa ada semangat yang membara. Dia frustasi. Apakah dia sakit atau apa?
"Ada apa Aiden?" tanyaku panik sambil menatapnya khawatir.
"Keira, lo ngapain ke sini? Lo sakit?" Bukannya menjawab pertanyaanku malah dia khawatir denganku.
"Enggak! Lo harus jawab pertanyaan gue. Ada apa?" tanyaku sambil manahan tetesan air mataku. Aku tak tega melihat Aiden seperti ini. Dia sahabat gue. Gue harus ada di sampingnya saat dia susah. Selama ini dia lah yang selalu di sampingku saat susah.
"Lo sakit?" tanyanya sambil menggeleng dengan pelan.
"Dengar, gue gak sakit. Gue cuman nemenin Audrey untuk nengokin sepupunya sakit. Lo kenapa bisa seperti ini? Ada apa?" tanyaku masih panik.
"Awalnya gue mau ke sekolah dan ibu gue masih koma. Terus ada telepon dari RS kalau jari tangannya bergerak sedikit. Tapi tidak ada lagi tanda-tanda kalau dia akan tersadar. Dan barusan saja gue ada kabar kalau kanker otak di ibu gue udah parah jadi... ibu gue..."
Ibunya meninggal?
"Meninggal? Lo harus tabah ya Aiden..." Aku mengusap bahunya mencoba menyemangatinya dan menghiburnya.
Aiden tidak terlihat menangis walau aku tau sebenarnya dia akan menangis saat menerima kenyataan pahit ini yang tak bisa dia terima. Aku yakin dia akan menangis saat dia sendiri. Aku lah yang menahannya untuk menangis dan sudah seharusnya aku membiarkannya sendiri. Tapi... Kasihan Aiden bila sendirian seperti ini.
"Gue gak punya siapa siapa lagi Keira... Ayah gue udah meninggal karena sakit kanker juga. Gue hanya punya lo doang. Temen aja gak ada yang peduli ama gue. Gue udah bilang ke temen gue tapi gue yakin kalau pada ngelaporinnya alfa."
"Gue tau lo kuat Aiden... Gue yakin lo bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Jangan seperti ini," bujukku agar dia baik-baik saja.
"Gue sepertinya kena kanker juga. Orangtua gue semua kena kanker dan bentar lagi gue akan kena kanker ke semua bagian." Aiden berkata sembarangan membuatku geram.
"Enggak! Jangan ngomong begitu!" bentakku.
"Itu emang kenyataan! Gue udah kena kanker hati!" teriak Aiden sambil menjambak rambutnya sendiri.
Aku ternganga.
"Tapi lo harus bisa melawannya! Lo gak boleh ngomong gitu. Jangan nyerah. Lo dah janji kalau lo ngelindungi gue dari siapa pun yang nyakitin gue." bujukku lirih dengan linangan air mata yang mulai membasahi pipiku.
Aiden segera menghapus air mataku dengan senyumnya yang mengembang.
"Jangan nangis. Gue merasa tambah sedih kalau lo juga nangis."
Aku mengangguk. "Makanya jangan seperti itu. Aiden... Lo harus ikut bareng sama kita untuk nyari makan."
"Enggak ah!" jawab Aiden membuang muka.
"Gak boleh! Gue gak mau kehilangan lo cuman gara-gara lo gak makan selama ini. Ibu lo juga bakal sedih kalau liat lo jadi frustasi kayak gini. Gue yakin lo belom makan hari ini! Ayo ikut. Audrey juga memperbolehkan lo ikut." Aku menarik lengannya dengan paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...