49. This is The Time

2.9K 99 6
                                    

Aku selalu menunggu waktu untuk menjawab pertanyaan yang aku belum jawab.

Di sinilah aku. Sudah mengalami arti pahitnya hidup yang aku alami. Dan semua itu sama dengan mimpiku. Walaupun aku sudah mengetahui masa depanku, aku tidak mengubahnya sedikit pun. Aku takut kalau berubah akan berdampak buruk. Waktu sudah kualami. Menunggu akhir dari jalan mimpiku, dan di sinilah waktuku. Saatnya memberikan jawaban di hadapannya. Duduk di hadapannya sangatlah sulit.

"Keira. Gue mau ngomong sama lo tentang perasaan yang gue pendam selama ini," kata Aiden serius.

Aku sudah bisa menebaknya.

"Gue cinta sama lo. Gak tau bagaimana tapi gue sayang dan peduli sama lo. Hanya cinta yang buat gue bertahan untuk melindungi dan memperjuangkan lo. Hanya cinta dan kasih sayang yang membuatku takut kehilangan. Lo mau gak jadi pacar gue?"

Dan sekarang saatnya aku menjawab pertanyaan yang belum aku jawab dalam mimpiku itu. Ini adalah kebahagiaan sesungguhnya.

"Ya, gue juga cinta sama lo." Berhasil! Aku berhasil mengungkapkannya.

Mungkin inilah sambungan cerita mimpiku. Jika mimpi itu berlanjut, aku akan menjawab ya.

"Sekarang lo milik gue."

Aiden bangkit dari duduknya lalu mengulurkan tangannya untukku. Dengan rasa kebahagiaan yang meliputi hatiku, aku menerima uluran tangannya. Aku yakin ini pilihan yang tepat. Dia lah yang membuat hidupku menjadi lebih berwarna. Dia lah alasanku bisa beretahan sampai detik ini. Aiden menggandengku keluar kelas menyusuri lorong kelas.

Ini adalah lanjutan kisah dalam mimpiku.

"Sejak kapan lo suka sama gue?" tanyaku berbasa-basi.

"Sejak gue bertemu lo di rumah Will. Gue tau lo berbeda dari cewek lain. Lo cewek tegar, Keira. Untungnya lo merasakan perasaan yang sama gue, jadi... Ini adalah kebahagiaan tersendiri buat gue." Aiden menatapku dengan lembut.

"Gue gak tau lagi bagaimana. Lo baik banget sama gue. Lo segalanya buat gue. Kalau gak ada lo, semua gak akan berubah. Gue akan selalu terjebak di dalam kesulitan tanpa ada yang memberikanku harapan. Andaikan saja lo gak datang saat Keila ingin melenyapkan gue, gue sudah masuk rumah sakit dan bahkan bisa meninggal. You are my life saver."

Hujan deras masih turun dan aku urung untuk pulang. Aku takut bila aku kecelakaan atau hal buruk lainnya. Lebih baik menunggu saja. "Gue akan sebisa mungkin ngelindungi lo. Gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang. Cukup mama dan papa gue yang pergi."

Hanya ada hujan yang menyaksikan kejadian ini. Dimana aku merasakan kebahagiaan kedua. Hanya dialah alasannya. Alasanku bahagia. Dialah penyebab perubahan hidupku ini. Berubah menjadi lebih baik. Semua mimpi burukku hilang selamanya.

"Maaf akhir-akhir ini gue main sama Keila. Awalnya memang dialah yang nguber gue. Tapi semenjak lo marah sama gue, gue jadi lebih sering bersama Keila. Gue tau ini salah. Tapi gue ngebayangin Keila itu lo."

"Benarkah? Lo ngebayangin dia itu gue?" tanyaku senang.

"Ya. Bagaimana pun hanya rasa kangen setiap gue liat Keila. Gue sadar, gue ngebayangin orang lain. Bayangan itu lo. Tiap hari gue ngintip untuk liat lo. Diem-diem agar lo gak tau. Memang rasanya sulit saat lo melihat orang yang lo sayang ada di hadapan lo tapi sulit untuk diraih. Itu yang gue rasakan," ceritanya.

"Gue juga sama. Rasa rindu untuk ngobrol dan bersama lo lagi terasa mustahil setiap gue melihat tatapan lo yang dingin. Gue pengen banget bilang minta maaf ke lo dan memohon untuk kembali seperti dulu. Gue awalnya cemburu lo sama Keila. Tapi... yang penting sekarang lo udah milik gue dan sekarang gue akan bersama lo lagi. Gak ada kata rindu lagi yang perlu diucapkan." Aku berkata dengan tulus.

"Maafkan kesalahan gue saat itu. Gue membenci diri gue sendiri setelah lo bilang kalau lo rindu gue di motor. Saat kita berangkat sekolah. Ingin sekali gue mengatakannya juga. Tapi keadaan mendesakku. Gue hanya takut keadaan semakin memburuk. Gue takut kalau gue berkata begitu, lo semakin menjauh dari gue. Gue memang pengecut ya... Cowok gak guna!" Aiden tersenyum miris.

"Gak apa-apa Aiden. Semua sudah kita lewati. Jangan seperti itu."

"Hanya lo yang bisa buat gue merasa lemah," lirihnya.

Aku terkekeh. "Aiden. Tau gak? Ada hal aneh dalam hidup gue."

"Apa?" tanyanya.

"Beberapa bulan yang lalu, gue mimpi. Mimpi kalau lo berantem sama Mason, ke kantor polisi, dan balapan. Dan berlanjut sampai lo nembak gue tadi. Yang aneh adalah... Kejadian di mimpi gue sama persis dengan kejadian ini. Kejadian di kehidupan nyata. Dialog sama. Percakapan sama. Waktu sama. Gue gak berani mengubahnya. Bisa saja dapat berakibat fatal. Mimpi itu berhenti saat lo nembak gue tapi saat gue mau jawab, gue kebangun. Mimpi itu terasa sangat nyata. Dan... Mimpi itu terjadi di kehidupan nyata ini."

"Apa? Dari awal kita bertemu di polisi sampe hari ini?" tanya Aiden yang kebingungan.

"Gue tau ini aneh dan sulit dipercaya. Tapi emang itu kenyataanya. Gue juga awalnya bingung."

"Lo berarti udah tau apapun yang terjadi setelah gue menjelaskan semuanya pada lo?" tanyanya.

"Iya. Gue tau semuanya. Dan anehnya, lo menjelaskan hal yang sama dengan kata-kata yang persis. Aneh."

"Ya sudah. Mungkin kebetulan saja, atau bisa saja Tuhan memberikan petunjuk pada lo. Setidaknya lo gak kaget lagi saat Keila ternyata terkena gangguan jiwa dan akan membunuh lo," candanya.

Aku mengangguk.

"Oh ya, lo di rumah masih sendiri? Duit dari om lo cukup gak? Kalau lo kurang, gue bersedia membantu. Banyak sekali kabaikan lo yang harus gue balas," tanyaku.

"Tenang. 1 minggu yang lalu, om gue tinggal sama gue. Maaf gue gak ngabarin lo. Saat itu, gue lagi marahan sama lo," kekeh Aiden.

"Marahan? Lo anak TK yang rebutan mainan?"

"Ya. Tapi bukan mainan," bantahnya.

"Terus apa?"

"Ngerebut hati kamu," gombal Aiden jail sambil mencubit pipiku pelan.

"Aiden ih!!!" teriakku malu.

Aku yakin pipiku sekarang memerah akibat kejailannya ini. Dia memang selalu bisa membuatku senang, tertawa, biungung, dan sedih. Hanya dialah semua alasan yang aku miliki. Tiba-tiba dia terbatuk. Lalu mengusap telapak tangannya. Dia kedinginan.

"Lo gak apa apa Aiden?" Dan mengenai kesehatan aku baru ingat dengan kanker.

"Bagaimana dengan kankernya?" tanyaku lagi.

"Sepertinya gue lupa memberi tahu berita terbaru. Gue udah sembuh! Syukurlah."

"Wah! Syukurlah lo udah sehat," seruku senang. Orang yang aku sayang sudah sembuh total.

"Yuk pulang. Ujan udah reda. Hati-hati ya," ajak Aiden lalu berjalan bersisan denganku menuju tempat parkir. Menerobos rintikan hujan yang mulai mereda.

Hujan ini adalah saksi bisu kebersamaan kami. Dinginnya hujan tak lagi terasa bagiku, karena hatiku searang sedang menghangat akibat hati Aiden yang ternyata memilihku. Dia telah mempercayaiku untuk menyerahkan hatinya sepenuhnya padaku. Dan aku harus bertanggung jawab menjaganya. Hati itu bagaikan kaca yang mudah pecah. Harus dipegang secara hati-hati. Jangan sampai hatinya hancur karena aku tak bertanggung jawab menjaganya.

THANK YOU FOR READING

JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang