Aku rela melakukan hal yang paling aku benci asalkan aku bisa beralama-lama denganmu.
Aku segera buru-buru menyalin PR fisika yang aku belum kerjakan. "Lo ini selalu saja lupa dengan PR yang harsunya lo kerjain di rumah," omel Vania yang melihatku menyalin PRnya.
"Gak ada waktu," jawabku membela diri. "Gak sempet karena main kan?" tanya Vania menyindir. Aku hanya terkekeh.
"Otak gue gak seencer Keila yang sekali dijelasin lagsung ngerti. Kalau ngejelasin otak gue mah harus 1 abad," keluhku dan mengakui kelemahan otakku.
Vania hanya menggelengkan kepalanya mendengarkan ucapanku. "Tapi jangan sampai lupa juga Keira. Gemes deh pen gue lempar pake galon."
"Lempar aja," tantangku.
"Gue laper nih. Lagian bukannya dari pagi nyalinnya, kenapa pas istirahat segala sih?" Vania tak henti-hentinya mengeluh. Sayangnya aku hanya sibuk menyalin PRnya.
Tak lama kemudian, aku pun selesai dan kami segera menuju kantin. Di lorong, Vania sedari tadi tetap mengomel karena kelaparan. Memang dia tak bisa mengendalikan emosinya kalau sedang lapar. Kalau seperti ini, ujung-ujungnya, aku mentraktirnya.
Aku memakan baksoku secara perlahan. Kalau tidak mulutku akan mengeluarkan api karena kepanasan.
"Lo tau gossip yang beredar lagi gak?" tanya Vania. "Apa?" tanyaku kepo.
"Katanya William ketahuan polisi kalau dia akan balapan liar. Terus di sana juga ada cewek yang kebetulan mau ngembaliin buku William. Itu bukan lo kan? Gue takut lo kenapa-napa," cerita Vania khawatir.
Aku tertegun. Aku harus jawab apa? Kalau aku jawab jujur, pasti dia akan mengomel panjang lebar kepadaku.
"Itu bukan gue. Santai saja," jawabku mencoba rileks. Kebohongan untuk kebaikan apakah bermasalah? Tentunya, boong tetaplah bohong.
"Terus katanya polisi yang nangkep tuh omnya Aiden," katanya lagi dengan antusias.
Apa? Omnya Aiden? Jadi Pak Polisi yang kemarin tuh omnya? Pantas saja dia terlihat sudah mengenal satu sama lain.
"Omnya?! Serius?!" tanyaku panik. "Iya. Jadi ceritanya si Aiden ke sana tapi dia ngelaporin ke polisi." ujar Vania.
Aku mengangguk. Andaikan dia tahu kalau aku sudah terlibat dalam hal itu. Mungkin dia sudah sakit jantung akibat kaget mendengarnya. Entah apa yang membuat Vania mengetahui semua berita yang tersebar di sekolah. Pokoknya dia tidak pernah ketinggalan berita hot.
"Lo tetanggaan kan sama Aiden. Aiden tuh orangnya gimana ya?" tanyaku kepo.
"Ngapain lo kepo tentang Aiden? Jangan! Dia berbahaya. Kalau lo ada salah bicara lo bisa mati karenanya," gerutu Vania berbisik.
"Gue hanya pengen tau aja. Dia aja gak kenal sama gue," Aku menjawab dengan malas. Baru saja aku bertanya tentang sedikit informasi mengenai Aiden, Vania sudah naik darah. Apalagi kalau dia tahu kalau aku ikut balapan gila bersama lelaki itu. Sebenci itukah dia kepada Aiden?
"Gak tau. Gue gak memperhatikan rutinitas dia. Gue gak mau terlibat. Katanya sih motor Aiden yang sering dia bawa ke sekolah belum ada yang pernah naikin kecuali dia. Dia gak pernah bonceng siapa-siapa. Mungkin karena takut dibunuh dan diculik," Vania menjelaskan dengan waspada.
Tidak ada? Aku pernah menaikinya. Bahkan aku pernah merasakan motor itu tanpa ada batas kecepatan.
"Keira!" panggil seseoarang dan segera duduk di sampingku.
"Mason? Kenapa?" tanyaku lembut.
"Nanti lo mau gak temenin gue ke toko buku? Nanti gue jemput jam 5. Soalnya gue mau nyari buku MTK," ajak Mason dengan senyuman yang membuatku tak sadarkan diri.
![](https://img.wattpad.com/cover/147347372-288-k922469.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...