25. Family Time

2.9K 111 0
                                    

Keinginanku hanyalah satu. Aku hanya ingin dianggap sebagai bagian dari keluargaku sendiri.

"Keira. Hari ini kamu bebas mau kemana aja boleh. Tapi hanya sampai malam ya," ujar mama saat sarapan.

Aku tersedak. Aku tak menyangka mama akan memberikanku kebebasan. Aku memang merasa bebas, tapi pulangnya selalu saja disambut dingin. Kali ini, dia membiarkanku? Sungguh! Ini seperti tak mungkin.

"Serius ma?!" tanyaku dengan gembira.

"Ya tentu. Hari ini kan ulang tahun pernikahan mama dan papa dan lo mungkin dikasi kebebasan untuk hari ini," jawab Keila cuek.

"Makasih ma!" teriakku senang. Tentunya setelah sarapan aku langsung chat Audrey untuk ke apartemennya.

Keira : Lo sibuk gk? Gue mau ke sana nih.

Audrey : Gk kok. Sini!

Keira : Gue otw

Aku langsung OTW ke apartemen Audrey. Aku sangat senang bisa main ke sana setelah sekian lama Audrey sibuk. "Hi Keira! Tumben bisa datang jam 9 pagi. Ada apa?"

"Gak tau. Tiba-tiba aja mama ngasih gue kebebasan dari pagi sampe malem. Mungkin karena hari ini ulang tahun pernikahan mama sama papa."

"Asik tuh! Numpung boleh, kita jalan jalan yuk! Ajak siapa kek gitu. Ajak Vania atau Mason. Aiden juag boleh biar tambah seru," ajak Audrey.

Aku menggeleng tegas. "Tak boleh ada Vania dan Mason," ketusku.

"Ada apa? Gue ketinggalan berita," candanya.

Tapi karena aku terlihat serius dia langsung siap mendengarkan ceritaku. "Jadi lo mau ngajak Aiden aja?"

"Gue gak mau ngajak siapa-siapa kalau lo juga gak ngajak temen lo."

"Gue mau ajak Syifa aja ya. Biar lo kenalan sama temen deket gue di sekolah," ujarnya.

"Ok gue bilang Aiden dulu." Aku mengambil hpku yang aku simpan di dalam tas.

Keira : Aiden!

Keira : P

Keira : P

Keira : Yuuuhuuu! Audrey ngajak gue jalan, dan gue mau ngajak lo. Ke mall like always. Lo ikut gk?

Aiden : Mang gue boleh?

Keira : Boleh... Emang ini mau ngajak temen-temen gitu. Tapi lo cowok sendiri gpp?

Aiden : Ok gk ngaruh cowok sendiri juga. Ntar gue paling ganteng di sana wkwk. Kumpul dimana?

Keira : Lobby mall.

•••

Aku berjalan bersama Audrey, Shifa, dan Aiden ke lobby dimana sopir taxi sudah menunggu kita. "Kalian mau kemana?" tanya sopir itu.

"Tunggu, ke rumah siapa dulu nih yang paling deket?" tanyaku.

"Syifa dulu."

Lalu Syifa menunjukan jalan menuju rumahnya.

Aku hanya sibuk dengan kaki yang aku luruskan. Setengah hari aku berada di mall dan kakiku sangat pegal. Seakan akan sendiku akan terlepas. Setelah Syifa pulang, giliran akulah yang diantar pulang. Tapi saat sudah mau sampai di rumah, mobilku yang biasa berada di dalam rumah, berada di luar.

"Berhenti di belakang mobil itu pak. Tapi agak jauhan," perintahku dan sopir taxi segera menurut.

Mobil taxi ini berhenti agak jauh di belakang mobilku. Biarkan aku mengawasi mereka dari kejauhan.

"Lo mau pergi? Kemana?" tanya Aiden.

"Gue gak tau. Mereka gak bilang."

Aku membuka jendela yang berada di sampingku untuk mendengar percakapan mereka.

"Memang kita mau kemana sih pa?" tanya Keila.

"Makan di restoran yang mewah. Kamu pasti akan suka," jawab papa sambil membelai rambut Keila dengan lembut.

"Keira mana ma? Kok belom pulang? Emang dia gk ikut?" tanya Kak Devan.

"Gak perlu. Dia akan lebih senang jalan-jalan dengan pergaulan yang nyelonoh itu."

Walaupun terdengar sayup-sayup, aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Gimana Keira? Lo mau pulang?" tanya Audrey. Raut khawatir memenuhi wajahnya.

"Keira, lo sama gue aja ya? Kita ke cafe," bujuk Aiden.

"Antar ke apartemen pak," perintah Aiden dan taxi mulai melaju lembut untuk mengantar Audrey.

•••

"Kenapa mereka gak ngajak gue ya? Apa gue gak dianggep sama keluarga gue sendiri?" tanyaku lirih.

Sedari tadi Aiden hanya menatapku cemas.

"Tenanglah. Semua akan baik baik saja," jawab Aiden sambil meminum susu hangatnya.

"Ya bagaimana? Gue pengen menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka semua. Tapi, gue gak pernah bisa begitu. Hanya Keila dan Kak Devan yang bisa," lirihku.

"Gue yakin suatu saat mereka akan bahagia karena lo. Gue akan membantu buat meyakinakan kalau lo gak seburuk yang mereka pikirkan. Agar hubungan lo dengan mereka bisa seperti dulu."

"Enggak usah. Lo udah membantu gue banyak," tolakku halus.

"Gak masalah. Gue kan tulus bantuin lo."

"Bukan masalah itu. Liat hidup lo. Hidup lo juga banyak kenyataan pahit yang lo harus terima."

"Ya tapi lo ngalamain ini sudah lebih dari 1 tahun dan harus dihentikan." Aiden berkata tegas.

"Gue baik-baik aja. Lo gak usah khawatir."

"Lo bisa gila!" Nada suara Aiden meninggi.

"Kalau ini berlanjut terus lo bisa gila dan depresi. Mental lo memang kuat, tapi sekuat apapun mental yang lo miliki, akan tetap ancur ketika keluarga lo sendiri menghina lo. Biarkan gue membantu lo. Gue gak mau kehilangan sahabat gue kedua kalinya. Gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang setelah beberapa kali," katanya lembut.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil menggigit bibir bawahku.

"Dulu gue punya sahabat. Namanya Nick. Ibunya sudah meninggal karena kecelakaan saat dia kelas 5 SD. Dan sejak itu, ayahnya stress dan pulang dengan keadaan mabuk akibat akohol. Emosi yang tak terkendali membuatnya kena pukulan dari tangan ayahnya. Dia menjadi gila dan depresi. Ketakutan dimana mana membuatnya tersiksa. Akibtanya dia... meninggal. Tanpa mengucapkan salam perpisahan," cerita Aiden dengan mata memerah menahan tangis.

"Makanya itu gue akan berusaha untuk ngelindungi lo dari masalah apa pun. Gue akan membantu lo untuk mengeratkan hubungan lo dengan mereka kembali. Karena orang terdekat gue yang sangat gue sayangi semuanya telah pergi. Dan sekarang gue hanya punya lo. Satu satunya."

"Ma-makasih. Maaf udah buat lo mengingat masa masa yang sulit," ucapku merasa bersalah.

"Izinin gue bantu lo. Melihat lo bahagia, gue udah bahagia. Gue mungkin bukan orangtua, keluarga, atau saudra lo yang tak berhak seperti ini. Tapi gue gak bisa tinggal diam saat lo menangis. Biarkan gue yang mendorongmu dari bawah dan menjadi pondasi yang kuat sampai semua orang menatap lo kagum. Karena kita gak tahu rencana Tuhan. Bisa saja dia mengambil nyawa orang-orang sekitar lo pada detik selanjutnya."

"Makasih Aiden..." Aku meneteskan air mataku.

"Jangan nangis."

"Ini bukanlah nagis karena kesedihan Aiden. Gue nangis karena usaha lo yang benar-benar setia menemani gue setiap ada kabar gembira atau sedih." Isakku.

Aiden tersenyum lembut. "Ini sudah menjadi kewajiban gue untuk membuat lo bahagia. Dan sekaligus hak gue ketika ngeliat lo bahagia."

THANK YOU FOR READING

JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang