Kamu selalu tahu kapan aku membutuhkanmu.
Tiba-tiba hentakan keras membuat genggam dia terlepas. Detik itu juga badanku terdorong ke bawah sinar lampu jalan. Aku segera mengamati apa yang terjadi.
Siluet hitam menghajar semua lelaki mabuk itu dengan gesit. Penerangan yang kurang membuatku tidak tau siapa orang itu. Tapi sebaiknya aku tetap waspada. Aku tidak tau dia berada di pihak mana. Atau dia tidak memihak siapa pun dan aku juga dihajar olehnya? Siluet itu membuat semua lelaki itu babak belur. Kadang salah satu dari mereka membalas menghajarnya tapi sepertinya tidak pengaruh.
Otakku menyuruhku pergi secepatnya tapi hatiku menyuruhku diam di tempat untuk melihat siapa siluet itu. Dan aku berdiri mematung di bawah cahaya malam.
"Kabur! Kabur!" perintah salah satu dari mereka dan mereka segera melarikan diri dengan sempoyongan.
"Jangan nyakitin cewek gue! Dasar cowok mabok!" teriak siluet itu.
Suaranya seperti tidak saing di telingaku. Siluet itu menatapku dan mengahampiriku dalam diam. Jantung berdebar sangat kencang takut dia juga menghajarku.
"Keira. Lo baik baik saja?" tanyanya di bawah sinar lampu jalan yang sama denganku. Wajahnya terlihat dan eskpresinya khawatir dan dia berada di depanku.
"A-Aiden?"
"Ya ini gue," Jawab Aiden.
Aku enggak percaya kalau itu dia. "Makasih udah nyelamatin gue. Kok lo bisa di sini?" tanyaku.
"Gue kebetulan lewat terus gue negedenger teriakan lo. Ngapain malem-malem lo masih di sini?"
"Gue pulang dari apartemen temen. Lo sendiri kenapa baru pulang jam segini? Ini sudah jam 12 malem."
"Ibu gue dirawat di rumah sakit. Tadi dia mendadak pingsan. Sepertinya dia koma." Dia terlihat sedikit kacau. Wajah lelah dan frustasi terbesit di wajahnya. Aku tahu kalau dia memiliki masalah sekarang. Dan itu menyangkut ibunya.
"Lo udah makan? Gue yakin lo capek nungguin ibu lo di rumah sakit," tanyaku.
"Belom. Paling gue di rumah masak mie."
"Gak perlu. Ini gue bawa nasi goreng yang tadi sempet gue buat. Bawa aja nih." Aku menawarkan kotak makan yang aku bawa.
"Wah! Makasih ya Keira!" seru Aiden dengan senang sambil menerimanya.
Aku menatapnya dengan senang. Apa ini namanya kebahagiaan tersendiri akibat menolong teman yang memang benar-benar membutuhkan pertolonganku? Tapi pandanganku teralihkan dengan cairan merah yang keluar dari sudut bibirnya membuatku panik.
"Aiden! Bibir lo berdarah!!!" teriakku panik.
Dengan santai dia menyekanya.
"Udah biasa. Ayo gue anter pulang. Walau gue tau lo gak suka pulang lebih cepat, tapi gue gak mau lo terluka atau pun terkena masalah. Kalau enggak, gue berbohong lagi kalau lo adalah cewek gue." Aku tertawa.
"Salah sendiri pake acara bohong," candaku sambil mengikuti langkahnya menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan.
Angin malam menerpa kulit dengan kencang. Deru motor Aiden membuat suasan sepi menjadi ramai. Tidak ada obrolan dengan Aiden selama dia mengantarku pulang. Pikiranku sibuk dengan khayalanku. Aku beharap kalau yang menolongku bukan lah Aiden. Tapi aku sangat ingin kalau yang menolongku adalah Mason. Andaikan dia tau perasaanku terhadapnya.
Tak lama kemudian motor berhenti dan aku sudah berada di depan rumahku. Bukannya turun aku tetap duduk di motornya Aiden sambil menatap rumah yang terasa asing.
![](https://img.wattpad.com/cover/147347372-288-k922469.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...