Air mataku mengalir saat aku menyadari bahwa dia ingin melenyapkanku dari dunia ini.
Aku turun dari motor Aiden lalu menatap matanya lamat-lamat. Aku hanya ingin tau segudang perasaan yang dia rasakan kepadaku. Marah? Kesal? Atau gimana?
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanyanya.
"Gue mau tau perasaan lo kepada gue. Kadang lo marah, kadang lo lembut, dan bahkan peduli sama gue. Apa maksudnya?"
Aiden hanya menunduk dan terdiam. "Lo marah sama gue?" tanyanya sambil menatapku nanar.
"Iya gue marah. Tapi gak cukup untuk menghilangkan rasa rindu gue." bisikku dan membuat Aiden hanya diam menatapku tak bergeming.
"Ya sudah. Gue pulang dulu." Aiden melajukan motornya meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan yang belum terjawab.
Mengucapkan kalimat itu tidaklah mudah dalam suasana canggung seperti itu. Aku menatap Aiden yang sudah mulai menjauh sampai hilang dari pandanganku. Ada rasa kecewa yang terbesit dari hatiku. Aiden tidak ingin dekat denganku lagi. Itu lah kenyataannya. Kalau dia ingin dekat denganku lagi, seharusnya Aiden sudah membicarakannya sedari tadi. Apalagi aku sudah memancing untuk membahas topik itu. Membahas kenapa kita semakin menjauh.
Sebenarnya hal inilah yang aku harapkan. Aku berharap bisa menjauh darinya dan melupakannya. Menghilangkan rasa cinta yang semakin hari semakin tumbuh seiring rasa rindu. Tapi secara perlahan tapi pasti rasa cinta itu akan mati tanpa kehadiran dirinya. Tentunya aku senang akan hal itu. Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak mencintai lelaki sembarangan. Walaupun hatiku sekarang sedang menolak janjiku sendiri.
Kalau dilihat dari memori bersama Aiden, aku jadi ragu untuk melupakannya dan menganggap bahwa dia sama dengan lelaki lain. Memanfaatkanku. Dia berbeda dari lelaki lain. Dia selalu ada di saat aku susah dan berjanji untuk membantuku. Tapi dia sekarang menjauh membuatku yakin kalau Aiden adalah cowok kurang ajar. Sama seperti yang lain. Meninggalkanku dengan 1000 janji yang belum dia tepati. Hanya masalah kecil yang rumit tanpa aku mengerti apa yang membuat ini terjadi.
Tiba-tiba ada suara pintu yang dibuka membuat lamunanku buyar.
"Kamu udah nyampe?" sapa papa. Mama dan papa mengenakan pakaian yang rapi. Sepertinya mereka akan pergi ke suau tempat.
"Mau kemana pa?" tanyaku bingung.
"Mau ke Tante Silvya. Dia baru saja lahiran tadi pagi. Anaknya cewek! Lucu banget deh dari foto. Kamu yang pinter ya di rumah sama Keila. Kalau bisa belajar. Mama gak mau nilai kamu turun lagi padahal ulangan MTK sebelumnya kamu dapat 85. Hati-hati ya. Jangan bertengkar terus." Mama memberitahu.
"Kak Devan emang kemana ma?"
"Reunian SMA. Oh ya Kak Devan harus balik kuliah tanggal 19 bulan depan," jawabnya lalu masuk ke mobil.
Dengan malas aku masuk ke dalam rumahku. Kenapa aku harus berdua dengannya? Tentunya tidak akan ada yang mengalihkan atau memisahkan kita saat bertengkar. Semoga saja tidak bertengkar. Dengan langkah gontai aku melewati Keila yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aku berencana tidak memedulikannya dan memilih masuk ke kamar dan menutup diri. Tentunya aku tak mau berurusan dengan Keila yang selalu ribet.
Aku berganti baju dan segera duduk di tepi kasur. Baru saja tak bertemu beberapa jam, aku sudah merindukan kasurku. Memang kasur adalah tempat paling nyaman sedunia. Mataku melirik rak buku yang tertempel di dinding kamar. Kapan aku mau belajar? Ah! Nanti saja. 30 menit lagi aku akan belajar dan sekarang aku memutuskan untuk mengistirahatkan diri. Bukan karena soal pelajaran. Tapi karena soal waktu. Waktu yang berlalu sangat cepat mengubah semuanya.
BRAK!
Aku terlonjak kaget dan segera bangkit berdiri. Rupanya Keila yang membuka pintu kamarku dengan kasar.
Ah sial! Aku lupa mengunci kamarku!
"Biasa aja dong! Jangan buat kaget orang! Dasar cewek kasar!" gerutuku.
Keila hanya tersenyum licik lalu menutup pintu kamarku dengan satu tangan yang dia sembunyikan di belakang punggungnya.
"Sepertinya kita benar-benar sendiri. Tak ada orangtua, tak ada kakak. Mereka semua terlalu mengatur. Dan ini adalah kesempatan emas!" Senyuman jahat muncul di wajahnya.
"Kesempatan emas apa?" tanyaku tanpa curiga.
Keila menedekatiku dan sekarang dia berada tepat di depanku. Lalu dia menunjukan pisau yang ternyata di pegang di tangan kanannya. Aku tersentak tak percaya. Aku melangkah mundur dengan perlahan. Seperti yang kuduga, Keila mengikuti kemana aku bergerak.
"Mau lo apa?" tanyaku dengan suara tercekat.
Aku gemetar saat dia menempelkan pisau itu ke perutku. Satu goresan saja aku akan terluka. Aku tak berani bergerak. Takutnya akulah yang melukai diriku sendiri. Aku terus menempelkan diri ke tembok. Sayangnya tak berpengaruh. Aku terjebak diapit tembok dan Keila yang membuatku sama sekali tak bisa berkutik. Rasa takut seketika menjalar di seluruh tubuhku.
"Jangan berteriak meminta tolong, atau enggak lo akan luka!" ancamnya.
Keberanianku hilang dalam sekejap. "Bukannya tetep aja gue luka juga?"
"Tergantung. Kalau lo masih nyebelin gue tetep aja lo," jawabnya.
"Keila, lo sadar gak sih kalau lo mau ngebunuh orang yang berdampingan dalam perut mama lo? Lo sadar gak sih mau ngebunuh orang yang mirip sama lo? Salah gue apa sampe lo sekesel ini sama gue?" tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Gue sadar dan memang itu tujuan gue. Gue gak suka lo sekarang caper sama orangtua gue. Lalu gue gak suka lo pamer dengan gambar yang buruk lo itu. Dan yang terakhir adalah, gue gak suka lo deket sama Aiden!" tegas Keila.
Aku menghela nafas. Aku berusaha untuk tenang menghadapinya.
"Untuk apa lo iri sama orang yang lebih rendah sama lo? Lo pinter, cantik, famous. Untuk apa lo ingin menjadi gue? Mama papa lo, juga orangtua gue. Gue gak pamer Keila, lo juga pinter tapi di bidang yang berbeda. Kalau lo suka sama Aiden gak gini caranya. Kalau gue mati dia gak akan mau juga sama lo."
"Berisik! Jangan sampai gue berubah pikiran dari nyakitin lo, menjadi melenyapkan lo!" bentaknya.
Sejak kapan dia berubah menjadi psikopat seperti ini?
"Kalau lo ngebunuh gue, lo bisa ditangkep polisi, Keila. Semua orang akan membenci lo. Gak begini caranya Keila. Ini berbahaya," bujukku.
Aku memejamkan mata pasrah. Bisa jadi sekarang hidupku akan berakhir karena saudara kembar sendiri yang hatinya diselimuti emosi dan dendamnya. Di umur ke 17 ini. Banyak mimpi yang belum aku bisa capai. Dan sekarang aku harus melepaskannya. Aku akan meninggalkan semuanya. Meninggalkan orang yang aku sayang. Mungkin sedikit aneh ketika saudara kembarku sendiri yang membunuhku. Tapi setidaknya aku sudah siap menerima rasa sakit. Setelah itu, rasa sakit akan menghilang dan aku akan berpijak di surga. Eh tidak! Tapi di neraka! Dengan semua tingkah laku burukku kepada orangtuaku dan teman-temanku. Surga mustahil untukku.
Dan sekarang adalah terakhir kalinya aku berpijak di bumi. Mungkin terkahir kalinya aku akan menatap keindahan dunia. Terakhir kalinya aku melihat orang-orang yang aku sayang.
Pasrah. Hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang.
THANK YOU FOR READING
JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
TeenfikceKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...