Semua kepedulianmu membuatku nyaman dan menghilangkan rasa takutku.
Aku meremas sweater tipis yang kukenakan di tengah malam yang sepi. Setiap malam selalu seperti ini. Suasana yang sepi dengan penerangan lampu jalan yang remang remang membuat hatiku tenang. Hanya malam yang bisa membuatku seperti ini.
Sekarang aku hendak pergi ke rumahnya William. Aku harap masih ada orang yang terjaga untuk menerima buku ini, karena sekarang sudah jam 10 malam. Akhirnya aku sampai di rumah besar bercat putih yang berdiri megah di hadapanku.
"William!" teriakku. Aku yakin di dalam rumah masih ada orang. Lampu ruangan di dalam masih menyala. "William!" Aku berteriak lebih keras. Terdengar suara percakapan dari dalam yang artinya masih ada orang yang terjaga.
"William! Ini gue, Keira!" teriakku lagi dengan lebih keras.
Aneh. Di dalam masih ada orang yang belum tidur tapi kenapa dia tidak membuka pintu untuk menerima buku yang akan kuberikan? Kenapa juga tidak ada yang menyahut?
"Will!!" Kali ini lebih kencang seperti orang berteriak, bukan berseru. Aku tak peduli bila tetangganya terbangun karena suaraku. Yang penting aku harus mengembalikannya sekarang.
"Lo Keira kan?" tanya seseorang dari belakangku dan membuatku kaget.
"I-Iya. Lo Aiden kan?" Aku bertanya sambil mengingat-ingat kalau di hadapanku adalah orang yang tadi bertengkar dengan Mason. Seketika itu juga, badanku menegang akibat takut dengan orang yang ada di hadapanku. Aku tidak boleh berbuat salah sedikit pun di hadapannya, kalau tidak, aku bisa meninggal akibat pukulannya.
"Lo ngapain ke sini? Lo diundang?" tanyanya menyelidiki.
"Eng-enggak kok. Diundang ngapain? Gue ke sini karena Keila minta tolong untuk memberikan buku ini ke William. Tadi dia gak masuk, jadinya gue anter saja bukunya ke sini," ceritaku.
"Di sini lo gak aman," ujarnya tiba-tiba membuatku bingung. "Gak aman gimana?"
"Nanti aja gue jelasin. Sekarang lo harus ikut gue," perintahnya.
Aku hanya diam tak bergeming. Untuk apa aku ikut dengan Aiden? Bagaimana kalau dia ternyata mau menculikku dan bahkan membunuhku?
"Berhenti bermain dengan pikiran konyol lo. Lo takut sama gue?" tanyanya yang ternyata bisa membaca pikiranku. Nada bicaranya sulit aku mengerti.
"Ayo ikut gue! Gue janji gak akan nyulik lo," ajaknya lagi sambil menarik tanganku ke motornya yang terparkir di depan rumah.
"Gak-gak usah. Gue pulang sendiri aja. Deket kok," tolakku sambil melepaskan genggaman tangannya.
"Apa gue mungkin membiarkan cewek ini sendirian malam-malam begitu saja?" tanyanya sambil memberikan helm kepadaku.
"Tapi gue udah biasa sendiri. Rumah gue deket kok. Gue malah jalan kaki ke sininya." Sepertinya dia sama sekali tidak bisa dibantah. Aku menerimanya dengan tangan bergetar akibat ketakutan. Bayangkan saja! Aku sedang berhadapan dengan si pembuat masalah yang jago aju tinju.
"Melamun mikirin gue yang bisa nyerang lo? Di dalam sana ada hal yang jauh lebih menyeramkan. Ayo naik!" Aku segera tersadar dari lamunanku dan segera naik ke motornya yang ternyata sudah menyala sedari tadi.
Motor melaju memecahkan dinginnya angin malam yang menerpa wajahku nyaris membuatku menggigil. Untung saja situasi ini adalah temanku setiap harinya. Aku suka malam. Ketika dunia yang ramai berubah menjadi sepi yang menenangkan pikiranku. Langit yang terang berubah menjadi gelap. Tapi taburan bintang di langit malam yang gelap membuatnya menjadi indah.
Tiba-tiba Aiden memberhentikan motornya di hadapan kantor polisi. Aku mengernyit bingung. Pikiran negatifku segera menghantui otakku. Untuk apa dia membawaku ke sini?
![](https://img.wattpad.com/cover/147347372-288-k922469.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...