Andaikan dia tahu bahwa selama ini aku menunggunya untuk menerima uluran tanganku.
Aku memakan rotiku yang terasa hambar. Apapun yang aku makan setiap sarapan semuanya terasa hambar. Kali ini orangtuaku membicarakan masa depan Keila agar bisa menjadi dokter yang Keila inginkan. Bagaimana dengan diriku? Mungkin mereka tidak pernah peduli dengan masa depanku yang belum tentu cerah.
"Mama, papa, Keila, aku berangkat duluan," kataku sambil mencium tangan kedua orangtuaku lalu pergi ke garasi untuk mengambil motorku.
Sampai di sekolah aku berjalan dengan santai menuju kelas. Suasana lorong kelas masih sepi karena ini masih pagi. Ini adalah rekorku datang sepagi ini selama aku bersekolah di sini. Tiba -iba aku berpapasan dengan Aiden dan dia segera mengulurkan tangannya untuk menghalangiku.
"Ada apa Aiden?" tanyaku sambil menunduk. Semoga saja Vania tak melihat ini.
"Kemaren orangtua lo marah sama lo?" tanyanya khawatir.
"Gak akan. Mama sibuk khawatir dengan Keila yang belum pulang. Gak usah khawatir. Gue baik-baik saja," jawabku berbohong.
"Gue tau lo bohong. Tapi baiklah. Hati-hati." Dia melanjutkan langkahnya menjauh dariku.
Aku hanya bisa diam dan tertegun dengan kepeduliannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia sangat khawatir denganku?
Saat di kantin, aku duduk di meja kantin tanpa makan apapun.
"Lo gak makan?" tanya Vania sambil menatapku yang sedang mencoret kebahagiaan di buku yang sudah lama aku tak sentuh. Aku baru tadi malam menyentuhnya.
Aku menggeleng.
"Kenapa? Diet? Gue gak enak kalau gue makan sendiri. Lo makan juga dong please," mohon Vania.
Aku hanya diam dan tetap terfokus kepada imajinasiku.
"Keira, tumben lo gambar lagi. Kenapa?" tanyanya sambil menatapku dengan jengkel akibat aku mengabaikannya dan memilih sibuk dengan duniaku sendiri.
"Gue sudah lupa kalau gue udah punya pelampiasan," jawabku sambil menghapus goresan yang salah. "Lo berencana gambar apa?" tanya Vania lagi sambil melirik bukuku.
"Keluh kesah gue terhadap orangtua yang tidak pernah mengerti gue. Mereka tidak pernah mengerti kalau aku butuh kasih sayang mereka."
Vania mengangguk pelan. Dia menatapku sendu. Vania pasti merasa miris dengan keadaanku sekarang. Dia tentunya memiliki keluarga yang sangat bahagia. Setiap aku main ke sana, ibunya, ayahnya, adiknya, selalu menyambutku dengan hangat layaknya keluarga. Padahal aku hanyalah sahabatnya. Pasti hidup di keluarag seperti itu, sangat menyenangkan.
"Masalah lagi dengan mereka?" tanya Vania.
"Selalu. Tiada hari tanpa omelan mama."
Tiba-tiba Mason menghampiriku dan duduk di sebelahku. "Keira! Lo kemaren dijemput siapa?" tanya Mason to the point.
"A-apa? Teman," jawabku gugup
"Teman? Mobil dan platnya tuh milik Aiden. Lo kira gue gak tau sama plat mobilnya dia? Lo jalan sama dia setelah gue jalan sama lo?" tanyanya dengan ekspresi menyelidiki.
"Bukan Aiden."
"Lo gak bisa bohong sama gue. Lo gak tau gossip yang beredar kalau dia adalah pembunuh? Dulu dia membunuh mantan pacarnya.Kalau lo salah tindak lo bisa mati di tangannya karena terbunuh. Gue gak mau kehilangan lo karena musuh gue sendiri." Mason berkata dengan tegas.
Dia peduli? Yes!
Tapi aku sadar, aku tak bisa senang dahulu, karena di hadapanku, Vania sudah menatapku tajam dalam diam. Sepertinya dia akan panik katika dia tau kalau aku jalan sama Aiden.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...