Hal yang paling menyakitkan adalah dimana aku melihat hal yang paling kuinginkan dapat dirasakan orang lain dengan mudah.
Aiden meletakan tempat makan yang dia hendak kembalikan kepadaku di atas maja ruang tamu. Lalu tangannya teralih ke buku gambarku dan segera membuka lembaran pertama dalam bukuku. Saat itu aku segera menahan nafasku. Ya bisa dibilang aku siap untuk menerima hujatan dan komentar pedas yang mungkin keluar dari mulutnya.
"Wah bagus banget!" komentarnya dengan mata yang tak teralih dalam lembaran itu.
Aku tersenyum walau ada keraguan yang kurasa. Takutnya, dia tidak jujur dan hanya mencoba menjaga perasaanku di depan Keila. Wajah Keila berubah masam tapi dari matanya terbesit perasaan bahagia. Ternyata mama penasaran dan dia duduk di sebelah Aiden untuk melihatnya. Tapi mama tidak mengucapkan apa pun. Aiden mulai ke lembar selanjutnya. Dan ekspresi mereka tetap sama.
"Lo berbakat Keira!" seru Aiden setelah melihat semuanya dan dia memberikan buku itu kepadaku.
"Ma-makasih," jawabku gugup.
Dia lah yang pertama kali memuji jerih payahku selama ini. Yang lain tak ada yang menghargai dan bahkan mereka sama sekali tak mencoba untuk melirik lukisanku. Tapi seriuskah Aiden bilang kalau gambar-gambarku bagus?
"Lo harus banyak latihan biar gambar lo berkembang. Jangan sketsa aja, coba deh di kanvas dengan cat air. Tambah keren." Dia memberikan saran dengan antusias.
"Tapi lebih baik belajar dari pada begitu. Dia tidak akan sukses," komentar mama dengan ketus.
"Tante, apakah tante mengerti kalau semua orang memiliki bakat yang berbeda? Keila di pelajaran dan Keira tidak bisa. Dia bisa di seni. Lagi pula banyak juga pelukis terkenal. Semua orang bisa sukses di bidangnya kalau dia terus berlatih." Aiden menjelaskan sambil menatapku seakan akan dia bicara kepadaku, bukan ke mama.
Aku hanya menunduk.
"Kenapa nunduk Keira? Gue liat kekurangan lo cuman 1. Kurang percaya diri untuk menunjukan hasil sebagus ini. PD aja dan semua akan baik baik saja," kata Aiden sambil menghampiriku lalu menegakan kepalaku dengan jarinya sehingga aku menatap mata hazelnya.
Aku mengangguk pelan. Terdengar dengusan kesal dari Keila. Ada apa dengannya?
"Ya sudah. Gue balik dulu ya." Aiden bangkit dan pamit kepada mama lalu Keila. Aku hanya mengikuti punggungnya yang hendak pergi keluar rumah.
"Bagamana jalan-jalan tadi sama Mason?" tanya Aiden sambil menaiki motornya yang terparkir di depan rumah. Ada sedikit kecewa dan sedih di matanya. Entah aku tak tahu arti tatapan itu. Yang jelas dia kecewa karena aku meninggalkanya begitu saja. Aku jadi merasa bersalah.
"Keren pokoknya tempatnya. Mataharinya bagus dan pemandangannya indah banget!" jawabku.
"Iya gue tau. Gue pulang dulu ya. Bye!"
Sudah 2 hari aku tidak melihat Aiden lagi sejak dia hendak pulang dari rumahku. Hari ini hari Selasa dan katanya Aiden tidak masuk tanpa keterangan. Aku jadi khawatir apa penyebabnya. Aku merasa bersalah sejak dia pulang karena dia kecewa padaku bersama Mason. Sudah berkali-kali aku menghubunginya tapi tidak pernah terhubung. Dan chatku saja tidak ke kirim untuknya.
"Keira! Lo mau gue ajarin gak sih? Kalau lo gak fokus begitu gue jadi rugi!" omel Mason menyadarkanku dari lamunanku.
"Ma-maaf Mason." Ucapanku disambut tertawaan Vania yang berada di sebelahku.
Ini jam istirahat dan ternyata 2 hari ini Mason menepati janjinya untuk mengajariku. Jadi sekarang aku terjebak dalam penjelasan Mason yang rumit. Aku sama sekali tidak mengerti tentang sistem imun. Bagiku itu sangatlah sulit. Sayangnya pikiranku melayang sama Aiden yang ternyata tidak masuk dari kemarin. Tentu aku gelisah...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Happiness
Teen FictionKeira adalah perempuan tegar yang luar biasa. Dengan senyumnya ia menutupi semua penderitaannya. Terasa asing di tengah keluarganya bukan lah hal yang membuatnya menangis. Rumah yang tak lagi terasa nyaman tidak membuatnya berhenti untuk tersenyum...