32. Go Out

2.5K 97 0
                                    

Kata-kata ketusmu menyayat hatiku tanpa air mata yang mengalir dari mataku.

Aku membuka pintu rumahku dengan lesu. Aku tak ingin pulang. Mengingat keluargaku menyisihkanku seperti itu membuatku asing dengan rumah ini. "Keira! Liat jam berapa! Jam 1?! Bagiamana bisa?!" bentak mama dengan mata memerah akibat mengantuk.

"Aku habis dari rumah teman. Gak usah khawatir," jawabku.

"Siapa bilang mama khawatir? Sebenarnya mama khawatir nama keluarga kita tercoreng! Tetangga pasti tau kalau kamu selalu pulang malam dan semua orang mengira kamu anak malam yang mabuk!" gerutunya.

"Apakah ada bau akohol di bajuku? Tentu tidak! Lagi pula, masa ke klub malam menggunakan baju hoodie seperti ini? Oh ya! Aku masih dianggap di keluarga ini? Aku kira aku gak punya keluarga." Aku tidak peduli.

"Keira! Jaga omonganmu! Maksud kamu apa?! Kamu gak suka punya keluarga seperti ini?!" tanya mama.

"Ya! Aku gak suka!" Emosiku sudah meledak.

"Pergi kamu dari rumah!" perintah mama.

"Baguslah aku pergi! Aku saja tidak dianggap di keluarga ini."

"Mana buktinya kalau kamu gak dianggap?!" tanyanya menantang.

Aku menghampirinya lebih dekat. Tiba-tiba saja keberanian yang awalnya memudar, muncul lagi. Perkataan Aiden terngiang di pikiranku. Aku harus membuat mereka sadar! Walaupun aku bisa menjadi orang yang paling dosa. Yang penting aku ingin bisa mengembalikan kebahagiaan dalam hidupku. Sudah lama sekali aku tak merasakannya.

"Banyak! Dan yang paling menyakitkan ketika mama makan di restoran mewah bersama keluarga mama tanpa kehadiranku! Padahal itu ulang tahun pernikahan! Dengan santainya mama bilang aku tak usah dipikirin dan bilang kalau aku lebih senang berkeliaran. Apa-apaan itu? Aku pergi karena menghindari injakan kalian!" teriakku lalu berlari menuju kamarku.

Baru saja aku mau membuka pintu, Keila menghampiriku. Matanya memerah akibat terbangun dari tidurnya. Pasti karena teriakan kami di lantai bawah tadi.

"Jadi lo dengan santainya menghina kita semua di tengah pagi buta seperti ini? Lo menganggu! Belum lagi tetangga bakal bangun. Mengambah aib keluarga saja," sindirnya.

"Menghina? Apa gak salah? Tentu gue menghina sih tapi gak sebanding dengan apa yang kalian lakukan kepadaku bertahun-tahun. Kalian hanya memberikan kata-kata kasar dan jelek seakan-akan aku manusia paling bodoh dan kalian malu untuk mengakuinya. Belum lagi gue dipermalukan di depan keluarga dan teman!"

Dengan sedikit air mata yang berlinang aku mengambil koper dan siap-siap untuk pergi dari rumah ini. Mereka telah mengusirku. Itu hal yang paling aku takuti selama ini. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka tak mau aku di sini. Dengan cepat aku mengambil semua duitku dan segera turun ke bawah.

"Mau kemana Keira?" tanya Kak Devan lalu menguap. Sepertinya dia juga korban akibat pertengkaran di bawah tadi.

"Pergi. Mama mengusir gue. Jadi apa boleh buat?" tanyaku cuek.

"Keira! Jangan! Lo gila?! Mama hanya kesal dan tak bisa mengendalikan ucapannya. Dia hanya mencoba mengancam lo." Kak Devan mengejarku.

"Gue gak tau mau gimana lagi yang jelas gue harus pergi. Gue gak bisa tinggal lagi di keluarga ini dengan hinaan yang telah kalian berikan." Aku mengabaikan ucapan Kak Devan yang melarangku pergi.

Detik itu juga aku berlari sambil menyeret koperku. Aku tak mau kembali ke rumah menakutkan ini. Biarkan saja aku meninggalkan rumah masa kecilku. Malah aku ingin melupakannya. Karena masa kecilku tak bahagia layaknya yang lain. Masa kecilku sangat kelam. Aku tak mau kembali kepada orang yang telah menyakitiku. Tanpa sadar air mataku menetes dan meluncur pelan melalui pipiku. Inilah hal yang aku takutkan. Mereka sama sekali tak peduli dengan diriku. Inilah aku, anak yang terbuang.

Keira : Audrey. Gue mau nginep di apartemen lo beberapa hari atau selamanya boleh?

Audrey : Waduh. Lo emang kenapa? Datanglah. Gue gak bisa tidur. Ada masalah apa sampai lo ke sini?

Dengan ragu aku berjalan ke apartemen Audrey. Sebenarnya hatiku menangis karena keluargaku sendiri mengusirku. Aku tak seburuk yang mereka bayangkan. Aku hanya lah perempuan biasa yang tak betah di rumah. Ini hal yang paling aku takuti seumur hidup. Aku tak ingin pergi dari rumahku tapi aku harus pergi. Untuk melupakan kisah menyakitkan yang pernah ada. Aku sangat terpukul sebenarnya untuk pergi dengan keadaan seperti ini. Bagaimana aku bertahan hidup? Apa aku harus kerja untuk membeli makanan dan membayar sekolahku?

"Ada apa yang terjadi?" tanya Audrey panik saat aku masuk kamarnya.

Air mataku mengalir semakin banyak. Setiap air mataku adalah kesedihan yang aku rasakan dan pendam selama ini. Masalah yang terjadi bertahun-tahun, mengalir melalui derasnya air mata yang tak henti-hentinya turun. Mungkin orang-orang mengira aku tidak memiliki masalah. Tapi inilah perempuan. Bisa menyembunyikan seribu masalah. Kali ini, aku terlihat sangat lemah di dalam sulitnya kehidupan.

"Mereka jahat sama gue." isakku.

"Mereka ngusir lo?" tanyanya khawatir.

Dengan lemah aku mengangguk.

"Ya Tuhan. Lalu sampai kapan lo mau nginep di sini? Gue sih gak keberatan tapi gue kasian sama lo. Nih air putih, minum dulu." Audrey memberikanku air mineral. Dengan cepat aku segera menghabiskan air mineral itu tanpa bicara sedikit pun. Entah kenapa tiba-tiba saja aku haus.

"Jadi sampai kapan?"

"Gak tau. Gue gak mau balik sampai mama yang minta gue balik. Kalau gue balik juga tidak mengubah suasana. Mereka tetep benci sama gue."

"Mereka gak benci lo Keira. Mereka sebenarnya sayang sama lo," bantahnya.

"Bagaimana bisa? Pas acara keluarga gue hanya dimaki dan dihina di depan semua orang! Saat ulang tahun pernikahan mereka dengan enaknya makan di restoran mahal tanpa mempedulikan gue! Lo tau kan gue sakit hati setiap mereka seperti itu pada gue?! Mereka gak pernah bersikap manis kepada gue! Hanya Keila, Keila, dan Keila!"

Audrey hanya diam mendengarkan ocehanku. Dia mengerti perasaanku tapi dia tak bisa berbuat apapun. Aku sangat ingin mengatakan kalau aku mencintai keluargaku sendiri. Aku selalu berkhayal mama dan papa memelukku dan bahagia karenaku. Rasa rindu selalu terbesit setiap mengkhayalnya. Karena aku hanya merasakannya saat aku hanya bisa mengingat sedikit memori. Tapi semua itu terhapuskan setiap mereka berkata dengan nada kesal terhadapku. Aku hanya bisa diam walau aku sedikit melawan. Tapi tentunya aku tau hatiku tak akan betahan lebih lama bila seperti ini setiap hari. Bahkan selamanya. Hatiku bisa hilang dan aku bisa... Stress. Seperti yang pernah dikatakan Aiden.

Aiden. Dimana dia sekarang? Aku membutuhkannya untuk menenangiku. Aku rindu dengan kata-kata bijaknya untukku kali ini untuk membangkitkan semangatku. Aku tak bisa menemukan solusi untuk sekarang. Bagaimana ini?

"Dimana Aiden? Gue butuh dia," lirihku pelan.

THANK YOU FOR READING

JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang