4. Late

4.3K 172 0
                                    

Sapaan kecil sudah membuat hatiku terbang menuju langit, tanpa tahu cara kembali ke bumi.

Aku segera memakai sepatuku dengan terburu-buru. Sekarang sepertinya aku datang terlambat karena kesiangan untuk bangun. Aku segera menjalankan motor dengan kecepatan yang bisa dibilang tinggi dalam jalan raya. Aku tidak ingin dihukum dan ditertawakan teman sekelas. Mama juga akan membenciku jika itu terjadi.

Tapi walaupun aku sudah usaha agar tidak telat, tetap saja telat sampai sekolah. Walaupun hanya 5 menit, aku tidak diperbolehkan masuk kelas untuk mengikuti pelajaran karena sekarang pelajaran Pak Dito yang termasuk gulu killer yang paling aku takuti.

Di sinilah aku. Di luar kelas sambil berdiri sendirian dan sudah cukup aku dipermalukan seperti ini. Walaupun lorong kelas sepi, tapi ada saja murid-murid yang lalu lalang di luar kelas membuat mereka semua menatapku sambil menahan tawa. Sudah lah cukup aku dipermalukan.

"Keira, lo telat?" tanya seseoarang sambil menghampiriku. Aku mendongak. Aiden.

"Ya. Gue bangun kesiangan," jawabku santai. "Maaf ya buat lo tidur malem." Aiden tersenyum kecil padaku.

"Enggak kenapa napa kok. Lagi pula gue udah biasa seperti ini. Ini juga karena alarm yang ternyata rusak jadi gak bunyi," jawabku.

"Lo gak masuk kelas?" tanyaku. "Telat juga. Gue harus ngurus mama gue yang mulai sakit-sakitan. Oh iya! Lo mau ke kantin gak?" tanya Aiden.

"Gue kan lagi dihukum!" jawabku jengkel.

"Ya sudah kalau gak mau. Gak ada salahnya melanggar dikit buat sarapan. Gue tau lo belom sarapan. Ya sudah. Gue ke kantin dulu ya!" kata Aiden lalu pergi. Aku menatapnya pergi menuju kantin. Perutku sangat menginginkan aku untuk ikut tapi aku terlalu takut kalau Pak Dito tau kalau aku ke kantin.

"Aiden! Gue ikut! Tunggu!" teriakku sambil berlari menghampirinya.

"Kenapa lo berubah pikiran? Gak bisa nahan laper lo ya?" tanya Aiden dengan senyum jailnya. Aku hanya tersenyum cengengesan. Aku segera duduk di hadapan Aiden lalu memakan roti bakar yang tadi aku pesan.

"Kok lo ikut? Lo gak takut dihukum?" tanya Aiden.

"Hukuman sudah biasa bagi gue. Lagi pula gue belum sarapan. Kalau enggak kan gue bisa sakit," jawabku santai.

"Sama, gue juga berpikir begitu. Apalagi sekarang seharusnya gue ada ulangan, tapi terpaksa gue ikhlasin," Aiden berkata dengan nada yang khawatir. Aku tahu dia pintar. Dan aku yakin dia sebenarnya khawatir dengan nilainya yang mendadak kosong.

•••

"Tadi lo kemana? Kok lo berani kabur sih? Nekat lo ya?" tanya Vania.

"Tadi gue ke kantin," jawabku cuek sambil duduk di sebelah Vania.

"Sama siapa? Tadi sepertinya ada yang berbicara sama lo," tanya Vania curiga.

"Sendiri kok," jawabku berbohong. Tentunya aku tidak akan bilang kalau aku bersama Aiden. Vania akan melontarkan berbagai larangannya untuk tidak dekat dengannya. Aku sebenarnya juga takut untuk dekat dengannya, tapi sjeauh ini, tidak ada masalah dengannya.

"Gila lo nekat apa gimana?" tanya Vania. Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.

"Tadi ngapain? Ada catatan gak atau PR?" tanyaku mengalihkan topik. Tentunya aku tidak mau sering-sering berbohong. Kalau ditanya tentang itu lagi, aku akan berbohong.

"Ada catatan dan bagusnya sih gak ada PR," jawab Vania. "Liat dong!" kataku memohon.

"Seharusnya lo istirahat. Lo gak mau istirahat?" tanya Vania. "Gue udah istirahat tadi," jawabku sambil tersenyum.

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang