36. Back To You

2.6K 91 0
                                    

Inilah kepingan kebahagiaan yang aku inginkan selama ini. Kebahagiaan yang selama ini bersembunyi dibalik kehidupanku.

Seseorang mengguncang bahuku dengan lembut. Aku menguap lebar dan malas. Tapi cahaya lampu kamar membuatku tak bisa lagi untuk melanjutkan mimpi. Aku mencoba membuka mata dan terlihat mama yang sedang tersenyum lembut. Kenapa mama yang membangunkanku? Ada apa dengan alarmku? Apa tidak menyala?

"Mama? Apa aku telat bangun sampai mama harus ngebangunin aku?" tanyaku bingung.

"Sesekali mama harus ngebangunin kamu di Senin seperti ini setelah sekian lamanya. Mama tahu kamu bosan mendengar suara alarm jam kamu yang melengking itu. Suara itu tidak manusiawi. Sekarang kamu mandi lalu sarapan," ujarnya lalu meninggalkanku.

Aku hanya diam dan menganga tak percaya. Jadi kemarin bukanlah mimpi? Dengan cepat aku mengambil handukku dan segera mandi. Suasana sarapan sama seperti makan malam kemarin. Suasana bahagia memenuhi pagi pertamaku bersama mereka seperti ini. Tapi kali ini aku benar benar mengabaikan tatapan Keila yang menatapku tanpa kedip. Aku berusaha untuk membuat misi tatapannya itu gagal. Yang penting mama dan papaku sudah menerimaku apa adanya.

•••

Di kelas, aku hanya duduk melamun. Suara ricuh di kelas, menyatu dan berbaur membuat suara layaknya lebah yang berkumpul di telingaku. Aku menghela nafas dan segera mengambil hanphone dari kantong rokku. Tanganku meraih-raih kabel earphone yang kusimpan di dalam tas. Tak lama kemudian, lagu mengalun lembut membuatku merasa nyaman dan tenang. Sepertinya aku membentuk dunia sendiri. Kepalaku mengikuti irama musik yang mengalun di telingaku.

Aku tak takut hidup di dunia sendiri. Kesepian? Aku tidak akan pernah merasa kesepian. Siapa yang menemaniku? Kesedihan di hidupku. Dia sudah menjadi sahabatku sehari-hari. Andaikan aku bisa membentuk sebuah planet sendiri. Akan kubuat di luar galaksi bimasakti ini.

"Keira." Julya menghampiriku dan aku melepaskan satu earphone dari telingaku.

"Buset lo sekarang banyak banget yang ngomongin. Lo tau berita yang beredar?" tanyanya.

"Ada apa emang?"

"Lo sempet suka sama Mason? Berarti lo sakit hati dong pas dia nembak Keila?"

"Berita itu? Itu hoax." Aku menjawab cuek layaknya berita itu tidak benar.

"Masa sih? Berarti Keila berbohong?"

"Iya kali. Gue gak suka sama siapa-siapa. Buat sakit hati aja, jatuh cinta sama orang." Sejak kapan aku berubah menjadi sangat ketus bila berbicara dengan orang?

"Kenapa lo? Lagi bad mood? Tumben gak sama Vania." Julya menatapku heran.

Aku tersenyum tipis. "Lagi bad mood karena kehilangan semua orang yang gue miliki." Aku malangkah pergi menuju ke luar kelas sambil memasang earphoneku kembali. Siapa tahu aku menemukan ketenangan di sana.

Bukannya aku menjadi tenang, aku malah melihat Aiden yang sedang duduk sendiri di pinggir lapangan. Matanya hanya terfokus pada handphoennya yang dia pegang. Apakah dia merasakan kesepian seperti apa yang aku rasakan juga? Aku harap iya. Biar tidak aku saja yang menjauh dari kenyataan dunia ini.

Dan tiba-tiba pandangan kami bertemu. Dia menatapku dengan tatapan yang tak aku mengerti. Aku langsung membuang muka ke arah lain. Tapi aku tak bisa manahan diri untuk kembali menatapnya. Kali ini dia menatapku dengan tatapan tajam. Tapi pandanganku teralihkan dari Keila yang tiba-tiba mengagetkannya dari punggungnya. Aiden terlonjak kaget dan mengalihkan pandangan ke arah Keila dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.

Sepertinya mereka sangat berbahagia. Dan aku hanya bisa menatap mereka dari seberang.

Saat istirahat, aku terpaksa berjalan santai menuju kantin seorang diri. Aku yakin aku bisa dikira orang gila yang selalu tersenyum sendiri. Bayangkan saja tadi pagi. Bagaimana aku tak senang ketika mereka semua secara tiba-tiba menyayangiku seperti dulu? Tentunya rasa bahagia itu tetap melekat di hatiku dan membuat moodku membaik.

Dengan cepat aku memesan bakso bakar yang aku inginkan dan segera membawanya ke meja kosong di kantin. Tapi sayangnya semua sudah penuh dan aku bingung akan duduk di mana. Aku hanya bisa menatap kanan dan kiri dengan mata yang menyapu sekitar untuk mencari meja kosong. Sesekali aku berjalan mengitari kantin.

Tiba-tiba saat aku berjalan, ada yang menabrakku dan membuatku tersungkur. Aku sedikit meringis menahan sakit di lenganku yang menopang badanku saat terjatuh. Dengan segera sambil menahan malu aku mencoba duduk dan mengingat kabar bakso bakarku yang mengenaskan. Nasibku kali ini buruk.

Aku menatap orang yang menabrakku.

"Maaf. Lain kali jalan liat-liat," gerutunya.

Aku tak mengenalnya. Tapi aku tau kalau dia kakak kelas. Memang aku yang salah, berjalan tak hati-hati.

"Iya maaf ya kakak."

Tiba-tiba saat aku mencoba untuk bangkit berdiri, ada yang mengulurkan tangan untuk menolongku. Aku berhenti bergerak dan mendongak ke atas. Ternyata dia. Seseorang yang tak mau kumaafkan.

"Lo baik baik aja?" tanyanya sambil tersenyum.

"Vania? Untuk apa lo ke sini?" tanyaku bingung sambil menatap tanganya yang masih mengulur di depan wajahku.

"Gue ke sini buat bantu lo. Sini gue bantu lo berdiri."

"Ma-makasih," jawabku grogi.

"Kayaknya bakso bakar lo udah gak bisa dimakan lagi deh. Gue beliin yang baru deh." Vania segera membelikan bakso bakarku yang menjadi korban tadi.

"Makasih."

"Ada bangku kosong tuh! Ayo!" ajaknya lalu menarikku ke meja kosong.

Aku duduk di hadapan Vania yang selalu tersenyum. Perasaanku gelisah. Setelah aku marah dengannya dan mengusirnya, dia masih peduli denganku. Mungkin aku memang yang salah. Terlalu keras kepala untuk memaafkannya karena hal sepele. Sungguh aku rindu dia dimana sedang duduk di hadapanku dan makan bersama. Seperti sekarang ini.

"Vania."

"Ya?"

"Maafin gue. Gue nyesel udah gak mau maafin lo. Bagaimana bisa lo masih peduli dengan gue setelah gue marah besar sama lo? Ternyata lo adalah sahabat terbaik gue. Gue memang salah yang egois, keras kepala, dan emosian saat itu. Gue gak berpikir panjang. Boleh gak sekarang gue main sama lo? Sejujurnya gue kesepian," lirihku.

"Boleh. Itu juga salah gue yang gak bertanggung jawab merahasiakan itu. Gue tau kalau saat itu lo sangat malu dan berhak untuk marah. Sekarang lo duduk di samping gue lagi nih?" tanyanya semangat.

Aku mengangguk senang.

"Oh ya Keira! Nanti malem temenin gue makan di restoran sea food deket perumahan gue dong. Jam 6 ya. Mau gak?" bujuk Vania.

"Gue mau lah. Apapun gue lakukan untukmu sayang," candaku dengan cengiran jail.

"Ew! Ada yang ngegebet gue sekarang. Dan sikapnya menjijikan."

Aku terkekeh pelan. "Balik ke kelas yuk. Dikit lagi bel. Kali ini gue udah siap mental gue untuk belajar matematika ekstra."

"Cie yang udah mulai rajin mah beda!" ledeknya. Vania telah kembali dan mengisi kekosongan di hatiku lagi.

THANK YOU FOR READING

JANGAN LUPA COMMENT AND VOTE
SELAMAT MEMBACA!
echakeisha_❤️

The Real HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang