Lelaki berpakaian serba putih yang berprofesi sebagai dokter dengan berbagai macam peralatannya keluar dari ruangan UGD. Lantas, beberapa orang langsung berlari menghampiri dengan wajah yang khawatir bahkan dengan mata sembab sehabis menangis deras.
"Bagaimana keadaan anak saya dok? " Tanya Gweni—ibu Clara— sambil tersedu-sedu menahan tangis.
"alhamdulillah, pendarahaannya sudah bisa saya hentikan namun pasien masih belum sadarkan diri mungkin akibat obat bius juga. Tunggu saja beberapa jam lagi" Balas dokter itu sembari diiringi senyuman ramah.
"Gak ada yang parahkan dok? " Sela Alvaro yang tak sabar mengetahui kondisi kekasih nya.
"Sejauh ini saya rasa tidak. Tapi kita lihat saja nanti saat pasien sadar. Saya permisi dulu"
"iya dok terimakasih "
Dokter itu membalasnya dengan senyuman yang sangat ramah. Kemudian, berjalan pergi meninggalkan keluarga Clara yang masih diselimuti rasa panik dan khawatir.
Sejak tadi, tangis Ibunya Clara tak kunjung berhenti padahal sudah ditenangkan beberapa kali oleh Gavin—ayah Clara— bahkan sahabat-sahabat Clara pun ikutan menangis sedih melihat kondisi Clara yang memprihatinkan dengan kepala yang terbalut serta jarum infus yang menempel ditangannya.
Apalagi, kejadian yang menimpanya itu terus saja terngiang-ngiang jelas dibenak Alvaro. Bagaimana Lampu itu jatuh tepat diatas kepala Clara hingga darah merah keluar deras dari kepala Clara sampai bercucuran dimana-mana. Lampu panggung itu berat bahkan berkilo-kilo. Bayangkan saja jika menimpa kaki saja rasanya sakit apa lagi ini kepala. Kepala tempat otak berada disana. Alvaro berharap Clara akan baik-baik saja dan Allah memberikan Mukzizat padanya bahwa benturan itu tak berakibat fatal.
"om tante, Alva boleh masuk duluan lihat Clara? "
Gweni menoleh dan mengangguk pelan sebagai jawaban. Kemudian Gweni kembali menyandarkan kepalanya didada bidang suaminya itu.
Alvaro segera masuk kedalam ruangan Unit Gawat Darurat. Tempat dimana kekasihnya terbaring lemah tak berdaya.
Alvaro menggenggam erat tangan Clara seolah tak ingin kehilangan nya "Sayang bangun" kemudian ia mencium punggung tangan Clara dengan lembut seolah menyalurkan kekuatan lewat sana.
"Aku rindu"
Pikiran Alvaro berkecamuk hatinya serasa dihujam oleh tombak-tombak tajam. Hatinya lebih sakit melihat orang tersayangnya sedang berada dikondisi yang sangat memprihatinkan. Baru kali ini ia merasakan rasa sakit yang paling hebat dari rasa sakit kehilangan.
"Kamu inget gak? " Alvaro menatap nanar gadis nya hingga tak sadar setetes air mata jatuh diujung matanya "Kamu, pernah janji. Gak bakalan ninggalin aku apapun alasannya. "
Alvaro mengelus pipi Clara dengan sayang "jadi, Please aku mohon bangun. Buktiin kalo kamu bakalan nepatin janji"
Mungkin jika orang-orang melihat Alvaro sekarang. Mereka akan tertawa dan mengejeknya karena ia cengeng dan menangis saat ini. Tapi ketahuilah, disaat kita mencintai seseorang dengan tulus dan melihat orang yang kita cinta sedang dalam keadaan seperti ini pasti hati kita juga ikut merasa tercabik-cabik, ikut merasakan luka yang dideritanya walau tak terlihat dari luarnya.
"Arghh"
Alvaro terhenyak saat suara gadisnya mulai terdengar serta tangan Clara mulai bergerak. Alvaro tersenyum bahagia seakan lukanya mulai terkikis tergantikan oleh harapan baru.
"A-a-aku di-dimana? Ca-cahayanya te-terang ba-banget" Tanya Clara terbata-bata.
"alhamdulillah kamu sadar, kamu dirumah sakit sayang"

KAMU SEDANG MEMBACA
Certezza [END]
Fiksi RemajaSequel: My Moodbooster Judul awal : My Name is Clara Jika ada yang bilang bahwa 'Mata adalah jendela hati ' menurutku itu memang benar. Karena berawal dari kontak mata aku bisa mencintai dia pada pandangan pertama. Alvaro Algiero, orang yang berha...