28

225 10 0
                                    

- Ryan Sanjaya -

Waktu menunjukkan pukul 06.45 pagi dan aku tak berniat untuk berangkat ke sekolah hari ini semenjak perdebatan kecil yang terjadi antara aku dan Ayah semalam. Tidurku tak nyenyak dan pikiranku berantakan. Sepertinya Ayah sudah berangkat kerja semenjak beberapa menit yang lalu. Aku sudah memakai seragam sekolahku tapi aku tak tahu harus pergi kemana. Tak mungkin jika aku pergi kerumah Ibuku karena pasti ia akan memarahiku karena membolos. Aku membuka ponselku dan mencari kontak Ardi disana lalu menelfonnya segera.

"Halo? Tumben kau menelfonku sepagi ini, ada apa?" Rupanya ia sudah bangun di jam seperti ini.

"Kau dirumah? Aku akan berkunjung kesana sekarang." Ya, aku sudah memutuskan untuk pergi kerumahnya dari pada aku harus ke sekolah dengan kondisi mood yang sangat berantakan.

"Bukankah seharusnya kau sekolah? Tapi, baiklah, kau bisa datang kemari sekarang." Aku langsung mematikan sambungan telfonnya dan mengambil kunci motorku. Dengan cepat aku melajukan motorku kearah rumah Ardi. Mungkin berbicara dengannya dapat membuatku lupa soal semalam.

Beberapa menit kemudian, aku sampai di halaman rumahnya. Aku menghentikan motorku disana dan menyusulnya yang sedang mengurus sebuah motor besar entah milik siapa. Ia melirik kearahku, tetapi masih tetap melanjutkan pekerjaannya. Sepertinya ia sedang menempelkan beberapa stiker di motor tersebut.

"Kau membolos?" Tanyanya sambil menempelkan stiker bertuliskan angka 8 di motor tersebut secara perlahan. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa?" Tanyanya lagi.

"Aku sedang tak ingin masuk sekolah." Jawabku sedikit berbohong. Aku tak mungkin menceritakan soal semalam padanya karena ia tak akan mengerti. Aku duduk di salah satu kursi dan memperhatikannya yang sedang bekerja.

"Motor siapa?" Ia bangkit dari posisinya dan memperhatikan stiker yang baru saja selesai ia pasang.

"Milik salah satu pemimpin perusahaan disini. Ia ingin aku mempercantik motornya." Pantas saja. Motor seperti ini harganya tidak lah murah. Ditambah pemiliknya pasti mengikuti suatu komunitas untuk motor seperti ini.

"Ada masalah dengan motormu?" Aku menoleh kearah motorku yang ada di halaman rumah Ardi. Sepertinya sampai sekarang belum ada kendala apapun yang membuatku kalah dalam mengikuti pertandingan.

"Kurasa tidak." Jawabku singkat. "Tapi aku ingin mengganti motorku." Ardi terkejut mendengar ucapanku. Aku merasa bosan dengan motorku yang sekarang dan aku ingin menggantinya, namun aku belum memiliki cukup uang untuk membeli yang baru. Ditambah Ayah pasti akan menceramahiku terlebih dulu karena ia tak akan membelikanku motor baru jika yang ini belum rusak.

"Kau tahu? Aku memiliki seorang kenalan. Ia memiliki sebuah perusahaan ternama di luar kota, namun ia mudah sekali untuk ditipu. Mungkin berdiskusi dengan nya membuatmu bisa menjual motormu dengan harga tinggi mengingat kau adalah orang yang cerdik." Aku tergelak mendengar ucapannya. Cerdik katanya?

"Bagaimana bisa kau berkata bahwa ia mudah untuk ditipu? Seorang pemilik perusahaan pastinya cerdas dan teliti." Aku mengambil sekaleng soda dan meneguknya sedikit. Soda di pagi hari? Aku belum pernah mencobanya.

"Ia memang cerdas dan teliti, sayangnya ia tak pernah bisa mengerti betul soal apa yang ia sukai." Ia mulai mengambil sebuah lap yang berada diatas meja dan membersihkan tangannya.

"Ia menyukai motor balap? Untuk apa? Seorang pemilik perusahaan tak memiliki waktu untuk hal semacam ini, bukan?" Aku menjadi penasaran dengan sosok pemilik perusahaan ini. Ardi memang memiliki banyak kenalan dan tak jarang banyak dari mereka adalah orang yang sukses.

"Ia suka mengoleksi motor di garasi nya. Kau tahu, ia bahkan rela mengeluarkan uangnya sebesar 90 juta hanya untuk motor Aprilia Mana 850 yang mana sebenarnya bisa ia dapatkan dengan harga paling tidak 50 juta." Ia tertawa setelah berucap demikian. Aku pun semakin tertarik untuk menjual motorku pada orang ini. Mungkin aku bisa mencobanya?

RUDE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang