04 | Jum'at Malam

6K 920 9
                                    

Eros jelas-jelas bukan pria lajang. Usianya sudah cukup matang-sudah dua puluh delapan tahun dan entah mendapat angin apa, Eros mulai memikirkan tentang masa depannya. Eros ingin menikah sebelum berusia tiga puluh tahun dan memiliki rumah di tepi pantai. Pasti sangat menyenangkan jika setiap pagi dia bisa bermain di tepi pantai bersama keluarga kecil yang diimpikannya.

Di balik sikap genitnya terhadap beberapa cewek cantik, siapa yang sangka jika Eros hanya dapat tunduk pada seorang cewek bernama Wanda Annelise. Sudah tiga tahun belakangan Eros menjalin hubungan dengan Wanda yang juga sudah tiga tahun menempuh pendidikan di Australia. Wanda seumuran dengan Melvin, bahkan dulu Wanda pernah satu SMP dengan Melvin. Keduanya sama-sama berusia dua puluh enam tahun.

Tak banyak yang tahu tentang hubungan Eros dan Wanda, kecuali kedua adiknya, Melvin dan Axel. Melvin jelas-jelas menentang hubungan Eros dan Wanda dengan alasan: Wanda terlalu baik untuk cowok sebrengsek Eros sementara, Axel memang pada dasarnya tak pernah peduli pada hubungan percintaan kakak-kakaknya. Ya, begitulah nasib memiliki adik-adik yang durhaka.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Eros mulai menghubungi Wanda via Skype. Memang jadwal keduanya untuk bertatap muka setiap pukul sembilan meskipun, terkadang terlambat atau terlewat jika satu sama lain sibuk.

Senyuman Eros mengembang saat layar laptopnya kini menampilkan wajah polos Wanda yang sepertinya baru selesai mandi-rambutnya yang diwarnai merah terlihat lepek.

"Kamu baru kelar mandi?" tanya Eros lembut.

Wanda mengangguk. "Iya, nih. Baru kelar. Tinggal nunggu sidang."

"Bentar lagi lulus, dong?"

Wanda terkekeh di monitoe laptop Eros. "Iya, dong. Kan, tujuan kuliah, ya, buat lulus meskipun, kuliahnya telat beberapa tahun."

Eros nyengir. "Kamu, kan, gak perlu kuliah. Gak begitu penting kalau ujung-ujungnya juga jadi istri yang ngurus suami di rumah. Biar suami kamu yang cari uang."

Bibir Wanda mengerucut. "Eros, kita udah ngomongin ini berulang kali, loh."

Eros menahan napas, memejamkan mata. Ini yang menjadi pusat permasalahan hubungan Wanda dan Eros. Tentang pola pikir mereka yang berbeda. Tentang keinginan satu sama lain yang tak mau mengalah. Tentang masa depan yang tak seirama.

"Wanda, aku mau lamar kamu saat kamu lulus."

Wanda memejamkan mata. "Eros, aku udah bilang, kan? Aku belum siap menikah dan aku masih mau meraih cita-cita aku sebagai wanita karir. Ngapain aku sekolah jauh-jauh ke Australia kalau kamu maksa aku buat jadi istri sekaligus ibu rumah tangga?"

"Wanda, orangtua aku gak akan suka kalau aku biarin istri aku kelak jadi seorang pekerja. Papa mau, kamu kayak Mama. Tinggal nikmatin hasil kerja suami di rumah."

Wanda memicing. "I'm not your mother, Eros."

"Wanda."

Wanda menggeleng cepat. "Udahlah. Aku matiin, ya? Kalau kamu Skype aku dan selalu bahas hal yang sama yang udah kamu ketahui jawabannya apa, aku gak mau lagi angkat panggilan dari kamu. Bukan ini pembahasan yang mau aku dengar, sumber masalah yang buat kita berantem tiap malam."

"Wanda."

"Tidur yang nyenyak, Eros. Mimpi yang indah. Malam."

Dalam waktu sekejap, layar monitor Eros menghitam dan menandakan jika Wanda menyudahi video call tersebut. Eros mengerang, mengacak rambutnya penuh kefrustasian.

"Argh! Kenapa selalu begini, sih?"

Eros memukul kencang dinding keras kamar apartemennya, yang selalu menjadi pelampiasan ataupun saksi akan banyak luka di jari-jari Eros.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang