Pukul delapan malam lewat lima belas menit, Mona sampai di kostannya dan sudah disambut Jenny yang menunggu di ruang tengah sambil menonton televisi. Begitu melihat Mona, Jenny beranjak berdiri dan dengan senyuman lebar di bibirnya, dia melangkah menghampiri Mona, melingkarkan lengannya di lengan Mona sambil berkata penuh semangat, "Mona, lo ke mana aja, sih? Gue nungguin dari tadi! Belumut, nih, gue!"
Mona mengernyitkan dahi, tapi menurut saat Jenny memaksanya duduk di sofa ruang tengah. "Sori. Tadi gue makan dulu di McDonald. Gue kira, gak bakal ada orang di kostan. Lo tahu sendiri, pada sibuk dan pulang malam semua." Mona meletakkan tasnya di atas meja, "Lo juga tumben banget di kostan, Jen. Biasanya juga nginap di apartemen."
Jenny menggerucutkan bibir. "Gue kacang banget di apartemen jadi, gue milih buat di sini aja sama lo. Lagian, banyak yang pengen gue ceritain ke lo, Mon. Tadinya gue mau cerita sama lo dan Rosa, tapi Rosa sibuk melulu. Gedeg gue jadinya."
Mona tertawa kecil. "Dia baru dapat panggilan ngajar di SD, kan? Makanya, sibuk. Dia bentar lagi ngeraih cita-citanya jadi guru."
"Gue aja jadi model belum kesampaian."
"Lah, lo, kan, model selebgram, Jen."
Jenny mendengus. "Selebgram itu bukan model, Mona! Gue mau jadi model profesional. Pengen jalan di catwalk gitu. Pasti keren." Seperti anak kecil, Jenny bertepuk tangan membayangkan hal tersebut dan membuat Mona tertawa.
"Lo ikut aja sana pemilihan model. Dari kemarin, kan, gue udah bilang!"
"Lo nyindir gue?! Lo, kan, tahu tinggi gue gak mencukupi jadi model profesional! Kesel gue, mentang-mentang lo tinggi!"
Mona tak bisa menahan tawanya lagi mendengar ucapan Jenny. Ah, benar juga. Teman baik Mona yang satu ini memang lebih mungil darinya. Tapi jangan salah. Walaupun mungil, Jenny memiliki tubuh sintal yang menggairahkan mata para pria. Tidak seperti Mona yang memiliki tubuh tinggi kurus.
Mona menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelah mengambil snack yang entah punya siapa dan ada di atas meja. "Jadinya lo mau cerita apa, Jen? Gue mau mandi terus tidur, nih. Buru kalau mau cerita!"
Jenny tersenyum lebar dan kembali memegangi lengan Mona dengan tatapan yang menggemaskan. Sungguh, kalau Mona seorang lesbian, dia dengan senang hati menjadikan Jenny sebagai kekasihnya. Mona heran jika ada cowok yang tidak menyukai Jenny dan semua kesempurnaan yang dia miliki.
"Gue kemarin ke rumah Axel sama bokap gue dan ketemu sama bokapnya Axel."
Satu alis Mona terangkat. "Hah?"
Jenny mengangguk. "Paginya, gue ketemu sama bokapnya yang kebetulan lagi di rumahnya yang di Jakarta, sama bokap gue. Ya, biasalah, bokap gue kayak pengen membicarakan soal kepastian perjodohan gue sama Axel. Soalnya, ya, lo tahu sendiri seberapa sibuknya Axel dan sedikit waktu yang dia punya buat gue." Jenny menghela napas sedih, Mona bisa mengetahui itu dengan jelas, "Bokapnya Axel bilang, dia bakal bicara secepatnya sama Axel. Dia juga kesulitan buat ngehubungin Axel yang super sibuk. Bahkan kemarin lo sama Axel harus meeting sampai malam banget, kan, buat ketemu klien?"
Rasa bersalah itu muncul dalam dada Mona dan rasanya...sesak. Mona merasa hina, merasa buruk karena membohongi Jenny yang terlihat jelas percaya padanya. Jenny yang tak memiliki sedikitpun rasa curiga padanya.
"Gue bingung, Mon. Gue coba buat raih Axel, tapi ada sesuatu yang buat gue kayak ngerasa...ada jarak yang bakal bisa gue sentuh barang sedikitpun. Axel ngebentengin dirinya sendiri dari gue dan...gue kesulitan manjat benteng itu sekeras apapun gue mencoba." Jenny menundukkan kepala, suaranya terdengar sedikit lebih pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
Lãng mạnKarena suatu hal, Tatiana Monalisa mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang tak pernah dia ketahui akan benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.