Jika bukan karena Jenny yang sibuk memikirkan make up jenis apa yang akan dia pakai untuk acara malam nanti, mungkin Mona tak akan ingat malam ini adalah malam pertunangan Eros Bennedict Delmar, sang putera sulung Delmar. Mona tak ingat sama sekali dan baru mulai panik saat melihat jam dan melihat Jenny yang sudah tampak rapih dengan gaun berwarna merah, tapi bukan merah menyala. Sungguh, jika Mona seorang lesbian, Mona akan memilih Jenny sebagai pasangan lesbiannya karena cewek itu jelas-jelas...sangat sempurna.
Jenny mengenakan gaun ketat yang mencetak tubuh sintal indahnya. Mona iri dengan Jenny. Jenny memang tidak setinggi Mona, tapi tubuh cewek itu berisi, tidak seperti Mona yang seperti kurang gizi. Mona bahkan terkadang tak berani menatap dada dan pinggul Jenny yang sampai kapanpun akan sulit Mona imbangi. Intinya, di mata Mona, Jenny sangat sempurna dan wajar jika banyak yang menyukai Jenny.
"Mona! Ini pakai gaun gue aja!"
Perhatian Mona yang tengah memuji kepiawaian Jenny menggunakan perlengkapan make up yang super banyak teralihkan oleh suara Rosa, bersamaan dengan munculnya cewek itu di ambang pintu kamar Jenny sambil menunjukkan sebuah gaun kepada Moma dan Jenny yang sontak menoleh. Rosa terlihat sangat bangga menunjukkan gaun tersebut, hasil dia mengacak isi lemari hanya untuk mendapatkannya.
Jenny tersenyum lebar. "Nah! Itu bagus gaunnya Rosa! Badan kalian kan sama ukurannya! Sama-sama kekurangan gizi." Jenny terkikik saat mengatakan hal itu sementara, Mona dan Rosa menatapnya kesal.
Rosa melangkah memasuki kamar Jenny dan duduk di tepi ranjang. Matanya menatap Mona sebelum mendengus. "Gue pikir, lo dari tadi di sini mau dandan juga, Mon! Lo ngapain malah ngelihatin Jenny dandan, tapi gak dandan!"
Mona nyengir dan Jenny yang hendak memakai maskara menoleh dengan kening mengerut. "Iya juga, ya? Lo ngapain malah ngelihatin gue, sih, Mon? Pakai aja itu make up gue! Cepetan! Kita gak punya waktu banyak. Dijemput jam enam nanti!"
Bibir Mona mengerucut lagi dan dia meraih foundation Jenny, membuka penutupnya sebelum mentotol di wajah polos yang sudah dia cuci bersih sejak beberapa jam lalu.
"Itu, kan, lo yang dijemput. Gue, mah, santai mau datang jam berapa aja. Gak datang juga gak apa-apa."
Jenny mendengus. "Mana bisa gitu? Lo, kan, bareng gue!"
Mona memicingkan mata dan berhenti meratakan foundation di wajahnya. "Kok gue bareng lo? Lo gak dijemput emang? Eh, gimana, sih. Gue bingung."
Jenny menarik napas dan menghelanya perlahan. "Gue dijemput supir, maksudnya. Lo berharap Axel jemput gue? Ett, Mon. Dia di SMS gue aja balasnya satu abad kemudian."
"Terus masih mau lo pertahanin?" Rosa yang bertanya santai dan sukses membuat Mona terkejut, tapi Jenny tak terkejut.
Jenny menundukkan kepala singkat dan menatap Rosa dengan senyuman di bibirnya. "Jodoh siapa yang tahu, sih, Ros? Untuk sementara, gue ngikut alur aja. Entah siapa yang bakal menang dan siapa yang kalah. Yang jelas, gue udah mengikuti dengan baik."
Percakapan itu tak lagi berlanjut saat Jenny tiba-tiba berdiri, mengambil ponselnya sambil berkata, "Gue telepon supir dulu, ya, dia udah sampai mana."
Tanpa menunggu balasan kedua sahabatnya, Jenny melenggang pergi meninggalkan kamar, meninggalkan Mona dan Rosa hanya berdua yang mulai saling menatap.
"Lo kenapa ngomong begitu, sih, Ros? Gimana kalau Jenny baper?" Mona berujar pelan kepada Rosa.
Rosa memutar bola matanya. "Gue bantuin lo, loh, Mon! Emang atasan lo itu gak suka Jenny, ya, harus gimana? Mau tetap dipaksa? Kasihan Jenny-nya juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
RomantizmKarena suatu hal, Tatiana Monalisa mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang tak pernah dia ketahui akan benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.