Biasanya Senin menjadi hari kesukaan Mona. Hari di mana dia bisa memulai segala sesuatu dengan jauh lebih baik dari minggu sebelumnya. Hari di mana energi Mona sudah terkumpul kembali setelah menghabiskan akhir pekan dengan cara yang cukup membuat pikirannya sedikit membaik. Tapi semalaman Mona tak bisa tertidur dengan nyenyak. Pikirannya seperti tak mau diajak untuk beristirahat dan memaksa Mona untuk memutar tubuh, ke arah kiri atau kanan, tapi tidak membantu sama sekali.
Hasilnya, Mona pasrah begitu dia bangun enam puluh menit melewati jam biasa Mona terbangun di pagi hari. Mona biasa bangun pukul setengah enam dan membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk bersiap. Setelahnya, Mona sarapan bubur yang ada di depan kostan selama tiga puluh menit kurang sebelum berangkat ke kantor. Memang, jarak dari kostan Mona ke kantor bisa ditempuh dengan waktu kurang dari satu jam.
Tapi hari ini Dewi Fortuna tidak berpihak pada Mona ketika TransJakarta yang dia tumpangi terjebak kemacetan. Mona menyesak menaiki busway ini ketika biasanya, Mona naik Commuter Line Jabodetabek. Setelah berpanik ria selama dua jam di perjalanan, akhirnya Mona sampai di halte busway yang kebetulan hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari gedung tempat Mona bekerja.
Mona melangkah tergesa-gesa menuju ke gerbang gedung, melewati parkir kendaraan alias jalan pintas menuju ke elevator yang lebih dekat dengan ruangan departemen personalia saat sebuah suara memanggilnya dan membuat Mona menahan napas sebelum berbalik seperti slow motion.
"Monalisa!"
Mona menatap dari jarak sekitar lima meter di mana akhirnya, dia tahu jika cerita para OB benar. Lima meter dari keberadaan Mona, ada Axel yang bersandar pada mobil Camry-nya dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya yang mengapit sebatang rokok. Mona tak tahu harus berkomentar apa saat Axel yang pagi ini terlihat tampan dengan kemeja berwarna birunya tersebut mengalihkan rokok yang semula terapit di jari menjadi berada di sela-sela bibir. Tangannya bergerak seakan memanggil Mona mendekat, Mona menurut.
Baiklah. Sejak kemarin Mona mengakui perasaannya terhadap Axel kepada Rosa, entah kenapa Mona canggung sendiri menghadapi Axel yang kini berdiri layaknya model di hadapannya. Berdiri tegap setelah membuang rokok di lantai, menginjak hingga baranya mati.
"Kamu terlambat?" tanya Axel, membuka percakapan dan Mona baru kali ini mencium aroma rokok yang ke luar dari mulut Axel. Biasanya, mulut Axel wangi. Kopi ataupun mint.
Mona mengangguk. "Iya, Pak. Maaf. Saya kesiangan."
Axel terkekeh. "Kamu kesiangan kenapa? Kok, bisa? Padahal sebelumnya kamu tidur lelap banget sampai saya gak bisa bangunin kamu sama sekali."
Sial. Mona baru ingat dia belum bertanya sama sekali apa yang terjadi sehingga, Mona bisa berakhir tidur di ranjang Axel sedangkan, Axel malah tertidur di sofa. Mona menunduk dalam-dalam. "Pak, maaf. Saya sama sekali gak ingat apa yang saya lakuin, tapi emang akhir-akhir ini saya tidur terlalu lelap. Maaf, ya, Pak. Saya pasti ngerepotin banget. Sampai nginap di apartemen Bapak dan tidur di kasur Bapak sementara Bapak tidur di sofa."
Mona mengangkat wajah dengan napas yang memburu. Mona baru saja berbicara panjang lebar tanpa jeda dan sekarang, Axel menatapnya heran. "Gak apa-apa. Saya gak keberatan. Saya anggap, itu juga tanggungjawab saya yang ajak kamu pergi." Axel menghela napas. "Sebelumnya, saya juga minta maaf karena saya suruh kamu pergi, tanpa melaksanakan kewajiban saya untuk antar kamu pulang."
Buru-buru Mona menggeleng. "Eh, enggak, Pak. Saya, kan, udah nginap di apartemen Bapak, masa saya juga minta diantar pulang? Hehe, namanya nyari kesempatan dalam kesempitan banget."
Axel tersenyum dan menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada bagian mobil. "Kamu ikut saya, gak usah absen. Saya ada meeting sama klien di sebuah kafe."

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
RomanceKarena suatu hal, Tatiana Monalisa mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang tak pernah dia ketahui akan benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.