49 | Baik-Baik

5.8K 788 41
                                    

Mata sipit itu terbuka dan hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit putih, bersamaan dengan lampu bohlam berwarna putih. Matanya kembali terpejam sesaat, diiringi dengan helaan napas tatkala menyadari di mana dia berada sekarang, dengan kepala yang luar biasa sakit ditambah dengan tangan dan kaki yang tak berani lagi dia lihat.

"Kata dokter, kaki lo patah. Tangan lo cuma lecet dan untung lo pakai helm jadi, kepala lo gak ngebentur aspal meskipun, gue berharap demikian."

Pemuda itu menoleh untuk mendapati pemuda lain yang berbaring di ranjang lain, tepat di sampingnya. Jarak ranjang mereka terpisahkan oleh lemari kecil yang dijadikan tempat menyimpan barang pasien atau keluarganya, sekaligus meja tempat meletakkan makan untuk pasien.

Senyuman tipis muncul di bibir pemuda itu. "Gue pikir, tadi akhir hidup gue. Sefrustasi itu."

"Kalau mau mati, gak usah ajak-ajak, Sam."

Sam menatap pemuda yang berbaring di ranjang sebelahnya. Baiklah, berbanding terbalik dengan Sam yang mendapat banyak perban di kaki dan juga tangan, pemuda itu malah memiliki perban cukup tebal di dahinya. Sepertinya, dia menabrak stir mobil cukup keras hingga menimbulkan luka.

"Jangan sok akrab manggil gue 'Sam'."

Pemuda itu menoleh dan tersenyum sayu. "Itu nama lo, kan? Samuel Adigara."

Sam berdecak. "Gue baru tahu nama gue seterkenal itu hingga seorang Axel Keanu Delmar berhak untuk tahu."

Axel kembali menatap ke langit-langit. Axel tak ingat bagaimana dia bisa sampai berada di sana, di ranjang rumah sakit dengan kepala yang tak terkendali sakitnya. Axel yakin, dia pasti cukup lama pingsan akibat tabrakan itu, begitupun dengan Sam.

"Lo harusnya sedikit lebih bersabar, semua keinginan lo masih bisa terwujud."

Sam menarik napas dan menghelanya. "Sayangnya, gue sedang gak ingin apapun setelah ini. Gue mau pergi aja dan jalanin hidup secara normal."

"She loves you that much. She only wants the best for you, that's why she left you."

Satu alis Sam terangkat mendengar apa yang baru saja Axel ketakan. Axel tersenyum tipis. "Gue dan Jenny berusaha buat jalin hubungan, tapi emang pada dasarnya gak segala sesuatu berjalan mulus atas dasar paksaan. Gue udah ngomong semalam sama dia buat ngehentiin semua, sebelum terlambat dan dia nangis. Bukan, bukan karena gue batalin perjodohan kita, tapi karena dia memikirkan nasib baik lo."

Axel memejamkan mata sekilas dan menoleh lagi menatap Sam, matanya jelas sangat sayu, terlihat jelas kelelahan atau bahkan menahan sakit. "Lo ngebahayain diri lo sendiri dengan memutuskan terus ada di sampingnya. Lo gak tahu kapasitas apa yang orangtuanya punya sehingga, menahan semua pergerakan lo buat maju. Dia sesayang itu sama lo sampai mikirin masa depan lo, tanpa mikirin masa depannya."

Sam mengerjap. "Maksud lo apa?"

Axel beralih menatap lurus ke langit-langit. "Selesaiin masalah lo sama Jenny, tadi gue udah bilang petugas rumah sakit buat ngehubungin Jenny dan sebentar lagi dia datang." Axel memejamkan mata, "Obat bius gue baru berasa. Kayaknya bentar lagi gue tidur jadi, kalau lo mau ngomong, ya, ngomong aja berdua. Gue gak akan ganggu."

Sam diam sejenak sebelum bertanya ragu-ragu. "Lo...gak apa-apa, kan?"

Axel terkekeh dan menggeleng. "Luka gue gak separah luka lo, tenang. Gue gak tahan sama bau darah, jangankan bau. Lihat darah sedikit aja, pala gue udah pening."

"Cemen lo!"

Mata Axel terpejam. "Biarin. Yang jelas, gue gak nyelesain masalah dengan gegabah kayak lo."

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang