Tak pernah Mona merasa seburuk ini sebelumnya. Mona mencoba menghilangkan semua pikiran tentang apa yang terjadi semalam, tapi semuanya malah terlihat makin jelas dan membuatnya tak dapat berpikir jernih. Sungguh, dia benci perasaan seperti ini. Dia benci perasaan di mana dia merasa egois dan jahat untuk mengkhianati sendiri janjinya dengan Jenny yang jelas-jelas sahabat baiknya.
Suara bel terdengar dan Mona yang sudah hampir lima menit menghabiskan waktu menatap pantulan wajah pucatnya di kaca setelah dibasuh dengan air itu mengambil handuk yang digantungkan di dekat kaca. Mona menggunakan handuk itu untuk mengeringkan wajahnya sebelum melangkah menuju ke pintu untuk membukanya.
"Selamat ulangtahun, Mona!"
Mona cukup terkejut saat melihat Indra dan Toni yang berdiri di depan pintu kamar hotelnya. Toni membawa sebuah kue ulangtahun kecil sementara, Indra tersenyum kepada Mona yang membuka pintu kamarnya lebih lebar.
"Kalian tahu darimana aku ulangtahun?" Mona bertanya heran.
Toni menggeleng, pria itu menyodorkan kue dengan dua lilin kecil yang menyala ke dekat Mona. "Tiup lilin dulu, Mon, baru tanya-tanya. Pegel, nih."
Mona terkekeh sebelum membuat permohonan dan meniup lilin-lilin tersebut, membuat Toni dan Indra bersorak pelan, penuh kegembiraan. Buru-buru, Mona mengambil alih membawa kue yang ada di tangan Toni dan Toni dengan senang hati menyerahkan kue itu. Tangannya sudah cukup pegal membawa kue yang sebenarnya cukup kecil tersebut.
"Makasih kejutannya, Bapak-bapak sekalian. Makasih banyak." Mona sedikit menundukkan kepala mengungkapkan rasa terima kasih.
"Tadi kita mau ajak Pak Axel buat ikut ngasih kejutan, tapi kayaknya Pak Axel belum bangun. Kalian balik ke hotel jam berapa semalam?" tanya Indra yang membuat Mona menahan napas.
Dalam sekejab, pikiran tentang apa yang terjadi semalam terngiang begitu saja. Mona menggeleng-gelengkan kepala dan mencoba fokus. "Kemarin balik jam 11an sampai hotel, Pak."
"Terus gimana calon mitra? Dia tertarik?"
Mona mangut-mangut. "Aku gak paham, sih, Pak. Mereka ngomong bahasa Inggris, tapi kayaknya hasilnya positif. Pak Axel, kan, emang jagonya negosiasi."
"Berarti kita makan siang bareng, ya, Mon? Sekalian ngerayain ulangtahun kamu sambil nunggu Pak Axel bangun! Kalau Pak Axel belum bangun juga, kita dobrak pintunya biar dia bangun!"
Mona terkekeh geli dan mengangguk setuju. "Ya, udah, deh. Sekali lagi, makasih kejutannya, Pak Indra dan Pak Toni. Aku mandi dulu, ya? Hehe, aku juga baru bangun, soalnya."
"Siap! Sampai ketemu makan siang nanti, Mona!"
Mona mengangguk sebelum menghilang masuk ke dalam kamar bersamaan dengan perginya Indra dan Toni menjauhi ruang kamar. Mona menyandarkan punggungnya pada pintu setelah meletakkan kue kecil untuknya di atas meja. Mona memejamkan mata, jari telunjuk kanannya bergerak menyentuh bibirnya.
"Sial. Dia nyium gue di hari ulangtahun gue?!"
Pipi Mona merona, bersamaan dengan tubuhnya yang melemas mengingat lagi kejadian semalam yang seharusnya tak pernah terjadi.
🖤💗🖤
Raut wajah Axel saat bergabung dengan Mona, Indra dan Toni yang sudah menunggu di restoran yang berada di lantai satu hotel tempat mereka menginap itu jelas bukan raut wajah bersahabat. Awalnya, Mona membayangkan pertemuannya dengan Axel setelah kejadian semalam pasti akan canggung, tapi melihat bagaimana raut wajah Axel sekarang jelas membuat semua bayangan Mona musnah.
"Bapak mau makan apa? Biar saya ambilkan?" Mona menawarkan begitu Axel duduk.
Axel menggelengkan kepala. "Gak perlu. Saya bisa ambil sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama
عاطفيةKarena suatu hal, Tatiana Monalisa mengundurkan diri dari perusahaannya bekerja dan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang tak pernah dia ketahui akan benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.