10 | Hutang

5.4K 899 33
                                    

Benar kata Namora kemarin, esok paginya di hari Jum'at, tepat pukul sepuluh lewat lima menit, pintu elevator lantai lima terbuka dan memperlihatkan sang Direktur Pengembangan yang ke luar dari elevator dengan ponsel yang didekatkannya ke telinga. Tatapannya lurus ke depan, bahkan tak menoleh sedikitpun ke meja Sekretarisnya saat dia melewati. Dia melangkah begitu saja memasuki ruangan, menutup pintu ruangan masih sambil berbicara via ponsel, entah dengan siapa.

“Pak Axel bisa Bahasa Korea, ya, Mbak? Gila. Tadi dia ngomong pakai Bahasa Korea! Aku hafal dari kata-kata 'Ndeh' sama 'Aniya'-nya. Aku sering dengar di drama Korea!” Mona heboh sendiri begitu menyadari bahasa apa yang Axel gunakan saat berbicara dengan seseorang via ponsel tersebut.

Namora memutar bola matanya. “Elah. Gak usah kaget gitu. Selain Korea, Pak Axel itu menguasai sekitar lima bahasa. Indonesia, Korea, Inggris, Jepang dan Prancis. Tiap Sabtu sore minggu ke-tiga, Pak Axel juga lagi les Bahasa China.”

“Woah. Daebak.”

Obrolan Namora dan Mona harus terhenti sesaat saat telepon di atas meja kerja mereka berbunyi. Namora segera mengangkat panggilan dari sang atasan di dalam ruangan.

“Siap, Pak. Segera saya siapkan.”

Entah apa yang dibicarakan, tapi tak lama setelah Namora mengangkat panggilan, Namora mengakhirinya dan bangkit berdiri. “Aku sampai lupa. Tiap baru sampai ruangan, itu wajib banget buat Pak Axel minum kopi. Kopi-nya Pak Axel ada di lemari es, yang kaleng Arabica buat pagi hari, yang Robusta buat sehabis makan siang.”

Namora berbalik menuju lemari es dua pintu yang ada di belakangnya dan membuka pintu bawah lemari es. Namora mengeluarkan kaleng kopi bertuliskan Arabica, lalu menyodorkan kepada Mona. “Kamu buat, ya, di pantry. Minta cangkir khusus Pak Axel dan takaran kopi sesuai pesanan Pak Axel. Tanpa gula. Nanti aku tambahin catatan di buku kamu kalau beli kopi ini di mana, ya?”

Mona mengangguk. “Aku ke pantry dulu, ya?”

“Siap. Semangat!”

Mona mengangguk sekali lagi sebelum berbalik dan melangkah menuju pantry yang berada tepat di sisi paling kanan gedung, bersebelahan dengan toilet umum lantai lima. Mona mengetuk pintu pantry dan membukanya, tidak mendapati siapapun yang berada di sana.

Pandangan Mona berkeliling mencari di mana cangkir Axel dan sial, cangkir-cangkir di sana tak dinamai jadi, bagaimana Mona bisa tahu yang mana cangkir Axel. Mona sampai membuka satu per satu rak piring yang ada di sana, mencari yang mana cangkir Axel, tapi benar-benar tak ada petunjuk. Akhirnya, Mona memilih asal dan membuat kopi Arabica tersebut sesuai takaran yang...dia sendiri tak ketahui.

Tubuh Mona bergetar pasrah membawa cangkir dan kopi itu. Sampai di depan pintu ruangan Axel, Mona menoleh meminta pendapat Namora, tapi Namora terlihat sibuk dengan ponsel dan hanya merespon dengan ibu jari sebelum mengisyaratkan agar Mona segera memberikan kopi ke Axel tanpa melihat cangkir yang Mona gunakan.

Mona benar-benar pasrah mengetuk pintu ruangan Axel, membuka pintu dengan satu tangannya yang bebas sebelum masuk ke dalam ruangan sambil berkata, “Se—Selamat pagi, Pak. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Bapak.”

“Silahkan,” respon singkat Axel dengan mata yang masih terfokus pada monitor tab-nya.

Tangan Mona bergetar saat hendak meletakkan cangkir kopi untuk Axel, sukses membuat perhatian Axel teralihkan dari tab-nya. Axel menatap cangkir yang diletakkan di atas mejanya sesaat sebelum menengadah melihat siapa yang mengantar kopi tersenyum. Sedikit sudut bibir Axel terangkat, sangat sebentar dan kembali ke raut wajah datarnya yang biasa melihat bagaimana Mona menundukkan kepala ketakutan.

“Ini bukan cangkir saya dan baru melihat permukaan kopi aja saya sudah tahu, ini bukan takaran kopi yang biasa saya minum.”

Mona menahan napas mendengar komentar Axel tersebut. Mona mengangkat wajah ragu, berhadapan langsung dengan Axel yang benar-benar berbeda dengan Axel yang membantunya Jum'at minggu lalu. Axel yang kali ini berhadapan dengannya lebih seram dari Valak. Tatapannya sedingin es di Kutub Utara.

DioramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang